You Are Here: Home - LEGAL OPINION - Hukum Pidana Adat Bali

Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, ialah (1) pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku, dan (2) menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial. Usaha pembaharuan hukum pidana (KUHP) didasarkan pada alasan-alasan baik politik, sosiologis maupun praktis, serta alasan adaptif bahwa KUHP Nasional nanti dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan Internasional yang diakui oleh masyarakat beradab.

Usaha pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan R-KUHP sudah dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Saat ini telah berhasil disusun RUU-KUHP tahun 1999-2000, dimana di samping tetap memandang asas Legalitas sebagai asas yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, juga mengakui adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih hidup dalam masyarakat. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) RUU-KUHP tahun 1999/2000, serta Pasal 62 ayat (1) e berupa sanksi pemenuhan kewajiban adat.
Di Pulau Bali sampai saat ini masih terdapat tindak pidana adat yang sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui Prajuru Desa Adat. Penyelesaian melalui Pengadilan Negeri kepada pelaku hanya dijatuhi pidana seperti dalam Pasal 1O KUHP. Hal ini membuat masyarakat adat merasa tidak puas, sehingga kepada pelaku oleh masyarakat adat juga dijatuhi sanksi adat. Oengan demikian ada penjatuhan pidana ganda dalam penyelesaian tindak pidana adat.

Untuk menghindari penjatuhan pidana ganda (pidana menurut KUHP dan sanksi adat), maka terhadap tindak pidana adat yang telah dijatuhi sanksi adat oleh Pimpinan Adat dan yang bersalah telah melaksanakannya, apabila tindak pidana adat tersebut diajukan ke muka pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut harus dinyatakan tidak diterima.
Dengan masih ditaati dan dihormatinya hukum adat untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia maka sangat relevan untuk mengangkat ke permukaan hukum pidana adat berserta sanksi adatnya sebagai bahan penyusunan KUHP Nasional. 

Deskripsi Alternatif :
Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, ialah (1) pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku, dan (2) menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial. Usaha pembaharuan hukum pidana (KUHP) didasarkan pada alasan-alasan baik politik, sosiologis maupun praktis, serta alasan adaptif bahwa KUHP Nasional nanti dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan Internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. 

Usaha pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan R-KUHP sudah dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Saat ini telah berhasil disusun RUU-KUHP tahun 1999-2000, dimana di samping tetap memandang asas Legalitas sebagai asas yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, juga mengakui adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih hidup dalam masyarakat. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) RUU-KUHP tahun 1999/2000, serta Pasal 62 ayat (1) e berupa sanksi pemenuhan kewajiban adat. 

Di Pulau Bali sampai saat ini masih terdapat tindak pidana adat yang sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui Prajuru Desa Adat. Penyelesaian melalui Pengadilan Negeri kepada pelaku hanya dijatuhi pidana seperti dalam Pasal 1O KUHP. Hal ini membuat masyarakat adat merasa tidak puas, sehingga kepada pelaku oleh masyarakat adat juga dijatuhi sanksi adat. Oengan demikian ada penjatuhan pidana ganda dalam penyelesaian tindak pidana adat.
Untuk menghindari penjatuhan pidana ganda (pidana menurut KUHP dan sanksi adat), maka terhadap tindak pidana adat yang telah dijatuhi sanksi adat oleh Pimpinan Adat dan yang bersalah telah melaksanakannya, apabila tindak pidana adat tersebut diajukan ke muka pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut harus dinyatakan tidak diterima. 

Dengan masih ditaati dan dihormatinya hukum adat untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia maka sangat relevan untuk mengangkat ke permukaan hukum pidana adat berserta sanksi adatnya sebagai bahan penyusunan KUHP Nasional.
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut