Dalam naskahnya yang berjudul
“Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang
lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari
keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak
berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat
diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya,
tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus
menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum
tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis
yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu
berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan
ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya
bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus
dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang
mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus
dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali
pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum.
Interpretasi hukum merupakan hal yang
penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran
yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang
sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat
pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau
corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. Akan tetapi ternyata
kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang
itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara
lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia
senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan
penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup
norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.
Dalam tataran praktis, metode
penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari
alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan
hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa
atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis,
interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis,
interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis,
interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.
1.
Interpretasi dengan metode
Subtantif atau interpretasi otentik.
Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks
undangn–undang terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Interpretasi
otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi.
Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan
terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang maupun penghapusan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :
a)
dengan maksud untuk
menguntungkan diri dengan melawan hukum;
b)
menggerakkan orang untuk
menyerahkan barang sesuatu;
c)
dengan menggunakan salah satu
upaya penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, atau tidak dijelaskan.
2.
Interpretasi bahasa atau interpretasi
gramatikal.
Bahasa
merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk
menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih
kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara
berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan
penafsiran.Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa
sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang
diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini
disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan
undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau
dimintakan keterangan ahli bahasa.
Menurut Achad ali (2002:166) interpretasi Grametikal adalah
menafsirkan kata – kata dalam undang –undang sesuai dengan kaidah bahasa.
Sedangkan menurut Pitlo (Achmat Ali, 2002:166) interpretasi gramatikal adalah
kita mencoba menangkanp arti sesuatu teks menurut bunyi kata-katanya, ini dapat
terbatas pada suatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang kita lakukan pada
saat membaca.
Contoh : Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”
Perkataan “memiliki dan “Menggelapkan” dalam pasal 372 tidak
selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri peribadi. Dan Pasal 372 KUHP
perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.
3.
Interpretasi menurut sejarah atau historis
Menurut Achad Ali (2002:169) interpretasi historis adalah terdiri
atas dua jenis, yaitu: interpretasi menurut sejarah undang–undang dan
interpretasi menurut sejarah hukum.
Dalam interpretasi undang– undang hanya dapat diketahui dari orang yang terlibat dalam proses penggodokan suatu perundang –undangan, jadi metode ini adalah kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Yang dibuktikan dengan beberapa surat-surat dalam pembahasan proses perundang-undangan sampai pada suatu keputusan.
Dalam interpretasi undang– undang hanya dapat diketahui dari orang yang terlibat dalam proses penggodokan suatu perundang –undangan, jadi metode ini adalah kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Yang dibuktikan dengan beberapa surat-surat dalam pembahasan proses perundang-undangan sampai pada suatu keputusan.
Contoh : undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan
perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang –undang mebutuhkan
interpretasi, maka salah satu metode digunaka adalah metode histroris. Artinya
meminta keterangan dari anggota legislatif yang menetapkan atau yang terlibat
dalam proses pembentukan undang –undang sampai pada keputusan dalam lembaga
legisatif.
Untuk
mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan
dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu :
a. Interpretasi menurut
sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)
Penafsiran atau interpretasi menurut
sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran
sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem
hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan
perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan
sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum
lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang
berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi.
Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon,
berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.
b. Interpretasi menurut
sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet
historische-interpretatie)
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.
4.
Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis
Setiap gejala sosial senantiasa
terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan
gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara
masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak
berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain.
Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai
unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu
himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara
peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan
tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan
dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan
metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang
tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.
menurut achad Ali (2002:169)
interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan system perundang –undangan. Jadi perundang undangan
dianggap sebagai suatu sistem yang utuh.
Contoh : dalam suatu masyarakat
mengajukan perkara ke pengadilan maka pihak pengadilan tidak boleh menolak
dengan alasan buka wewenang atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sebab undang
dianggap sebagai suatu sistem yang utuh, tentu ada aturan dalam perundangn
undangan yang mengaturnya.
5.
Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis.
Sementara ahli menyatakan adanya
perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila
makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan
interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah
usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan,
kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada
waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini
peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat
sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan
bersama itu sekarang.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu. Ini dinamakan interpretasi sosiologis. Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.
Achmad Ali (2002:166) bahwa
metode menetapkan makna undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakata. Suatu
undang–undang yang masih berlaku tetapi sebenarnya sudah usang dan tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan zaman. Interpretasi ini berdasarkan hubungan, kebutuhan
masa kini, dengan tidak memperdulikan apakah hal itu pada waktu diundangkannya
undang-undang itu dikenal atau tidak.
Contoh : Kompilasi Hukum Islam
(KHI) merupakan aturan untuk agama Islam pada soal perceraian, pernikahan dan
warisan dalam KHI banyak pasal tidak berlaku dalam kondisi sosial sekarang ini;
seperti persoalan pembagian warisan 1 : 2 akan tetapi dalam acaara peradilan
agama tetap menggunakan 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Walaupun
aturan tersebut masyarakat belum mengetahui dan menyepakatinya.
6. Interpretasi
Analogi
yaitu memberi penafsiran pada
sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan
tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya
tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut.Contoh penafsiran penjualan dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu
“Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila
diperjanjikan”
Konstruksi itu harus didasarkan
atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam Undang-undang yang
bersangkutan dan menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi
tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil
positip. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi
ekstensif dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik)
7.
Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan
hukum.
Interpretasi komparatif dilakukan
dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan
berdasarkan perbandingan hukum.Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di
beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah
tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan
perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting
terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan
pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan
perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk
beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini
terbatas.
Menurut Achmad Ali (2002:175)
interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum.
Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum
perjanjian internasional.
Contoh: “ perbandingan sistem
Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.
8.
Interpretasi futuristis.
Intepretasi ini merupakan metode
penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan
menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah
perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang
tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut
berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi
futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan
undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
Menurut Achmad Ali (2002:175), interpretasi
ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum, dengan
berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius
constitendum.
9. Interpretasi Ekstensif
Menurut
kansil interpretasi ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas arti
kata-kata dalam peraturan itu sehinggasuatu peristiwa dapat di
masukkanya,seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”
10. .
Metode Interpretasi Restriktif
yaitu
penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti :
“kerugian” tidak termasuk kerugian yang tak berwujud
seperti sakit,cacad dan sebagainya.
11. Penafsiran a contrario atau argumentus a contrari
yaitu suatu penafsiran yang memberikan perlawanan
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur
dalam Undang-undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa
perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar
peraturan per undang-undangan
Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada
perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan
Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan
Undangundang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip
sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasil
yang negatif.
Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa
seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka
waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar
Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi lelaki/pria.
Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan
harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam
dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam
tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat
masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami
berikutnya.
3. Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi
Pengamatan terhadap praktek penegakan
hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak
13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang
sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini
dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat
luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang
melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam
implementasinya.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Perumusan yang luas dan
dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan
vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam
persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi
putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan
pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain. Interpretasi yang
menyangkut, subyek hukum,”unsur, melawan hukum “ serta unsur, keuangan negara
atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan
yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap
persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang
dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan
sebagai alat bukti ahli.
1. Subyek Hukum
Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1)
dirumuskan dengan kata, setiap orang “ yang secara otentik telah mendapat
penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai, orang perorang
atau termasuk korporasi.”
Persoalan subyek hukum ini akan
mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki
jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun
seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan
usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait
dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya
dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama
terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas) Z (nama korporasi)
yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”
Uraian surat dakwaan yang menyangkut
subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat
dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan
ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X
sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan
dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda.
Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan
berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana
hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut
bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan
penahanan. Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan
maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan
dapat dikenakan tindakan penahanan.
Pada dasarnya ternyata bahwa
dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan
interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi.
Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di
indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan
subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat
dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan
doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer
dikalangan penegak hukum.
2. Unsur Melawan Hukum
2. Unsur Melawan Hukum
Perumusan yang luas dengan memasukkan
unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi
interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu
kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui
perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan
pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas
kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi
dalam peristiwa-peristiwa :
a.
Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain
(seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak
wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana
kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi.
Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana. Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.
Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan :
“ Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “ overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]
Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud. Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof.. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11] Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.
Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan
Interpretasi Unsur Melawan Hukum
Dalam praktek penegakan hukum
sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa
dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana
pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung
rekanan. Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa
dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan
hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah
beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan
peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun
penasehat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih
dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
Jika diperhatikan argumentasi yang
dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara
melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan
ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa
pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan
pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan
pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana. Interpretasi yang demikian itu
dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan
ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang
dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan
interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif. Penunjukan langsung baru
merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan
harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu
pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan
merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.
c.
Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur
Melawan Hukum
Polemik tentang hal ini terjadi
dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau
operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan
investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian
tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat
investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.
Dalam kasus investasi yang
menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan
tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak
melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku
dalam perusahaannya. Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan
operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis
sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu
kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar
kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.
Dari contoh-contoh tersebut diatas
menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki
ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik
terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup
hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas,
ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.
d.
Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:
“ Menimbang bahwa menurut mahkamah
agung penafsiran terhadap putusan sebutan “melawan hukum” tidak tepat,
jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang
menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi
pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum,
seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun
asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
“ Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam
masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila
seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan
lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan
kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal
itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan
perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk
persaan hati masyarakat banyak.”
Pertimbangan Mahkamah Agung
tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum
sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12] Dari
putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :
1) Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.
2) Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
3) Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.
Dalam praktek peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.
4. Penutup
Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.
Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.
Perumusan tindak pidana korupsi yang
terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka
peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain
yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya
perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum
(rechtsverfijning).
Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.
