NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan
meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih
dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan
terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama
Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
- 2 -
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang
telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri
adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri
adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
- 3 -
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam,
wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk
eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai
atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari
60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya.”
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan
konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing,
- 4 -
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf
a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan,
persekutuan dan badan lainnya karena
- 5 -
pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungantabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
- 6 -
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di
luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
- 7 -
terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin
usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau
yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor
usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2)
diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h,
sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti,
biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali
Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
- 8 -
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan
puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh
ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan
puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh
ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
- 9 -
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak
3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal
tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan
kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan
bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
- 10 -
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam
dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan
di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan
harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan,
dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku,
- 11 -
dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan
sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam
proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib
Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai
pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai
menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali
aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta
adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat Tarif penyusutan
sebagaimana
dimaksud dalam
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
- 12 -
Tidak 10 tahun 10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam
ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta
berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha
tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau
penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh
dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa
kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah
nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta
tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan
- 13 -
dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam
bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi
atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok
Tak Berwujud
Masa Tarif Amortisasi
berdasarkan metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan
modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun
terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4),
hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber
alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi paling tinggi
20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hakhak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4),
dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak
- 14 -
tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang
diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan
pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga
keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
menentukan penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya
dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah), boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
yang menghitung penghasilan netonya dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan
pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
- 15 -
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp
25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
- 16 -
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima
persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas
persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima
persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena
Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam
bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
- 17 -
tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu)
tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh
dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5)
dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1
(satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal
18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri
atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam
negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman
usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama
dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
- 18 -
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1)
huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke
samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus,
sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain,
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan
uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama
apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan
pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.
- 19 -
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
adalah badan perwakilan negara asing dan organisasiorganisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun,
dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta
pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali
ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4)
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau
terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf f;
3) royalti;
- 20 -
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.”
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7)
diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1
(satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal
25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
- 21 -
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran
pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka
besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib
Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya
termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
- 22 -
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar
negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak
yang bersangkutan menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final menurut Undangundang
ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang
terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap
dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak
sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
- 23 -
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal
31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman
modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di
daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan
lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal
baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam
BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang
usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang
bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun
jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang
terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk
penyelesaian utang;
- 24 -
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang
pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21
yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan
imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan
dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000.”
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal
yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian
dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.”
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan
Ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan 1984”.
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
- 25 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang
Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undangundang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran
serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai
bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undangundang
perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undangundang
Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan
perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan
peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional
khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap
berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara
- 26 -
universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan
produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undangundang
Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan
investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha
tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut,
perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang
Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut :
a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka
dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu
dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal
lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan
dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak
Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi
masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan
tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan
ASEAN.
b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self
assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus
menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan
tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak
mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong
untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat
asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak
pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan
penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat
wajib menyelenggarakan pencatatan.
c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan
sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi
pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak
Penghasilan yang dapat diberikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
- 27 -
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan
bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat
tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar
Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan
tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut),
bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak
tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu,
walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak
Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai
eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam
pengertian badan.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan
Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan
bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan
Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan
sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak,
yaitu:
1) dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN
atau APBD;
- 28 -
3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam
anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik
yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk
lainnya termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula
asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri
dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri
menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak
luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan
dengan penghasilan yang diterima dari sumber
penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan
dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang
menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri
dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan
kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib
Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib
Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk
menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak
yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
- 29 -
Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek
Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang
bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk
dalam pengertian orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah
seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus
berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap
sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian
Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun
untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan
kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan
tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya
beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh
orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak
dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada
objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau
badan yang bertempat tinggal atau bertempat
kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik
melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183
- 30 -
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah
Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui
bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau
badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha
tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya
tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan
demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan
orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar
negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di
Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka
pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada
Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya
suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesinmesin
dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang
pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi
atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan
agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan
bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat
kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi
tersebut menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui
pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia.
Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di
Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak
- 31 -
tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor
Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi
pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang
sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal
atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan
pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal
seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara
lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal
keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain
yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 2
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan
negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan
diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka
mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat
tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah
Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara
asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk
Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan
lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa
- 32 -
pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik
mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut
bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis
kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan
menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti,
sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang,
hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai
untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu
usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya
(kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di
luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan
tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain
yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang
penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contohcontoh
dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan
- 33 -
asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja,
atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek
Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk
imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya
merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian,
pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian
tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain
sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan
yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu,
misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang
lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari
harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut
merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang
sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai
dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan
dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku
sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan
demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena
penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual
kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan
harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan
keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham
yang membeli mobil tersebut selisih sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan
penghasilan.
Komentar Pribadi :
Sekali tepuk dua lalat!!
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari
penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual
berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta
- 34 -
tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga
selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku
dalam hal terjadi penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal, maka keuntungan
berupa selisih antara harga pasar dari harta yang
diserahkan dengan nilai bukunya merupakan
penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan
nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan
harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali
harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihakpihak
yang bersangkutan.
Komentar Pribadi : Orang
ngasih koq masih dinilai
mendapat penghasilan!!
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak,
merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena
sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium,
diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual
di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi
apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai
nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh
pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau
pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh
- 35 -
anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen
adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak
langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang
melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran termasuk saham bonus yang berasal
dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa
penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya
yang diterima atau diperoleh pemegang saham
karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari
modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun
yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari
pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba,
termasuk yang diterima sebagai penebusan tandatanda
laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan
obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota
koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi
pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau
pembayaran dividen secara terselubung, misalnya
dalam hal pemegang saham yang telah menyetor
penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada
perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka
selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan
tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan
sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan
sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga
kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan
penggunaan:
- 36 -
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak
pengarang, paten, merek dagang, formula, atau
rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat
industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang
dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan
ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang
mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatanperalatan
yang digunakan di beberapa industri
khusus seperti anjungan pengeboran minyak
(drilling rig), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan
secara umum, walaupun mungkin belum
dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang
industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari
informasi dimaksud adalah bahwa informasi
tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak
perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan
informasi tersebut. Tidak termasuk dalam
pengertian informasi di sini adalah informasi
yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli
teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang
dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai
latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang
diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta
gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa
kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya
"alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar
secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun
demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
(Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk
perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil
lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan
sebagai Objek Pajak.
Huruf l
- 37 -
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan
fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya
kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas
keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata
uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan
sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak
dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan
penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi
reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan
akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan
pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum
dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan
kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek
Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1), penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan
Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan
melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber
dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari
tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya
perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah
kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan
pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta
memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya
pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak
atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan
atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu
lainnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan
termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-
38 -
jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan
Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam
pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban
administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam
ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima
bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima
tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha,
hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan
sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud
dengan zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang
menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai
produsen suatu jenis barang yang bahan baku
utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B
memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A,
maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A
merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha,
hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang
diterima oleh badan merupakan tambahan
kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun
karena harta tersebut diterima sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan
merupakan Objek Pajak.
Huruf d
- 39 -
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan
sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan
seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan
dan lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau
kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus deemed profit, maka imbalan
dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi
pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di
Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan
menempati rumah yang disewa oleh perwakilan
diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan
lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan
diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan
Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh
orang pribadi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan polis asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu
bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya
tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya
berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima
atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya
pada badan usaha lainnya yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan
penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima
persen), dan penerima dividen tersebut
memperoleh
- 40 -
penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang
berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk
Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam
ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan
(Persero), bank pemerintah, bank pembangunan
daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen
atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badanbadan
tersebut di atas, seperti orang pribadi baik
dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan
komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan
sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau
bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan
ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah
iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas
beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi
kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta
pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada
mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran
tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun,
dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan
sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian
sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah
mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah
penghasilan dari modal yang ditanamkan di
bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh
dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan
pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada
peserta pensiun di kemudian hari, sehingga
penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada
bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang
berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidangbidang
tertentu dimaksud ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan
sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang
- 41 -
merupakan himpunan para anggotanya dikenakan
pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan
tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima
oleh para anggota badan tersebut bukan lagi
merupakan Objek Pajak.
Huruf j
Perusahaan reksadana adalah perusahaan yang
kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi
kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal
khususnya pemodal kecil, perusahaan reksadana
merupakan salah satu pilihan yang aman untuk
menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan
reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh
perusahaan reksadana dikecualikan sebagai Objek
Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan
reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya
izin usaha.
Huruf k
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan
yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha
(sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan
modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan
ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau
diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat
perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan
perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf f, maka dividen yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura bukan
merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat
diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan,
misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka
usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha
tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan
alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan
oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses
ke bursa efek.
- 42 -
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban
atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari
1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan
limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahun
pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena
selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim
disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh
penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak
sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp
100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp
300.000.000,00
Jumlal penghasilan bruto Rp
400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp
200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00 =
Rp 150.000.000,00.
- 43 -
Demikian pula bunga atas pinjaman yang
dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan Objek Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut
dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga
perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada
hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya
pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi
pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman
yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan
pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk
kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai
biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang
bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan
pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah
dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun demikian,
pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan
tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam
batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang
baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang
melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui
batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam
rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM),
Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan sebagai
biaya.
- 44 -
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu
dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan
untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11,
dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan
pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa
tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat
dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan
sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan
kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau
belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual
atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau
yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat
disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi
sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan
Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs
mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs,
pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara
taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem
pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis),
pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat
terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing
- 45 -
tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem
pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada
akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap
akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia
atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di
bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan
sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan
bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing
tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk
menemukan teknologi atau sistem baru bagi
pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa,
magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan
kewajaran dan kepentingan perusahaan.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak
telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba
rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti
penerbitan berskala nasional, namun dapat juga
penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan
dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan
berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau
laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai
sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba
rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
- 46 -
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00
(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00
(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00
(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang
masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001,
sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp
300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba
fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir
tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan
netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang
sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau
memperoleh penghasilan yang digabung dengan
penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang
isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus
delapan puluh ribu rupiah).
- 47 -
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah
dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang
dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya
ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan
tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya
memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang
sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau
anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A
adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 +
Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. Sedangkan untuk
isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebesar Rp 2.880.000,00. Apabila penghasilan
isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp
11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).
Komentar Pribadi:
Saya+Isteri+3 Anak=
Rp.2.880+4xRp.1.440=
Rp. 8.640.000,-
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut
keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B
berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.
Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari
2001, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001
tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu)
anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter
serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap
tahunnya.
- 48 -
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak
dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai
hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi
pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan,
atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk pembayaran dividen kepada
pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi
kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya karena pembagian laba tersebut
merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut
yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undangundang
ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau
dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti
perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya
premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau
keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada
prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun
untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis
memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup
beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian
hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk
usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, maka
perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan
- 49 -
pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan
syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang
pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud
menerima penggantian atau santunan asuransi,
penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau
ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi
kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan
sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan
merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4
ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut
maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan
dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan
pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa
penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi
seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian
dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput
karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan
yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan
merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh
dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat
terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada
pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada
dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan
- 50 -
dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang
jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka
berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi
kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang
saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada
badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh
tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp
2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai
pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap
sebagai dividen.
Huruf g
Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian
bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena
Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari
Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang
dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan
sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang
menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada
tahun zakat tersebut dibayarkan.
Komentar Pribadi :
RASIALIS!!
Kristen bayar Perpuluhan
tidak boleh dipotong!!
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam
ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya
merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut
- 51 -
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan
sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan
sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh
anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham,
bukan merupakan pembayaran yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang
mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa
tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah
tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap
penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan
antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam
ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan
sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun
pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan
dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus
dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan
pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut
melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk
memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak
guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang
pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah
tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki
untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah
tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan
untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau
perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh
tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai
yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus
- 52 -
hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dari
pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi
yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak
pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan
ketentuan ini adalah:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode
garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku
(metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan
secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat
disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud
selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis
lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode
saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat
harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil
(small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan
dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp
100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun,
penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00
(Rp 100.000.000,00 ¸ 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan
Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp
150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4
(empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan
50% (lima puluh persen), maka penghitungan
penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 150.000.000,00
2000 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2003 Disusutkan
sekaligus
18.750.000,00 0
- 53 -
Ayat (3) dan ayat (4)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta
sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara
pro-rata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan
pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta tersebut mulai menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam
ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan
tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya
penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah
sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada
bulan Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada
bulan Maret 2001. Penyusutan atas harga perolehan
bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun
pajak 2001.
Contoh 2.
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli
2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00.
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun.
Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh
persen), maka penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 100.000.000,00
2000 ½ X 50% 25.000.000,00 75.000.000,00
2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2003 50% 9.375.000,00 9.375.000,00
2004 Disusutkan
sekaligus
9.375.000,00 0
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor
pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan
(panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2000.
Ayat (5)
- 54 -
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak
dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta
berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat
harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus
maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah
bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan
yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindahpindahkan,
yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat
dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidangbidang
usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan
gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan
pengaturan tersendiri untuk peyusutan harta berwujud
yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena
pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun
dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka
penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih
antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan
berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau
penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya
penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Ayat (10)
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak agar Jumlah sebesar kerugian
tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian
asuransi tersebut.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang
mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib
Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan
- 55 -
diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang
termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus
diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 8
Pasal 11 A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
diamortisasi dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama
masa manfaat, atau;
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa
buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang
menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak
tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas
pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam
melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan
amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa
manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud.
Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada
kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa
manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat
yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat
yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa
manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat
menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun
atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang
sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok
masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan
persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang
bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
- 56 -
minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih
kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa
pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain,
maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan
sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil
alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan
jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan,
yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton
kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai
dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan
dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun
pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga
juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi
yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun
tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang
diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari
pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan
sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan
dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biayabiaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai,
biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor
lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak
boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada
tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak
penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar
Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di
daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus
juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi
mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel,
PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain
dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan
penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut
adalah sebagai berikut:
- 57 -
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp
250.000.000,00
Nilai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp
300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar
Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai
penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib
Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil
dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak
semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan
besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus.
Penggunaan Norma penghitungan tersebut pada dasarnya
dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu
pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak
ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa
berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak
yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk
menghitung penghasilan neto.
- 58 -
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh
digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk
dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang
peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undangundang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan penerapan norma dalam menghitung
penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak
bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
kewajiban pencatatan atau pembukuan;
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu
dilakukan pemeriksaan;
sehingga karena itu mengakibatkan peredaran bruto yang
sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya
dapat dihitung dengan cara lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas
peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan
kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Angka 10
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
- 59 -
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib
Pajak orang pribadi
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp
250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
5% X Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00
(+)
Rp 53.750.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp
250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00 (+)
Rp 57.500.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat ini akan
diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari
dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan
faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri
Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang
mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk
penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp
5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)) Rp 34.816.000,00
- 60 -
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00 = Rp 981.600,00 (+)
Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3
bulan)
(3x30) ¸ 360 x Rp 2.231.600,00 = Rp 557.900,00
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada
Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang
dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang
tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri
tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan,
keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 11
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri
Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang
dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu
yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang
dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan
antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas
kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut
dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk
penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini
menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau
pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan
yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha
adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan
perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi,
dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri
menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi
kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap
penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan
berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
- 61 -
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40%
dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara
Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa
efek. Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh laba setelah
pajak sejumlah Rp100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang
menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar
penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan
dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan
biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai
dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak
tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam
menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya
tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya
data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran
serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal
secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal
tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai
modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan
misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau
berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan
dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu
tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperolehnya
dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak
dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar
produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (related parties)
dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer
pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang
- 62 -
dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat
unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur
Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang
berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi
karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa
di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi
karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat
hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara
langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan
penyertaan langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%
(lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai
pemegang saham PT B secara tidak langsung
mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua
puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A,
PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa.
Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D
dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat
juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga
terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat
hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau
lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang
sama. Demikian juga hubungan antara beberapa
- 63 -
perusahaan yang berada dalam penguasaan yang
sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah,
ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah
saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak
tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam
garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam
tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa
dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja,
bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan,
perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi
ataupun badan yang merupakan induk, cabang,
perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau
terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
pembayaran lain dengan nama apapun kepada
pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian
pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional
yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong
pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah
pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah,
tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain
seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja
tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau
memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
- 64 -
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara
lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua,
tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis
dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain
termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan
secara berkala ataupun tidak, yang dibayarkan kepada
penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua,
penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi
internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan
ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya
dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas
pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan
termasuk antara lain badan, badan pemerintah,
organisasi termasuk organisasi internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang
diselenggarakan misalnya kegiatan olah raga,
keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong
pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran
tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh
pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
- 65 -
pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan
hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai
harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan
selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau
terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara
penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar
pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam
bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan
adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan
pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas
persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga
simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang
- 66 -
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan
dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk
menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan
penghasilan neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan
penghasilan neto, Direktur Jenderal Pajak selain
memanfaatkan data dan informasi intern, dapat
memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak
yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri
dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000
Rp 50.000.000,00
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja
(Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
(Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000.00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap
bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00
(Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang
meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2000, maka
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri
- 67 -
setiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp
2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah
tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan
ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk
bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah
sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari
tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001,
maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar
angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp
1.000.000,00.
Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan
keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil,
sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai
dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap
bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama
dengan angsuran bulan Desember, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak
dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan
pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib
Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya
angsuran pajak yang harus
dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni
2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak
2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap
bulan sebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya
angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp
- 68 -
2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama,
lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak
sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin
diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang
pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan
ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan
wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi
kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh
penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp
150.000.000,00
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2000 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001
adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran
Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp
30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00 (+)
Rp 11.000.000,00
Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang
dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak
bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp
916.666,67 (dibulatkan Rp 916.666,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam
tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur
dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang
dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp
72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur
tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka
- 69 -
penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun
2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat
terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B
yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun
2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp
15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh
karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan
Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran
bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan
dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun
berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan
besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip
tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran
berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan
besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta
sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran
pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu
diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena
Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas
kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan,
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah,
terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah
laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai
dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran
pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat
bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib
Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak
orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di
- 70 -
beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang
mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang
angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau
kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang
bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran
pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan
jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas
negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan,
keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan
Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban
membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini.
Ayat (9)
Sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), besarnya angsuran
pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat
usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang
elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat
perbelanjaan, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Angsuran pokok bagi Wajib Pajak
tersebut, merupakan pelunasan pajak yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib
Pajak tersebut tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Apabila Wajib Pajak tersebut juga
menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka
dalam menghitung pajaknya, seluruh penghasilannya
digunggungkan dan dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan umum, sedangkan pajak yang telah
dibayar merupakan kredit pajak.
Angka 15
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem
pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan
yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
- 71 -
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib
dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang
melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan
dapat digolongkan dalam:
1) penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk
dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi
swap sehubungan dengan interest swap dan imbalan
karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa
serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau
kegiatan;
3) hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun;
4) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subjek
Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp
100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka
Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk
memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh
persen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri
yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari
maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang,
maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak
Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu
penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi,
termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri
Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan
besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta halhal
lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar
negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut
- 72 -
telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00 (+)
Rp 5.232.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi pajak Rp12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak
sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali
di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan,
maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar
negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga
potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian
kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk
bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan
terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20
April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi
8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31
Agustus 2001.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka
status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri.
Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka
status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi
Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari
2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas
penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal
26 oleh PT B.
- 73 -
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa
Januari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas
penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat
dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam
negeri.
Angka 16
Pasal 31 A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam
undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan
yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari
maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk
mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik
melalui penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor.
Selain itu kemudahan pajak juga diberikan untuk
mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti yang
banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka
pemerataan pembangunan.
Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati selama
6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak
berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah realisasi penanaman.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk
menampung kemungkinan perjanjian dengan negaranegara
lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan
bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 31 B
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah
menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap sektor
perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro
ekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang
luar negeri dan dalam negeri (dalam valuta asing) yang
mengalami kenaikan drastis sebagai akibat terdepresiasinya
- 74 -
secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang dollar
Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan
perekonomian nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan
khusus restrukturisasi utang. Restrukturisasi tersebut dapat
dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh)
utang, pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan
perubahan utang menjadi modal. Restrukturisasi utang yang
diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi tersebut,
perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan.
Pemberian fasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis
maupun jangka waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul berhak, terarah dan
terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya, fasilitas hanya
diberikan terhadap restrukturisasi utang yang dilakukan melalui
lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah, yaitu Satuan Tugas
Prakarsa Jakarta.
Ayat (1)
Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas
hanya untuk tahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002.
Adapun fasilitas pajak yang dimaksud adalah berupa
keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk :
a. pembebasan sebagian serta pengangsuran pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utang
yang diberikan oleh kreditur;
b. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas
pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian
utang sepanjang harta tersebut dinilai sebesar nilai buku
pihak yang mengalihkan;
c. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas
perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang
penyertaan modal tersebut dinilai sebesar utang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 C
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas
- 75 -
Angka 19
Pasal 32 A
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan
perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat
hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hakhak
pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan
kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak
berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk
dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan
ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masingmasing
negara.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985
