You Are Here: Home - LAW SCHOOL - Sekilas Tentang Metode Interpretasi Hukum


Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi  dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum.
Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.

Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.
Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis, interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis, interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis, interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.
1.      Interpretasi dengan metode Subtantif atau interpretasi otentik.
Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks undangn–undang terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Interpretasi otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :
a)      dengan maksud untuk menguntungkan diri dengan melawan hukum;
b)      menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu;
c)      dengan menggunakan salah satu upaya penipuan.

Maksud penipuan tidak ada, atau tidak dijelaskan.

2.      Interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal.

Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.

Menurut Achad ali (2002:166) interpretasi Grametikal adalah menafsirkan kata – kata dalam undang –undang sesuai dengan kaidah bahasa. Sedangkan menurut Pitlo (Achmat Ali, 2002:166) interpretasi gramatikal adalah kita mencoba menangkanp arti sesuatu teks menurut bunyi kata-katanya, ini dapat terbatas pada suatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang kita lakukan pada saat membaca.
Contoh : Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Perkataan “memiliki dan “Menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri peribadi. Dan Pasal 372 KUHP perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.

3.      Interpretasi menurut sejarah atau historis
Menurut Achad Ali (2002:169) interpretasi historis adalah terdiri atas dua jenis, yaitu: interpretasi menurut sejarah undang–undang dan interpretasi menurut sejarah hukum.
Dalam interpretasi undang– undang hanya dapat diketahui dari orang yang terlibat dalam proses penggodokan suatu perundang –undangan, jadi metode ini adalah kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Yang dibuktikan dengan beberapa surat-surat dalam pembahasan proses perundang-undangan sampai pada suatu keputusan.
Contoh : undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang –undang mebutuhkan interpretasi, maka salah satu metode digunaka adalah metode histroris. Artinya meminta keterangan dari anggota legislatif yang menetapkan atau yang terlibat dalam proses pembentukan undang –undang sampai pada keputusan dalam lembaga legisatif.

Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi  historis yaitu :
a.  Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)
Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.
b.  Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.
4.      Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis
Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.
menurut achad Ali (2002:169) interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang –undangan. Jadi perundang undangan dianggap sebagai suatu sistem yang utuh.
Contoh : dalam suatu masyarakat mengajukan perkara ke pengadilan maka pihak pengadilan tidak boleh menolak dengan alasan buka wewenang atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sebab undang dianggap sebagai suatu sistem yang utuh, tentu ada aturan dalam perundangn undangan yang mengaturnya.
5.      Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis.
Sementara ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu sekarang.

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu. Ini dinamakan interpretasi sosiologis. Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.
Achmad Ali (2002:166) bahwa metode menetapkan makna undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakata. Suatu undang–undang yang masih berlaku tetapi sebenarnya sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Interpretasi ini berdasarkan hubungan, kebutuhan masa kini, dengan tidak memperdulikan apakah hal itu pada waktu diundangkannya undang-undang itu dikenal atau tidak.
Contoh : Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan untuk agama Islam pada soal perceraian, pernikahan dan warisan dalam KHI banyak pasal tidak berlaku dalam kondisi sosial sekarang ini; seperti persoalan pembagian warisan 1 : 2 akan tetapi dalam acaara peradilan agama tetap menggunakan 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Walaupun aturan tersebut masyarakat belum mengetahui dan menyepakatinya.
6.      Interpretasi Analogi
yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.Contoh penafsiran penjualan dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”
Konstruksi itu harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam Undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil positip. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik)
7.      Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan hukum.
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum.Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum perjanjian internasional.
Contoh: “ perbandingan sistem Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.
8.      Interpretasi futuristis.
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
Menurut Achmad Ali (2002:175), interpretasi ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum, dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius constitendum.
9.      Interpretasi Ekstensif
Menurut kansil interpretasi ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehinggasuatu peristiwa dapat di masukkanya,seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”
10.  . Metode Interpretasi Restriktif
yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti :
“kerugian” tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti sakit,cacad dan sebagainya.
11.  Penafsiran a contrario atau argumentus a contrari
yaitu suatu penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-undangan
Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undangundang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasil
yang negatif.
Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria.
Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami  terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.
                                                                                                                       
3.  Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi
Pengamatan terhadap praktek penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak 13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam implementasinya.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”  
Perumusan yang  luas dan dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain. Interpretasi yang menyangkut, subyek hukum,”unsur, melawan hukum “ serta unsur, keuangan negara atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti ahli.

1.      Subyek Hukum
Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dirumuskan dengan kata, setiap orang “ yang secara otentik telah mendapat penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai, orang perorang atau termasuk korporasi.” 
Persoalan subyek hukum ini akan mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas)  Z (nama korporasi) yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”
Uraian surat dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda. Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan penahanan. Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan dapat dikenakan tindakan penahanan.
Pada dasarnya ternyata bahwa dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi. Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer dikalangan penegak hukum.

2.      Unsur Melawan Hukum
Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa :
a.                  Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana. Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.
Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan :

“ Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “ overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]

Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud. Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof.. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11] Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.                 Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum
Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan. Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasehat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana. Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif. Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.
c.                  Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur Melawan Hukum
Polemik tentang hal ini terjadi dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.
Dalam kasus investasi yang menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam perusahaannya. Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.
Dari contoh-contoh tersebut diatas menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas, ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.
 
d.                 Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:
“ Menimbang bahwa menurut mahkamah agung penafsiran terhadap putusan sebutan  “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”  
 “ Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk persaan hati masyarakat banyak.”
Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12] Dari putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :


1)      Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.

2)      Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

3)      Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.


Dalam praktek peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.
4.  Penutup
Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.
Perumusan tindak pidana korupsi yang terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning).

Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.  
Tags: LAW SCHOOL
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut