Oleh: Dr Frans H Winarta *)
Penyelenggaraan kursus dan ujianadvokat (bar examination) hanyalah dijadikan alat komersial untuk mengisi kasorganisasi dan tidak untuk kesejahteraan dan peningkatan mutu dan kualitasadvokat. Konsep wadah tunggal gagal total dalam mengemban maksud dan tujuanyang termaktub di dalam UU Advokat.
Ujiandan kursus (pelatihan) advokat yang secara internasional dikenal sebagai barexamination diselenggarakan oleh bar association setempat denganberagam cara. Namun, penyelenggaraan dan kurikulum bar examination diIndonesia sebelum UU Advokat berlaku, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RImelalui pengadilan tinggi di seluruh Indonesia. Setelah pemberlakuan UUAdvokat, hak penyelenggaraan itu diserahkan kepada organisasi advokatsatu-satunya menurut UU Advokat (tidak disebutkan nama organisasinya).
Halini berbeda dengan pengaturan advocaten wet di Belanda yang secara tegasmenunjuk NOVA (Nerderlandse Orde Van Advocaten) sebagai penyelenggara ujianadvokat, khususnya Pasal 9 C yang menyatakan: “De Nederlandse orde vanAdvocaten draagt zorg voor stagiaries en stelt de stagiarein de gelegenheiddeze opleiding te volgen die met een examen wordt afgesloten.”
Yangditerjemahkan dalam teks bahasa Indonesia sebagai berikut: “OrganisasiAdvokat Belanda (NOVA) akan memberikan program studi untuk calon advokat danmemberikan calon advokat kesempatan untuk mengikuti kursus pelatihan, yangdiakhiri dengan ujian.”
UUAdvokat tidak menjelaskan secara tegas organisasi mana yang dimaksudkan sebagaiorganisasi advokat satu-satunya dan tata cara organisasi advokat itu didirikan.Tidak aneh, kalau ada dua organisasi yang mengakui bahwa merekalah yang sahdidirikan menurut UU Advokat dengan argumentasi masing-masing. Padahal, sebelumUU Advokat diberlakukan tahun 2003, sudah ada IKADIN dan AAI yang juga mengakuisebagai wadah tunggal (istilah single bar association pra UUadvokat). Alhasil, terdapat empat organisasi advokat yang di dalam anggarandasarnya mengakui dan mengklaim dirinya wadah tunggal (single bar association)sehingga konsep wadah tunggal ini telah gagal total untuk mencapai tujuannyadalam mempersatukan dan meningkatkan mutu serta kualitas advokat Indonesia.
Penyelenggaraankursus dan ujian advokat (bar examination) hanyalah dijadikan alat komersialuntuk mengisi kas organisasi dan tidak untuk kesejahteraan dan peningkatan mutudan kualitas advokat. Singkat kata, konsep wadah tunggal gagal total dalammengemban maksud dan tujuan yang termaktub di dalam UU Advokat.
Pertanyaannyasekarang apakah konsep yang gagal ini mau diteruskan? Permohonan JudicialReview di Mahkamah Konstitusi telah ditolak dengan alasan-alasan yang tidakrelevan dan konseptual antara lain karena Republik Indonesia merupakan negarakesatuan maka tidak bisa didirikan federasi advokat, karena advokat adalahpenegak hukum seperti polisi atau jaksa yang berada dalam organisasi wadahtunggal, sehingga advokat pun dapat berada dalam organisasi wadah tunggal.Serta Permohonan PK dinyatakan nebis in idem padahal alasan dan dasarhukum permohonan berbeda dengan permohonan yang lampau dan sudah lulus dalamsidang pemeriksaan pendahuluan (dismissal process).
Ujian Advokatdi Belanda dan Inggris
Ada baiknya kita melihat perbandingan ke negara-negaraEropa Barat, seperti Belanda dan Inggris, yang lebih awal menyelenggarakanujian dan kursus (pelatihan) advokat oleh organisasi advokat. Kedua negara itumempunyai sistem hukum berbeda yaitu civil law dan common law.Ujian advokat di Belanda sebagai negara demokratis dan liberal mengikutsertakanperan negara c.q. pemerintah dalam penyelenggaraan ujian advokat.
Pasal 9d Advocatenwet menyatakan berikut: “A Board of Governors shall supervise the studyprogramme and the exam. The Board of Governors shall have five members, threeof which are to be appointed by the Minister of Justice and two by the Assemblyof Delegates. The Minister of Justice shall also elect the chairman from amongthe members.”
“Themembers of the Board of Governors shall retire after four years of office andmay be reappointed once.”
Sedangkan di Inggris, Solicitor Act 1974 mengaturdalam Pasal 2 sebagai berikut: “TheSociety, with the concurrence of the Lord Chancellor, the Lord Chief Justiceand the Master of the Rolls, may make regulations (in this Act referred to as“training regulations”) about education and training for persons seeking to beadmitted or to practice as solicitors.
”Itshall be the society’s duty, before submitting training regulations to the LordChancellor, the Lord Chief Justice and the Master of the Rolls for theirconcurrence under subsection (1), to consult the Secretary of state or, if heso directs, any person or body of person or body of persons specified in thedirection.”
Jelasterlihat dari uraian di atas bahwa negara, pemerintah dan aparat laindiikutsertakan dalam penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat. DiBelanda melibatkan lima Governors yang diangkat oleh Menteri KehakimanBelanda dan program harus disetujui Governors dan arahan dari MenteriKehakiman Belanda. Di Inggris diselenggarakan oleh Lord Chief Justice (KepalaPeradilan dan Pimpinan Pengadilan Inggris dan Wales) dan Master of the Rolls(Hakim Kedua Tertinggi setelah Lord of Chief Justice), dimana Lord ChiefJustice dan Master of the Rolls berperan membuat peraturan ”trainingregulations” dan harus disetujui mereka.
Barassociation tidak boleh terlibat dalam komersialisasi kursus dan ujianadvokat, karena secara prinsip organisasi harus hidup dari iuran anggotanya(membership dues) dan bukan dari komersialisasi kursus dan ujian advokat.Penyelenggaraan keuangan organisasi pun harus transparan dan akuntabel sebagaimanakaidah-kaidah Good Governance.
Biaya ujian, kursus dan fee Solicitor di Inggrisdiatur dalam United Kingdom Legal Services Act 2007:
Controlof practising fees charged by approved regulators
.....
Anapproved regulator may under the apply amounts raised by practising fees one ormore of the permitted purposes
.....
Apractising fee is payable under the regulatory arrangements of an approvedregulator only if the Board has approved the level of the fee.
Jadi,bar association tidak boleh begitu saja memutuskan sendiri feesolicitor, biaya ujian dan kursus tetapi harus mendapatkan persetujuan Board.Di sinilah UU Advokat kehilangan mata rantai dari kursus dan ujian advokat yangdiselenggarakan Mahkamah Agung RI yang kemudian dilimpahkan ke organisasiadvokat, seharusnya tidak boleh mutlak tetapi harus tetap diawasi dalam halbiaya kursus dan ujian advokat. Inilah yang dipersoalkan mantan HakimKonstitusi Maruarar Siahaan bahwa tidak ada peraturan peralihan sehinggapenyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat di Indonesia menjadi tidaksah karena tidak ada peraturan peralihan.
Anggota Board yangmengawasi itu terdiri dari: ”The Board is to consist of the followingmembers:
achairman appointed by the Lord Chancellor
theChief Executive of the Board (see paragraph 13), and
atleast 7, but not more than 10, other persons appointed by the Lord Chancellor.”
Begitu pula di Belanda diatur dalam AdvocatenWet :
”Pasal 9c:
Unlessthere is an order in council to that effect, the By-law referred to in article28 shall include rules detailed rules on te following topics with respect tothe training course referred to in subsection 1:
e.the course fee and examination fee to be charged to the trainee.”
Board melakukan pengawasan kepada organisasi-organisasi yangmemiliki kewenangan untuk pelaksanaan kursus (pelatihan) dan ujian advokat,pengambilan sumpah, menghimpun dana, melaksanakan sertifikasi maupun kewenanganlainnya untuk penyelenggaraan pendidikan lanjutan advokat. Nama-nama dariorganisasi advokat yang berwenang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebuttelah secara tegas dicantumkan nama-namanya seperti The Law Society, TheGeneral Council of The Bar, The Master of The Faculties, The Institute of LegalExecutives, The Council for Licensed Conveyancers, The Chartered Institute ofPatent Attorneys, The Institute of Trade Mark Attorneys dan The Association ofLaw Costs Draftsmen. Ketentuan ini telah menciptakan kepastian hukum danmenghindari kesewenang-wenangan dari tindakan otoriter suatu organisasi profesiadvokat tunggal sebagaimana yang dihasilkan oleh UU Advokat.
Itulahsebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidakdiperbolehkan. Sekarang sudah tiba waktunya UU Advokat diamandemen, setelahlima tahun lebih diundangkan. Amandemen perlu mengatur kursus dan ujian advokatlebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadikomersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah AgungRI dan pihak-pihak terkait seperti Menteri Pendidikan RI, perguruantinggi dan organisasi penegak hukum mengawasi program dan pelaksanaan kursus(pelatihan) dan ujian advokat.
Karenatujuan dari penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujianadvokat dengan pengawasan yang ketat adalah untuk meningkatkankualitas dari advokat, bukanlah untuk menjadikan biaya ujian dan kursus advokatsebagai sumber penghasilan organisasi advokat. Tidak semua sarjana hukum dapatmenjadi advokat dan berpraktik advokat. Akibat komersialisasi kursus (pelatihan)dan ujian advokat kualitas advokat patut dipertanyakan dan jumlah yang banyaktidak menyelesaikan persoalan kisruhnya penegakan hukum dan tidak berdayanyaorganisasi advokat mengurangi praktik ”mafia peradilan” atau korupsi yudisial.Malahan biaya kursus (pelatihan) dan ujian advokat dirasakan memberatkan paracalon advokat.
Perseteruanantara PERADI dan KAI terus berlangsung sampai hari ini. Surat Edaran MahkamahAgung RI yang sebelumnya mengakui tiga organisasi advokat, sampai hanyamengakui hasil ujian dari PERADI yang berhak untuk dilantik dan disumpahsebagai advokat mengundang perselisihan sampai ke pengadilan. Tentu ada yangsalah dari semua perseteruan ini, mulai dari organisasi mana yang sah didirikanmenurut UU Advokat sampai kepada urusan kursus dan ujian advokat yang sah.
Kalausaja UU Advokat tidak dibuat terburu-buru dan membandingkannya dengan negarayang sudah mapan dan berpengalaman serta berpatokan dengan melihat referensikonvensi-konvensi internasional PBB (UN Code of Conduct of Law EnforcementOfficials) dan IBA (IBA Standard for The Independence of the Legal Profession),barangkali kericuhan ini bisa dicegah dan diatasi.
Upayasembilan advokat senior PERADIN untuk mengubah konsep wadah tunggal yang gagalsebagaimana telah diuraikan sebelumnya sampai kepada tidak diaturnyamasalah kursus dan ujian advokat, keuangan, pengawasan, fee profesi danorganisasi mana yang dianggap sebagai bar association telah menyebabkanperseteruan tanpa akhir. Permohonan PK ini gagal karena alasan-alasanyang tidak masuk akal dan miskin argumen compatibility UU Advokatterhadap UUD 1945.
Akibatperseteruan ini dan tidak berdayanya Mahkamah Konstitusi memberikan solusi,beribu-ribu advokat muda tidak dapat dilantik dan disumpah menjadi advokat.Menyatakan UU Advokat perlu diamandemen saja tidak berkenan, padahal keadaandan fakta sekarang cukup gawat karena dilanggarnya hak konstitusional dan hakberserikat ribuan advokat. Padahal, IBA Standard for The Independenceof the Legal Profession, khususnya Pasal 9 menyatakan: “No Court oradministrative authority shall refuse to recognise the right of a lawyerqualified in that jurisdiction to appear before it for its clients”
Tidakada pengadilan atau otoritas pemerintah dalam suatu yurisdiksi yang dapat menolakhak seorang advokat untuk berpraktik dan mewakili kliennya di muka pengadilan.Keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan amandemen UU Advokatadalah keharusan agar pemberantasan “mafia peradilan” atau korupsi yudisial(judicial corruption) dapat ditingkatkan dengan adanya bar associationyang kuat, mandiri dan independen. Selain tindakan seperti itu telah melanggarhak konstitusional pada advokat.
*Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
