You Are Here: Home - UNDANG-UNDANG - UNDANG-UNDANG 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan
meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat
diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 9 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun
1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566)
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANGUNDANG
NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
4. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana
dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
5. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan
kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
6. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1
(satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga)
bulan takwim.
7. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun takwim.
8. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak.
9. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada
suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam
Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
10. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau
pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan
atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk
suatu Masa Pajak.
12. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan
untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
13. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau
bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik
Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
14. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus
dibayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
17. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang
atau tidak seharusnya terutang.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
19. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak
dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
20. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan
biaya penagihan pajak.
21. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
22. Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak
yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,
ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak
yang terutang.
23. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang
pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk
memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja.
24. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
25. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
Tahun Pajak berakhir.
27. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
penulisan dan penghitungannya.
28. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang
terjadi serta menemukan tersangkanya.
29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat
ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau
Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
30. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
31. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas
banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
32. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak
tertentu."
2. Judul BAB II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA
PEMBAYARAN PAJAK"
3. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
a. tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha
selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan ayat (2);
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak
orang pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan atau ayat (2).
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara
pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak."
4. Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan
ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), sehingga
keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.
(1a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan
untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia
dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang
pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(1a) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3
(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan
secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai
penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun
Pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang.
(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat
Teguran.
(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau
dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila
tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau
dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat
yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 4
(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan
menandatanganinya.
(2) Dalam hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan
harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(3) Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh
orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa
khusus.
(4) Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib
Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal
penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, sedangkan
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga
bukti penerimaan.
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui
Kantor Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang diatur
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap
dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."
7. Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1
(satu) ayat yaitu ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau
batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan.
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan terhadap Wajib
Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah,
dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan
Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi
lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian
Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
(3) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi
sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai
adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap
ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan
dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan
sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak
yang kurang dibayar.
(4) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan, yang mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar;
atau
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih
kecil; atau
c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri
oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
(6) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah
disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan
pajak tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan
atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding tersebut."
9. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan
Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak
atau Masa Pajak berakhir.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling
lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat
Pemberitahuan itu disampaikan.
(2a) Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah
tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat
memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua
belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
10. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang
terutang di kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank
badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik
Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya
serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. "
11. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal
17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk
melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau
sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C.
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat
berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan.
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan. "
12. Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2
(dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal
12 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
(2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang
terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa
jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang
yang semestinya."
13. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan
Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar;
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi
tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur
Pajak.
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat
ketetapan pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan
huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
(4) Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f,
masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."
14. Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila
ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak
yang terutang.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari
Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
(4) Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10
(sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
15. Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2
(dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal
16 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat
Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan
tersebut dianggap diterima. "
16. Ketentuan Pasal 17B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17B
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17B
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C harus menerbitkan surat ketetapan
pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat
permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu
ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu)
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat
diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar."
17. Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu
Pasal 17C, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17C
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak
Penghasilan dan paling lambat 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran
pajak."
18. Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
(2) dihapus."
19. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 19
(1) Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar
berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh tempo
pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan
untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian
Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara
pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang,
maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari
saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan
pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan."
20. Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2
(dua) ayat yaitu ayat (1) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal
20 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 20
(1) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan dalam
hal:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan
membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan
usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang
dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak
ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
21. Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas
barang-barang milik Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu
penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan
atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
barang dimaksud;
c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan
dan penyelesaian suatu warisan.
(4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk
membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan
penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara
resmi, jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat
Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran
jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka
waktu penundaan pembayaran."
22. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 22
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa
setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik
langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)."
23. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3)
dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) dihapus.
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)
dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang
berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
(3) dihapus."
24. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya
penghapusan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
25. Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasanalasan
yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dianggap
sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau
tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan
keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau
pemungutan pajak.
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak."
26. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan
ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 27
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan
tata usaha negara.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang
jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima,
dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
(4) dihapus.
(5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang."
27. Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah
2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan
Pasal 27A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 27A
(1) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding
diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga
diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan
atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian
atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
(3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan
pemberian imbalan bunga diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
28. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 28
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 28
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia,
wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi wajib melakukan
pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang
pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan
dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa
Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan.
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku,
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan
mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya,
serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak
setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari
data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan
pajak yang bersifat final.
(10) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
(11) Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak
orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak
badan.
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
29. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 29
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus
memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan
Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen
lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau
dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban
untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk
keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
30. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31
Tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
31. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara
ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a),
sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 32
(1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib
Pajak diwakili, dalam hal:
a. badan oleh pengurus;
b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan;
c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli
warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta
peninggalannya;
d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan oleh wali atau pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng atas
pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa
mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin
untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang
tersebut.
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa
dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3a) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata
mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan
atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.”
32. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 33
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng
atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti
bahwa pajak telah dibayar."
33. Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan
Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 34
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain
segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya
oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga
terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau
saksi ahli dalam sidang pengadilan.
b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan
kepada pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang
memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan,
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak
kepada pihak yang ditunjuknya.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata atas permintaan Hakim sesuai dengan
Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada
pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat,
keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan
keterangan yang diminta tersebut."
34. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal
36 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang
tidak benar.
(2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
35. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu
Pasal 36A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 36A
Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak
tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku
sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang
bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
36. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 37
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan
Pemerintah."
37. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar."
38. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 39
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,
catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2
(dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung
sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan
tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon
dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak."
39. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 41
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta
rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan
orang yang kerahasiaannya dilanggar."
40. Ketentuan Pasal 41A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41A
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 41A
Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib
memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan
sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
41. Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41B
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
42. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 44
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumendokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan
bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan
sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan
atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada
huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut
hukum yang bertanggungjawab.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku."
43. Di antara Pasal 47 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal
47A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 47A
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum
diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1994."
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan".
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 126
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada
prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undangundang
pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakannya.
2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 9 Tahun 1994, disadari masih terdapat hal-hal yang belum
tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan Pemerintah. Selain itu harapan
masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih,
tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam
Undang-undang ini.
3. Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini
tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme
pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak
tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan Undang-undang
ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan
yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a. bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran
serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional;
b. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai
dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan
pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment),
sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami
oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan
besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan
melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan administrasi yang terlalu
membebani Wajib Pajak dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan
harapan dalam upaya peningkatan pelayanan masyarakat tersebut wewenang
Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan
kepada aparat bawahannya.
Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan
aktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan
penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan
masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain
pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa
maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan
kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang
perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut:
a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
b. menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara
merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong
pembangunan di daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau
terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan
pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan
penerimaan pajak dalam jangka panjang;
c. menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil
olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
d. menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan
pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian
masyarakat dari kemiskinan;
e. menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan,
dan teknologi;
f. menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan
hidup;
g. menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
h. menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan
bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan
dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan,
peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan
tersebut, serta peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang
berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self assessment" wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita
kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib
Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain
daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok
Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya
tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan
usaha dilakukan.
Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan
untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya,
juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha
Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal
Pajak selain yang ditentukan dalam ayat (1) dan ayat (2), sebagai
tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di
beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai
toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan
usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau
Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Permohonan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan
tersebut, tata cara pemberian dan pencabutan Nomor Pokok Wajib
Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
- penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
- harta dan kewajiban;
- pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1
(satu) Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundangundangan
perpajakan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang:
- pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain
dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
- bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi
formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap
sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang
mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan Perpajakan.
Ayat (1a)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir
Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau
oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Bagi Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, diperkenankan untuk melaporkan beberapa
Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak
dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan
atau neraca perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam ayat (3) huruf b karena luasnya
kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan
keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan
memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh
perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan
paling lama 6 (enam) bulan.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan atau perpanjangan
waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak
yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan Surat
Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib
Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan
tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan
penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran
surat permohonan penundaan kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan
batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan, maka terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan
diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
Pajak antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, maka dalam
rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurangkurangnya
memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah
Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan
kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib
Pajak orang pribadi.
Untuk Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurangkurangnya
memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak
Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan
dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat
keterangan tentang perkawinan dengan pisah harta dan
penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan impor atau ekspor
dan Surat Setoran Pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya
adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat
Pemberitahuan. Dengan demikian apabila Surat Pemberitahuan
disampaikan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi
ketentuan yang diharuskan, maka Surat Pemberitahuan tersebut
dianggap tidak disampaikan.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi
atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan
Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak namun karena kepentingan tertentu
diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat
hal-hal mengenai antara lain penelitian kelengkapan, pemberian
tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar,
Kurang Bayar dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut
pengelolaannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perlu cara
lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos secara tercatat.
Oleh karena itu, cara lain perlu diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman penyampaian Surat
Pemberitahuan melalui Kantor Pos merupakan bukti penerimaan,
sepanjang Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap yaitu
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), ayat (1a), dan ayat (6).
Angka 7
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk
menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang dalam batas
waktu yang ditentukan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan,
maka dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (2)
Menteri Keuangan berwenang menetapkan Wajib Pajak tertentu
untuk tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), misalnya Wajib Pajak Non
Efektif dan Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilan netonya di
bawah jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Angka 8
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk
melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan
mulai melakukan tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak,
atau wakil, atau kuasa, atau pegawai, atau diterima oleh anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang
cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan
Surat Pemberitahuannya apabila terdapat kesalahan, di lain pihak
masih tersedia cukup waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk
memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan terhadap
pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu
daluwarsa terlampaui.
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan
sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang
dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari
jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan sampai dengan tanggal pembayaran karena adanya
pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah
dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan
kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua)
kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak
akan dilakukan penyidikan.
Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka
kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang
telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan
Masa untuk tahun-tahun atau masa-masa sebelumnya.
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Terhadap Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajak yang
diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan
banding, masih terbuka kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun berikutnya walaupun telah melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehubungan
dengan Surat Pemberitahuan tersebut.
Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
a. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang
menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar
Rp100.000.000,00.
Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan
pemeriksaan,dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat
ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp50.000.000,00.
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan
keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. Pada tanggal 10
November 2006 diterbitkan Keputusan Keberatan yang
menetapkan rugi fiskal PT A tahun 2002 menjadi
Rp110.000.000,00.
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 Rp100.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
Tanggal 21 November 2006 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut
Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi:
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
Rugi menurut Keputusan Keberatan Rp110.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000,00
b. PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang
menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar
Rp150.000.000,00.
Atas Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan, dan
pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat ketetapan pajak
yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp100.000.000,00.
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan
keberatan pada tanggal 16 Maret 2006.
Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan yang menolak keberatan Wajib Pajak.
Terhadap Keputusan Keberatan tersebut Wajib Pajak mengajukan
banding pada tanggal 22 Desember 2006. Pada tanggal 18 Mei
2007 diterbitkan Putusan Banding yang menambah rugi Wajib
Pajak menjadi Rp160.000.000,00.
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp250.000.000,00
Kompensasi kerugian menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 Rp150.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
Tanggal 21 Juli 2007 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut
Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi:
Penghasilan Neto sebesar Rp250.000.000,00
Rugi menurut Putusan Banding Rp160.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000,00
Angka 9
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir. Keterlambatan dalam
pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenakannya sanksi
administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Apabila pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak
yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus
dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga
setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan itu disampaikan.
Misalnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus
disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak
yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat
tanggal 25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran
atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga
tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
– Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun 2002 sejumlah
Rp10.000.000,00 sebulan
– Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2002 dibayar tanggal 18 Juni
2002 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2002
– Tanggal 15 Juli 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
– Sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
= 1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh
tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama
12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benarbenar
sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Angka 10
Pasal 10
Ayat (1)
Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran
pajak dari Wajib Pajak. Semua penyetoran pajak-pajak negara,
harus disetorkan ke kas negara melalui tempat-tempat pembayaran
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti Kantor Pos dan atau
bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Dengan usaha memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah
dijangkau oleh Wajib Pajak, dimaksudkan untuk mempermudah
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus
menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan
pembayaran pajak.
Ayat (2)
Dengan adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran
pajak, dan pelaporannya yang diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan demikian juga mengenai tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat mempermudah
pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Angka 11
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih
lebih (jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut
tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi
semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya,
kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu
dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih,
baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (2)
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan
menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh
Direktur Jenderal Pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan
tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, dihitung sejak
tanggal penerbitan;
sampai dengan saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak
diterbitkan.
Ayat (3)
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib
Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
ayat ini menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu
seperti tersebut dalam ayat (2), kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat dilakukan pembayaran,
yaitu saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 12
Ayat (1)
Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang
dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentingan administrasi
perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang
dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain
atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah;
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara
melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau
bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua
Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu
yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah
menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara
benar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan,
kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun surat
keputusan dari administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau
berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak
benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Angka 13
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan
hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal
penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas
Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
- penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang
dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah hitung;
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar.
Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002
yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2003 setelah dilakukan
penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan
Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas
kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan
Pajak pada tanggal 13 Juni 2003 dengan penghitungan sebagai
berikut:
– Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Rp1.000.000,00
– Bunga = 3 x 2% x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000,00 (+)
– Jumlah yang harus dibayar Rp1.060.000,00
2. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar:
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar
Rp100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan
Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan
Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2002 dengan
penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan Juni 2002 = Rp60.000.000,00
- Bunga=3 x 2% xRp60.000.000,00= Rp3.600.000,00(+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp63.600.000,00
Ayat (4)
Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah
melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan
kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu selain
harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan
memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Di samping itu
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha
Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari
pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu
terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian
pula terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur
Pajak tetapi tidak melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur
Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu,
dikenakan sanksi yang sama.
Angka 14
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau
telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak
Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat
terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi
atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan
ketetapan pajak. Dengan perkataan lain Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum
didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang
dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka
setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat
telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang
semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang
semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru yang diketahui
kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung
besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum
terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terutang, yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan
beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak
tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain
secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan
fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah
pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan
tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan
cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
semula belum terungkap, misalnya:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan tertulis
adanya biaya iklan Rp10.000.000,00 sedangkan sesungguhnya
biaya tersebut terdiri dari Rp5.000.000,00 biaya iklan di media
masa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau
hadiah.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah tersebut adalah tergolong data yang semula belum
terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan
disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa
disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang
dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan
semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut,
sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan
dimaksud.
Dalam pengelompokan tersebut sesungguhnya terdapat
kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3 namun
dikelompokkan ke dalam kelompok 2.
Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan
koreksi atas kesalahan pengelompokan harta tersebut, dan
sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan,
maka data pengelompokan harta tersebut adalah data yang
semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang
dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh
Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan Faktur Pajak. Barangbarang
tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya
dan
sebagian yang lain tidak mempunyai hubungan langsung.
Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan
oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak
mengungkapkan perincian penggunaan barang tersebut dengan
benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak
Masukan tersebut, dan sebagai akibatnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka
apabila kemudian diketahui adanya data atau keterangan tentang
kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau
keterangan tersebut merupakan data yang semula belum
terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap yang
belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka atas
pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang
dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun
jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana ditentukan dalam ayat (1)
dilampaui.
Angka 15
Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan dalam
rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga
apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi
dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.
Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dengan Wajib Pajak.
Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus atau
berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau
kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena
kesalahan atau kekeliruan adalah:
- surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil;
- Surat Tagihan Pajak;
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
- Surat Keputusan Keberatan;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
yang tidak benar.
Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam ayat ini terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan
pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh
tempo;
b. Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan
dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian
suatu bilangan;
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam
penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi
administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah
atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat
kesalahan dan kekeliruannya.
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau
kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan tersebut,
Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada
Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Guna memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan
pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam
batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 12 (dua belas) bulan terlewati dan Direktur
Jenderal Pajak belum memberikan keputusannya, permohonan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan untuk hal-hal yang dimohonkannya.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai
dengan permohonan Wajib Pajak. Atas hal-hal yang dianggap
dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan pembetulan.
Angka 16
Pasal 17B
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C harus diterbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap,
dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Untuk kegiatan tertentu yaitu ekspor dan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jangka waktu tersebut dapat dipersingkat dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara
mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat
tersendiri.
Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Nihil.
Ayat (2)
Dengan batas waktu tersebut dalam ayat (1) dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak
atau Pengusaha Kena Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut
dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu
keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain
itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib
administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, maka kepada Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan,
bagian dari bulan dihitung satu bulan.
Angka 17
Pasal 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian
harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lambat:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai;
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat
disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan
atau dengan surat tersendiri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kriteria tertentu antara lain:
1. Kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi penyampaian Surat
Pemberitahuan, tidak mempunyai tunggakan pajak;
2. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat
wajar tanpa pengecualian;
3. Penghitungan jumlah peredaran usaha dan pajaknya mudah
diketahui karena berkaitan dengan aturan Pemerintah lainnya,
seperti peredaran usaha dan Pajak Pertambahan Nilai atas
produsen rokok diketahui dari pelaksanaan cukai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah melakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian
pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Surat ketetapan
pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak
Nihil.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut
diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
– Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak sebesar Rp80.000.000,00.
– Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
– Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp20.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp40.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp90.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut:
– Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
Kredit Pajak:
– Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp20.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp40.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp90.000.000,00 (+)
Rp150.000.000,00
– Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp80.000.000,00 (-)
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp70.000.000,00
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp30.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% Rp30.000.000,00 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp60.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai
– Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp60.000.000,00.
– Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Keluaran Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
– Pajak Masukan Rp150.000.000,00
– Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut:
– Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
– Kredit Pajak:
– Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
– Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000,00(-)
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp90.000.000,00 (-)
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp10.000.000,00
- Sanksi administrasi kenaikan 100% Rp10.000.000,00 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp20.000.000,00
Angka 18
Pasal 18
Ayat (1)
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan penagihan pajak.
Ayat (2)
dihapus.
Angka 19
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga penagihan atas jumlah yang
masih harus dibayar menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo
pembayaran atau terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara
penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1. Atas jumlah pajak yang kurang dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan.
Pajak terutang atau ditagih (dianggap tidak ada jumlah pajak
yang dikreditkan) Rp100.000,00. Surat ketetapan pajak
diterbitkan tanggal 10 Oktober 2002. Harus dilunasi paling
lambat tanggal 9 November 2002, tetapi baru dibayar sejumlah
Rp60.000,00 pada tanggal 1 November 2002. Sampai pada
tanggal batas waktu pembayaran terakhir (9 November 2002)
sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak.
Pada tanggal 18 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak dengan penghitungan sebagai
berikut:
Pajak terutang Rp100.000,00
Dibayar pada waktunya Rp
60.000,00
Kurang dibayar Rp
40.000,00
Bunga dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp40.000,00 = Rp
800,00
Bunga tersebut ditagih dengan Surat Tagihan Pajak.
2. Atas jumlah pajak yang terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar penuh tetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal 20
November 2002. Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak.
Bunga terutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu bulan
=
1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.
3. Atas jumlah pajak yang kurang dan terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 20 November 2002.
Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
Bunga terutang dihitung satu bulan =
1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 20
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak atau kurang dibayar
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai
dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak
memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilakukan
dengan Surat Paksa. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut
dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah
tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 21
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang
milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada
kreditur lain.
Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada
Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur
lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di
muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih
lagi.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh) tahun
apabila:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan
menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak
melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara:
- Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran dan
penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak.
- Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan.
Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur
Jenderal Pajak.
- Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang
pajaknya. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung
sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan
terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan
ketetapan pajak tersebut.
Angka 23
Pasal 23
Ayat (1)
dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
dihapus
Angka 24
Pasal 24
Menteri Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan
menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi
antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak
mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah
selesai proses pailitnya, Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi
sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan telah
daluwarsa. Melalui cara ini akan dapat diperkirakan secara efektif
besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka 25
Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak,
dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari
ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undangundang
perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau
pemungutan pajak.
Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu keberatan
harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak,
misalnya:
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996
keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat
keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan
dua buah surat keberatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak
mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan
surat keberatan beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak
dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan
Wajib Pajak (force mayeur), maka tenggang waktu selama 3 (tiga)
bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai tanda terima
surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat
keberatan. Dengan demikian batas waktu penyelesaian keberatan
dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat
keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya, maka batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat berikutnya
yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan
yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar
pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah
ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk
memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat (7)
Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran
pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan
tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan
lelang.
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak
dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan
kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat
dicegah terganggunya penerimaan negara.
Angka 26
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
dihapus
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga hanya diberikan berkenaan dengan Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding yang menyangkut Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat
Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4)
dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan dimaksud merupakan akibat dari
adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan tersebut, yang menerima sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 28
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. Stelsel pengakuan penghasilan;
b. Tahun buku;
c. Metode penilaian persediaan;
d. Metode penyusutan dan amortisasi
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya
diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan
penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode
lainnya yang dipakai di bidang usaha tertentu seperti Build Operate
and Transfer (BOT), Real Estate, dan lain-lain.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan,
bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu,
serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah
dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi
atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat
diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan
pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu
besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan
mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu
untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan.
Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan
seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak
yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari
penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat
asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya
dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya
(metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, metode
penilaian persediaan dan sebagainya. Namun demikian, perubahan
metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan
metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan
menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta
akibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari
kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode
pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2002 menggunakan metode penyusutan
garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 2003 Wajib Pajak
bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining
balance method.
Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta persetujuan
terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan
sebelum dimulainya tahun buku 2003 dengan menyebutkan alasanalasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu
perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender)
kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim, maka penyebutan Tahun Pajak yang
bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6
(enam) enam bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Pembukuan 1 Juli 2002 sampai dengan 30 Juni 2003, tahun
pajaknya adalah tahun 2002.
b. Pembukuan 1 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003,
tahun pajaknya adalah tahun 2003.
Ayat (7)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 26.
Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan
tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak
lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga
jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau
nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundangundangan
perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka
yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan.
Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan
objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil
pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia,
dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau
pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan bukubuku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.
Ayat (12)
Cukup jelas
Angka 29
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang
melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di
tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun
tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk
terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut
pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan
kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran
Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan
kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau
kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan:
a. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan
dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan
Pemeriksaan Lengkap;
b. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan
kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup
pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang
dinamakan Pemeriksaan Sederhana.
Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk
tujuan lain diantaranya:
- menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan
Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
- mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
- memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas
identitasnya, oleh karena itu harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas
pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan
kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang
cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam
menjalankan tugasnya petugas pemeriksa harus bekerja dengan
jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif
serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada
bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan
dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen
dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan
dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.
Bilamana buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang
diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih
untuk menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa
diperbolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan yang menurut
dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan sehingga
pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain
yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat
ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditidakan.
Angka 30
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 31
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil
untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
terhadap badan, badan dalam pembubaran , warisan yang
belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada
dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan
siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka tidak
dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum
tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur
dalam Undang-undang ini bertanggungjawab secara pribadi atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan
bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan
tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau
secara renteng.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak
untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah
perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan
materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup jelas
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus.
Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi Komisaris dan pemegang
saham mayoritas atau pengendali.
Angka 32
Pasal 33
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen
barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran
pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut
tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
Angka 33
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan
tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan
Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang
bersifat rahasia;
d. dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu
pelaksanaan undang-undang perpajakan, adalah sama dengan
petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (2a)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau
instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di
bidang keuangan negara. Dalam pengertian keterangan yang dapat
diberitahukan, antara lain identitas Wajib Pajak dan informasi yang
bersifat umum tentang perpajakan.
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan,
penuntutan atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan
instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan
nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk
memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara
terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri
Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri Keuangan
memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan,
bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya
mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau
peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas
pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 34
Pasal 36
Ayat (1)
Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang
dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak
dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak
memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan
berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau
membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib
Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi
persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada
waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 36A
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
meningkatkan kemampuan petugas pajak maka terhadap petugas pajak
yang menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan
Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan
kerugian negara, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Angka 36
Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat
berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang
kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan
Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan
bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan,
sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
Angka 37
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan
dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak
pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau
tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan
pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya
kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan yang dimaksud dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak
hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya, sehingga perbuatan
tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Angka 38
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang berat mengingat
pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan,
dikenakan pidana lebih berat, ialah dilipatkan 2 (dua) dari ancaman
pidana yang diatur dalam ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian
Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan atau
kompensasi pajak yang tidak benar, sangat merugikan negara. Oleh
karena itu percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan
delik tersendiri.
Angka 39
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak
akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam
memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka
pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perlu adanya sanksi
pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan
karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang
mengindahkan, sehingga kewajiban untuk merahasiakan,
keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang
dilindungi oleh undang-undang perpajakan dilanggar. Atas kealpaan
tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih berat
dibanding dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena
kealpaan, agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk
tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib
Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Angka 40
Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak
ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini.
Angka 41
Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan misalnya menghalangi
Penyidik melakukan penggeledahan, menyembunyikan bahan bukti dan
sebagainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, dikenakan sanksi
pidana.
Angka 42
Pasal 44
Ayat (1)
Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 43
Pasal 47A
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka
mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk
tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1994.
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3984
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut