You Are Here: Home - UNDANG-UNDANG - UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan
keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan
tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara
agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri, perlu
dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 11 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun
1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);
- 2 -
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11
Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANGUNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
- 3 -
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang
ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
angka 3.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam
angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
- 4 -
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar
Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena
suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari
dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual,
termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah
bentuk atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap, dan bentuk badan lainnya.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak
- 5 -
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses
mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya
menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau
kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh
orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa
karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan
- 6 -
yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang
Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang
menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena
Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti
pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang
Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang
wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa
Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah tersebut.”
- 7 -
2. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal
1A yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian
sewa beli dan perjanjian leasing;
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas
Barang Kena Pajak;
e. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang
Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut
menurut ketentuan dapat dikreditkan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau
sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar
Cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang
piutang;
- 8 -
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang."
3. Judul Bab IIA diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“BAB IIA
KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT,
MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG”
4. Ketentuan Pasal 3A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3A
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang.
(2) Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang
penghitungan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.”
- 9 -
5. Judul Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB III
OBJEK PAJAK"
6. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 4
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak."
7. Ketentuan Pasal 4A diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah 2
(dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal
4A berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 4A
(1) Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5
yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
- 10 -
(2) Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,
rumah makan, warung, dan sejenisnya;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
(3) Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa di bidang pelayanan sosial;
c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
e. jasa di bidang keagamaan;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan
pajak tontonan;
h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. jasa di bidang tenaga kerja;
k. jasa di bidang perhotelan;
l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum.”
8. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
- 11 -
“Pasal 5
(1) Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di
dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya;
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu
kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau
pada waktu impor."
9. Ketentuan Pasal 6 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen).
(2) Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
- 12 -
(4) Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.”
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (13) diubah, ayat (10), ayat
(11), ayat (12), dan ayat (14) dihapus, dan diantara ayat (2) dan
ayat (3) disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan
Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan
Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(2a) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa
Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan
kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
- 13 -
dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang
pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
(8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara
sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan,
jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
- 14 -
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
(10) dihapus.
(11) dihapus.
(12) dihapus.
(13) Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
- 15 -
(14) dihapus.”
12. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10
(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada
waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu
perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
diekspor tersebut.”
13. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3)
dan ayat (5) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
- 16 -
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf d;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau
dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e,
saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai
saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar
ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat
menimbulkan ketidakadilan.
(5) dihapus."
14. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (4) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c dan
huruf f terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat
lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
- 17 -
(2) Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih
sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang
Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan
usaha.”
15. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat
(7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk
setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.
(2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur
Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
yang sama selama sebulan takwim.
(3) Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran.
- 18 -
(4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara
penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau
Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;
dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu
sebagai Faktur Pajak.
(7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana
yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.”
16. Ketentuan Pasal 16A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16A
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 16A
(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
- 19 -
Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
17. Ketentuan Pasal 16 B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16B
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 16B
(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk
sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di
dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan
Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat
dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
- 20 -
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.”
18. Ketentuan Pasal 16C diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16C
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 16C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun
sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
PASAL II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984”.
PASAL III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
- 21 -
Diundangkan di Jakarta.
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 128
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
- 22 -
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
U M U M
Dalam era reformasi saat ini, perkembangan sosial ekonomi dan politik berlangsung
sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum
dapat menampung perkembangan dunia usaha karena masih dijumpai kelemahankelemahan
dalam Undang-undang Perpajakan, yaitu:
a. belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
b. kurang memberikan hak-hak Wajib Pajak,
c. kurang memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajibannya,
d. kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.
Untuk itu dalam rangka menampung perkembangan dunia usaha dipandang perlu
penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menitikberatkan
pada peningkatan:
a. asas keadilan,
b. asas kepastian hukum,
c. asas legalitas, dan
d. asas kesederhanaan.
Berlandaskan pada hal-hal tersebut di atas, maka sasaran yang ingin diwujudkan
dalam pelaksanaan perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Tahun 2000 adalah menciptakan sistem perpajakan
yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta
dapat mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara.
Adapun pokok-pokok perubahan yang dilakukan antara lain:
a. Untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai barang-barang yang tidak
dikenakan pajak, maka dalam perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tahun 2000 hanya terhadap barang-
23 -
barang yang merupakan kebutuhan pokok; barang-barang yang sudah dikenakan
pajak daerah; barang-barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya; barang-barang yang merupakan alat tukar; serta barang
barang lain yang berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
b. Untuk lebih memberikan keadilan serta dalam upaya mengendalikan pola
konsumsi masyarakat yang tidak produktif maka tarif Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dinaikkan.
c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi atau
belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan
atau ekspor Barang Kena Pajak, maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang
dibayar pada saat perolehan Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak,
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat
dikreditkan.
d. Penyederhanaan administrasi perpajakan yang meliputi prosedur restitusi dan
diberlakukannya Faktur Penjualan sebagai Faktur Pajak.
e. Terhadap Pajak Masukan yang belum dikreditkan dalam Masa Pajak yang sama
dengan Pajak Keluaran masih dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang tidak sama
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan.
f. Kemudahan perpajakan atas transaksi penggabungan atau perubahan bentuk
usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tidak lagi diberikan.
g. Kemudahan perpajakan diberikan hanya untuk sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang berprioritas tinggi, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan dan keamanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
PASAL DEMI PASAL
PASAL I
- 24 -
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 1A
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi
jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas
barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena
perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena
perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah penyerahan
yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing)
dengan hak opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak
atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran
Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara
bertahap, tetapi karena penguasaan atas Barang Kena Pajak
telah berpindah dari penjual kepada pembeli atau dari lessor
kepada lessee, maka Undang-undang ini menentukan bahwa
penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada
saat perjanjian ditandatangani, kecuali apabila saat
berpindahnya penguasaan secara nyata atas Barang Kena
Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat
ditandatanganinya perjanjian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pedagang perantara ialah orang
pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
- 25 -
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian
atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan
mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya
komisioner. Yang dimaksud dengan juru lelang di sini adalah
juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf d
Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan
pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang
diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri
maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian
contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf e
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan
pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan
Barang Kena Pajak.
Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan tersebut, hanya dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu
bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.
Huruf f
Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat
pajak terutang, yaitu tempat melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai pusat maupun
sebagai cabang perusahaan, maka Undang-undang ini
menganggap bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antar
tempat-tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena
Pajak. Yang dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini
- 26 -
termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit
pemasaran dan sejenisnya.
Huruf g
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan
Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak
yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak
terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan
tersebut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut
tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada
pemilik Barang Kena Pajak, Pengusaha yang menerima
titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai
pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5A Undang-undang ini.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan makelar dalam Undang-undang ini
adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang yaitu pedagang perantara
yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh
Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka
menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan
pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas
amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka
tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu
tempat usaha, baik sebagai pusat maupun cabang-cabang
perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari
Direktur Jenderal Pajak, maka pemindahan Barang Kena
- 27 -
Pajak dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya (pusat
ke cabang atau sebaliknya, atau antar cabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak,
kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat-tempat
pajak terutang.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 3A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan
atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang;
d. melaporkan penghitungan pajak.
Ayat (2)
Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Apabila menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka
Undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.
- 28 -
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 4
Huruf a
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat
(1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak,
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang
Kena Pajak tidak berwujud,
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak.
Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada
huruf a, maka siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke
dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap
dikenakan pajak.
Huruf c
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak
meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat
- 29 -
(1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan
atau Jasa Kena Pajak yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama
dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak
tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang
dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean juga
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha “A” yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak
menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha “B” yang
berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut
oleh pengusaha “A” di dalam Daerah Pabean terutang Pajak
Pertambahan Nilai.
Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh
siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak “C” di Surabaya
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha “B” yang
berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak
tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf f
Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c, maka
- 30 -
Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya
Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Angka 7
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan barang hasil pertambangan dan hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti
minyak mentah (crude oil), gas bumi, pasir dan kerikil, bijih
besi, bijih timah, bijih emas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam ayat ini
adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik
yang berjodium maupun yang tidak berjodium.
Huruf c
Untuk menghindari pajak berganda, karena sudah
merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 5
Ayat (1)
Dengan pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan
tinggi;
- 31 -
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
tradisional;
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara, maka atas
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh
produsen atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah, di samping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, juga
dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah dalam ayat ini adalah:
1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan
pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti
minuman beralkohol.
Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan siapa
yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak
memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus
menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang
Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
- 32 -
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan dalam ayat ini
adalah kegiatan:
a. merakit:
menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit
mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan
sebagainya;
b. memasak:
mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur
bahan lain atau tidak;
c. mencampur:
mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas:
menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang
melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan
pemasarannya;
e. membotolkan:
memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang
ditutup menurut cara tertentu;
dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan
kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak
Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
- 33 -
Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja
yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah, atau
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam
beberapa kelompok tarif, yaitu tarif terendah sebesar 10%
(sepuluh persen) dan tarif tertinggi 75% (tujuh puluh lima
persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada
pengelompokan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
atas penyerahannya dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan
atas konsumsi Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di
dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah
Pabean, dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan
tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), maka
- 34 -
pengelompokan barang-barang yang terkena Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan
golongan masyarakat yang mempergunakan barang-barang
tersebut, disamping didasarkan pula pada nilai gunanya bagi
masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap
barang-barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan barang-barang yang konsumsinya
perlu dibatasi. Dalam hal terhadap barang-barang yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, maka tarif yang dipergunakan
adalah tarif yang rendah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 11
Pasal 9
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah
dengan mengalikan jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terutang ini merupakan Pajak
Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa
keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor
sukar ditetapkan; dan atau
b. Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh
masyarakat banyak, seperti air minum, listrik dan sejenisnya.
Contoh:
- 35 -
a) Pengusaha Kena Pajak “A” menjual tunai Barang Kena Pajak
dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x
Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “A”.
b) Pengusaha Kena Pajak “B” melakukan penyerahan Jasa Kena
Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x
Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “B”.
c) Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00. Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor
Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib
membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti
pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya
sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli
Barang Kena Pajak, atau penerima Jasa Kena Pajak, atau
pengimpor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau
pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
- 36 -
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut di atas oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak sehingga Pajak Keluarannya belum
ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan Barang Kena Pajak,
atau penerimaan Jasa Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud, atau impor
Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9
ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8).
Ayat (3)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke Kas Negara
menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.
Dapat terjadi dalam suatu Masa Pajak terdapat Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran.
Kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diminta kembali atau
dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2001:
Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan = Rp4.500.000,00
------------------------ -/-
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
- 37 -
Pajak yang lebih dibayar tersebut dapat diminta kembali atau
dapat dikompensasikan pada Masa Pajak Juni 2001.
Masa Pajak Juni 2001:
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan = Rp2.000.000,00
------------------------- -/-
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari
Masa Pajak Mei 2001 yang
dikompensasikan ke bulan
Juni 2001 = Rp2.500.000,00
------------------------- -/-
Pajak yang lebih dibayar
Juni 2001 = Rp1.500.000,00
Ayat (5)
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang
pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan
ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah
penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan
yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan
penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak
terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian
- 38 -
penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan
yaitu:
a. penyerahan terutang pajak = Rp25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak dikenakan PPN = Rp5.000.000,00
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN =
Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
penyerahan yang tidak dikenakan PPN = Rp300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN =
Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 2.500.000,00 hanya sebesar
Rp 1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak
tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak
Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena
Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu:
- 39 -
a. penyerahan terutang pajak = Rp 35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp 3.500.000,00
b. penyerahan tidak terutang pajak = Rp 15.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan
penyerahan sebesar Rp 2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak
Masukan sebesar Rp 2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 3.500.000,00.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung
berdasarkan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Ayat (7)
Pengusaha yang diijinkan menghitung Penghasilan Neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya
diwajibkan melakukan pencatatan yang meliputi peredaran bruto
dan penerimaan bruto. Oleh karena besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti
sehubungan dengan pengusaha tidak membuat pencatatan atas
pembelian, maka Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menentukan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, akan tetapi untuk pengeluaran yang dimaksud dalam
ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan
yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat
dikreditkan.
- 40 -
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 3 Januari 2001.
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 5 Januari 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 3
Januari 2001. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ayat ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung
berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran
untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang
usaha.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan
yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 3 Januari 2001.
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 5 Januari 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 3
Januari 2001. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak
dapat dikreditkan berdasarkan ayat ini.
Huruf e
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7). Oleh karena Faktur Pajak
- 41 -
Sederhana merupakan Faktur Pajak yang isinya tidak
mencantumkan secara lengkap hal-hal yang diatur dalam
Pasal 13 ayat (5), maka Faktur Pajak Sederhana hanya
merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan
tidak dapat dipakai sebagai dasar pengkreditan Pajak
Masukan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar atas ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem self assesment, Pengusaha Kena Pajak
wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Disamping
itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan
kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga
sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa dilaporkan :
Pajak Keluaran = Rp10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
- 42 -
Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan
sebesar Rp 11.000.000,00 tetapi tetap sebesar Rp
8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan :
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp8.000.000,00
------------------------(-)
Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan
= Rp7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat Pemberitahuan
= Rp2.000.000,00
------------------------(-)
Masih kurang dibayar = Rp5.000.000,00
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk
mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam
Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain karena
Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan
dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan
dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam
hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak
Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan.
Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila
Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai
biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bersangkutan, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum
dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
- 43 -
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tertanggal 7 Juli 2001 dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak Juli 2001 atau pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat Masa Pajak Oktober 2001.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Dihapus.
Ayat (12)
Dihapus.
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Dihapus.
Angka 12
Pasal 10
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang adalah dengan mengalikan Harga Jual, Nilai Impor, Nilai
Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 8.
Ayat (2)
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut pada
setiap tingkat penyerahan, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah. Dengan demikian, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat
dikreditkan. Oleh karena itu, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak
- 44 -
yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai
ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak “A” mengimpor Barang Kena Pajak dengan
Nilai Impor Rp5.000.000,00. Barang Kena Pajak tersebut, selain
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya juga dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 20%. Dengan
demikian, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas impor
Barang Kena Pajak tersebut adalah:
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp5.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai :
10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah :
20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A” menggunakan Barang Kena
Pajak tersebut sebagai bagian dari suatu Barang Kena Pajak lain
yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10%
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 35%. Oleh karena Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas Barang
Kena Pajak yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp1.000.000,00
dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang
dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak “A” atau dibebankan
sebagai biaya.
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A” menjual Barang Kena Pajak
yang dihasilkannya kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan
Harga Jual Rp50.000.000,00. Maka, penghitungan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang adalah:
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai:
10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
- 45 -
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah :
35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
Dalam contoh ini, Pengusaha Kena Pajak “A” dapat mengkreditkan
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp500.000,00 di atas terhadap
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp5.000.000,00.
Sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar
Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan, baik dengan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp5.000.000,00 maupun dengan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp17.500.000,00.
Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak yang telah membayar Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah pada saat perolehan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah, sepanjang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
tersebut belum dibebankan sebagai biaya, Pengusaha Kena Pajak
berhak meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang dibayarnya, apabila Pengusaha Kena Pajak dimaksud telah
mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "A" membeli mobil dari Agen Tunggal
Pemegang Merk seharga Rp100.000.000,00.
Dia membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah masing-masing sebesar Rp10.000.000,00 dan
Rp35.000.000,00. Apabila mobil tersebut kemudian diekspornya,
maka Pengusaha Kena Pajak "A" berhak untuk meminta kembali
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp10.000.000,00 dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp35.000.000,00 yang
telah dibayarnya pada saat membeli mobil tersebut.
Angka 13
Pasal 11
Ayat (1)
- 46 -
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya
pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada
saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran
atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya
diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat
terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui
“electronic commerce” tunduk pada ayat ini.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya
pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut
mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini
dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
tersebut di luar Daerah Pabean, sehingga tidak dapat
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu,
saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat
penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
- 47 -
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c, atau sebelum dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya
pajak adalah saat pembayaran.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dihapus.
Angka 14
Pasal 12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat
tinggal dan atau tempat kegiatan usaha sedangkan bagi
Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan
dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat
kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya,
maka setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak,
dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat
pajak terutang yang berada di wilayah kerja satu Kantor
Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk seluruh tempat-tempat
terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu
- 48 -
tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang
bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya.
Contoh 1:
Orang pribadi "A" yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai
usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi "A"
tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak,
maka orang pribadi "A" hanya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan
Pajak Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi
"A" adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi "A"
hanya di tempat tinggalnya saja, maka orang pribadi "A" hanya
wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor. Namun
demikian, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat
kegiatan usahanya orang pribadi "A" melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A"
wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor dan
Kantor Pelayanan Pajak Cibinong, karena tempat terutangnya
pajak berada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib
mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat
kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua
tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A mempunyai 3 tempat melakukan kegiatan usaha, masingmasing
di kota Bengkulu, Curup dan Manna yang ketiganya
berada dibawah pelayanan satu Kantor Pelayanan Pajak, yaitu
Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. Ketiga tempat usaha tersebut
masing-masing melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak dan masing-masing melakukan administrasi
penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang
pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT
- 49 -
A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha, misalnya
tempat kegiatan usaha yang berada di Bengkulu untuk
melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. PT A yang bertempat
kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk
melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga
cabang perusahaan tersebut.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu
tempat kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut
dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Direktur Jenderal Pajak sebelum memberikan keputusan perlu
melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan antara lain bahwa:
a. kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak untuk semua tempat kegiatan usaha hanya
dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha;
b. administrasi penjualan dan administrasi keuangan
diselenggarakan secara terpusat pada satu atau lebih tempat
kegiatan usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak
maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean dan atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di
tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 15
- 50 -
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak
sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat
secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak
dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan
dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha
Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang
meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada
pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama,
yang disebut Faktur Pajak Gabungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Mengingat dalam dunia usaha dimungkinkan pembuatan faktur
penjualan dilakukan setelah terjadinya penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Direktur Jenderal
Pajak diberi wewenang untuk menetapkan saat Faktur Pajak harus
dibuat.
Demikian pula, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk
mengatur keseragaman bentuk, ukuran, pengadaan, dan tata cara
penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak. Dalam
ayat ini yang dimaksud dengan pengaturan pengadaan Faktur
Pajak adalah pengaturan mengenai siapa yang mengadakan
formulir Faktur Pajak dan persyaratan yang harus dipenuhi.
- 51 -
Misalnya, pengadaan formulir Faktur Pajak dapat diadakan atau
dicetak sendiri oleh Pengusaha dengan bentuk, ukuran, dan
persyaratan teknis administratif lainnya yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat
digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal
maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap,
jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun
untuk pengisian keterangan mengenai Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena
Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Faktur Pajak
yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat
mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di
dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf f. Faktur Penjualan yang memuat
keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam
ayat ini disebut Faktur Pajak Standar.
Ayat (6)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumendokumen
yang biasa digunakan dalam dunia usaha sebagai Faktur
Pajak Standar.
Ketentuan ini diperlukan karena:
a. Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal
oleh masyarakat luas dan memenuhi persyaratan administratif
sebagai Faktur Pajak. Misalnya, kuitansi pembayaran telepon
dan tiket pesawat udara.
b. Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak,
sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu
- 52 -
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, berada di luar Daerah Pabean. Misalnya, dalam hal
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, maka
Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak.
Ayat (7)
Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menampung
kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen
akhir. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti
penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak
Sederhana yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Jenis dan kuantum;
c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk
pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah;
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Angka 16
Pasal 16A
Ayat (1)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai berkewajiban memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang dipungutnya. Meskipun demikian,
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tetap berkewajiban untuk melaporkan pajak
yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2)
- 53 -
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undangundang
Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama
dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada
kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan
tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya
untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar
diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong
perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing,
mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar
pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan
terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di
Kawasan Berikat dan Entreport Produksi untuk Tujuan Ekspor
(EPTE), atau untuk pengembangan wilayah lain dalam Daerah
Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau
negara-negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi;
- 54 -
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui
pengadaan vaksin-vaksin yang diperlukan dalam rangka
Program Imunisasi Nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang
memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari
ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan photo udara wilayah
Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan
membantu tersedianya buku-buku pelajaran umum, kitab suci
dan buku-buku pelajaran agama dengan harga yang relatif
terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat-tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh
masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah
sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang
angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu
tersedianya barang-barang yang bersifat strategis setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang tetapi tidak dipungut diartikan bahwa Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap
dapat dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai tetap
terutang akan tetapi tidak dipungut.
Contoh:
- 55 -
Pengusaha Kena Pajak “A” memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari Negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak
dipungut selamanya (tidak sekedar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak “A” menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa
Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal
ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak “A” membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak “A” kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran, walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil
karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut
dari Negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan
khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut
tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak “B” memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena
- 56 -
Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak “B” menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa
Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal
ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak “B” membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak “B” kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi
karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas
dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
Angka 18
Pasal 16C
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan
pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri,
maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
PASAL II
- 57 -
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3986
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut