You Are Here: Home - MAKALAH PERDATA - HUKUM KETENAGAKERJAAN 2

MOGOK KERJA DAN PENUTUPAN PERUSAHAAN

Mogok Kerja
Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh harus
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Ajakan untuk mogok kerja berlangsung di lakukan dengan tidak melanggar hukum. Pekerja/buruh yang diajak mogok dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Termasuk dalam kategori mengajak pekerja/buruh lain untuk melakukan mogok kerja secara melanggar hukum adalah :
1.     Memaksa/mengintimidasi/mengancam pekerja/buruh yang tidak ikut mogok kerja sehingga pekerja/buruh terpaksa ikut mogok kerja atau tidak melaksanakan pekerjaannya;
2.     Melakukan tipu muslihat/menghasut sehingga pekerja/buruh terjebak untuk ikut mogok kerja.
3.     Menghalang-halangi pekerja/buruh lain yang akan masuk kerja/ melaksanakan pekerjaannya.
Gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/ serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang telah dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan sendiri oleh para pihak dalam risalah perundingan.
Mogok kerja dikatakan sah bila sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilakukan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat tentang maksudnya untuk melakukan mogok kerja, dengan sekurang-kurangnya memuat :
1.      Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
2.      Tempat mogok kerja dilakukan;
3.      Alasan dan sebab melakukan mogok kerja; dan
4.      Tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan tersebut ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
Apabila mogok kerja dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset-aset perusahaan pengusaha dapat mengambil tindakan sementara sebagai berikut :
1.      Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi proses produksi; atau
2.      Bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan
Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan dan pengusaha yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja tersebut wajib memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Bila perundingan menghasilkan kesepakatan, maka harus dituangkan dalam perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai dari instansi pemerintah tersebut sebagai saksi.
Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai pemerintah segera melimpahkan masalah yang menjadi penyebab timbulnya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang dan mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara waktu atau dihentikan sama sekali.
Mogok kerja dikategorikan sebagai mogok kerja tidak sah dan dikualifikasikan sebagai mangkir kerja apabila :
1.    Bukan sebagai akibat gagalnya perundingan; dan/atau
2.    Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
3.    Dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
4.    Isi pemberitahuan tidak sesuai ketentuan tentang pelaksanaan mogok kerja.
Terhadap pelaku mogok kerja tidak sah ini pengusaha dapat melakukan pemanggilan kembali untuk bekerja secara tertulis dan patut sebanyak 2 (dua) kali berturut-berturut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari. Apabila pekerja/buruh tidak memenuhi pemanggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri dari perusahaan tempat dia bekerja. Apabila mogok kerja dilakukan secara sah, maka pengusaha dilarang :
1.      Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan.
2.      Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Melanggar dari ketentuan ini pengusaha dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila mogok kerja secara sah dilakukan oleh pekerja/buruh dalam rangka menuntut hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, maka selama melakukan mogok kerja, pekerja/buruh tetap berhak mendapat upah.
Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja serta melakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus secara sah, tertib, dan damai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dianggap menghalang-halangi dalam ketentuan ini adalah :
1.      Menjatuhkan hukuman;
2.      Mengintimidasi dalam bentuk apapun;
3.      Melakukan mutasi yang merugikan.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juga rupiah).
Walaupun merupakan hak dasar pekerja/buruh, pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia seperti : rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, arus lalu lintas udara, atau pengontrol arus lalu lintas laut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis dan kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak sah dan apabila mengakibatkan hilangnya nyawa maka dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
Penutupan Perusahaan (Lock-Out)
Penutupan perusahaan merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock-out) dilakukan dengan sekurang-kurangnya memuat :
1.     Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan;
2.     Alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan;
3.     Tanda tangan pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan.
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. Penutupan perusahaan yang dilakukan tanpa pemberitahuan merupakan tindak pidana pelanggaran yang diancam pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pemberitahuan sebagaimana dimaksud tidak diperlukan dalam hal :
1.     Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja yang telah diatur dalam peratuan perundang-undangan.
2.     Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan pengusaha untuk menutup perusahaan harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak dibenarkan dilakukan sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Apabila batasan tersebut dilanggar, maka pengusaha harus membayar upah pekerja/buruh selama penutupan perusahaan dilakukan.
Sebelum dan selama penutupan perusahaan berlangsung, instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Apabila perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dituangkan dalam perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai instansi pemerintah sebagai saksi.
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai pemerintah tersebut segera melimpahkan masalah yang menyebabkan penutupan perusahaan kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama penyelesaian masalah oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan, maka berdasarkan kesepakatan penutupan perusahaan dapat diteruskan, atau dihentikan sementara waktu, atau dihentikan sama sekali.
Walaupun merupakan hak dasar dari pengusaha, penutupan perusahaan dilarang dilakukan pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau yang jenis kegiatan usahanya membahayakan keselamatan jiwa manusia yang meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.



Tugas               : Setelah  memperoleh materi mahasiswa dapat menjelaskan :
1.      Jelaskan pengertian mogok kerja ?
2.      Jelaskan alasan buruh untuk melakukan mogok kerja ?
3.      Jelaskan prosedur dilakukannya mogok kerja ?
4.      Jelaskan pengertian penutupan perusahaan ?
5.      Jelaskan hal-hal yang diperolehkan menjadi alasan bagi pengusaha untuk melakukan penutupan perusahaan ?
6.      Jelaskan prosedur resmi dilakukannnya penutupan perusahaan ?






PERTEMUAN KE XII
PEMBERHENTIAN HUBUNGAN KERJA (PHK)


TIK     : Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu
1.      menjelaskan batasn pengertian PHK
2.      menjelaskan hal-hal yang dilarang dijadikan alasan bagi pengusaha untuk melakukan PHK
3.      menjelaskan cara-cara dilakukannnya PHK

Pokok Bahasan           : Pemberhentian Hubungan Kerja

Deskripsi Singkat        : Dalam perkuliahan ini mahasiswa akan mempelajari batasan pengertian PHK, hal-hal yang dilarang dijadikan alasan bagi pengusaha untuk melakukan PHK, pengertian PHK demi hukum, pengertian PHK atas penetapan lembaga perselisihan , PHK atas kehendak buruh dan PHK atas kehendak pengusaha.

Batasan PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja/buruh dan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja/buruh tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja pada pengusaha dan pengusaha tidak berkewajiban untuk membayar upah kepada pekerja/buruh tersebut.
Bagi pekerja/buruh PHK berdampak langsung pada jaminan pendapatan (income security) bagi diri dan keluarganya sedang bagi pengusaha PHK berarti kehilangan pekerja/buruh yang selama ini telah dididik dan memahami prosedur kerja di perusahaannya. Oleh karena itu para pihak, baik itu pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah harus berusaha untuk menghindari terjadinya PHK.
Pemerintah berkepentingan langsung dalam masalah PHK karena bertanggung jawab atas berputarnya roda perekonomian nasional dan terjaminnya ketertiban umum serta untuk melindungi pihak yang berekonomi lemah. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan melarang pengusaha melakukan PHK karena alasan-alasan tertentu (sebagaimana diuraikan di bawah) dan mensyaratkan bahwa PHK hanya dapat dilkukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) dengan resiko batal demi hukum kecuali untuk PHK karena sebab-sebab tertentu seperti misalnya pekerja/buruh mencapai usia pensiun, mengundurkan diri, meninggal dunia, dan sejenisnya.
Ketentuan mengenai PHK yang diatur dlam UU No. 13 Tahun 2003 berlaku untuk semua PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta, milik negara maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan-alasan tertentu yaitu sebagai berikut :
a.       pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b.      pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.       pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.      pekerja/buruh menikah;
e.       pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.       pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.      pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja.buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.      pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.        karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.        pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter jangka waktu penyembuhan belum dapat dipastikan.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi dengan 4 cara yaitu :
1.      PHK demi hukum
2.      PHK atas Penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
3.      PHK atas kehendak pekerja/buruh
4.      PHK atas kehendak pengusaha
Masing-masing cara pemutusan hubungan kerja tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda dalam hal pemberian pesangaon dan uang penghargaan masa kerja yang besarnya telah diuraikan pada pembahasan dari Bab III Sub B pada angka 7. Penjelasan tentang masing-masing cara PHK tersebut adalah sebagai berikut :

PHK Demi Hukum
PHK demi hukum terjadi bila karena satu dan lain hal hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alas hak yang cukup dan layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainnya guna tetap mengadakan hubungan kerja. PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal :
a.      Perjanjian kerja jangka waktu tertentu
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan tentang perjanjian kerja, perjanjian kerja jangka waktu tertentu berakhir setelah selesainya jangka waktu atau tercapainya pekerjaan tertentu yang diperjanjikan. Untuk PHK jenis ini masing-masing pihak bersifat pasif dalam arti tidak perlu melakukan usaha-usaha tertentu untuk melakukan PHK seperti memohon penetapan PHK ke sidang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial atau usaha lainnya. Pengusaha tidak wajib memberitahukan saat berakhirnya hubungan kerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu keculi bila : 
a.   telah diperjanjikan secara tertulis atau telah diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
b.   menurut peraturan perundang-undangan atau kebiasaan, mengharuskan pengusaha untuk melakukan pemberitahuan sebelumnya dalam tenggang waktu tertentu
Guna menghindari hal-hal tertentu yang tidak diinginkan, akan lebih baik jika pengusaha memberitahukan sebelumnya kepada pekerja/buruh tentang saat berakhirnya hubungan kerja. Demikian pula jika tidak diberi pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, hendaknya dicantumkan dalam perjanjian kerja untuk menghindari perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum jangka waktu tertentu yang diperjanjikan berakhir dan bukan karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja tersebut.
b.      Pekerja/buruh meninggal dunia
Menurut pasal 61 ayat (1) a, perjanjian kerja berakhir bila pekerja/buruh meninggal dunia. Hal ini wajar karena hubungan kerja bersifat sangat pribadi dalam arti melekat pada probadi pekerja/buruh dan tidak dapat diwariskan atau dialihkan ke pihak lain. Sebaliknya hubungan kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
Ahli waris pekerja/buruh yang meninggal dunia berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan. Apabila dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama diatur ketentuan yang lebih baik dari ketentuan tersebut maka ahli waris pekrja/buruh berhak atas ketentuan yang lebih baik tersebut.
c.       Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
Pekerja/buruh memasuki usia pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka hubungan kerja berakhir demi hukum. Apabila pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar pengusaha maka pekerja/buruh tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tetapi tetap berhak atau uang penggantian hak. Apabila jaminan atau manfaat pensiun yang diterima tersebut lebih kecil daripada uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak maka selisihnya harus dibayar pengusaha.
Dalam hal program pensiun iuran/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon adalah uang pensiun iuran/preminya dibayar oleh pengusaha. Sebagai contoh misalnya :
Uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Dalam mengaturan program pensiun tersebut talah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha sebesar 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh sebesar 40% (empat puluh perseratus) maka :
Perhitungan hasil dari premi yang dibayar oleh pengusaha adalah sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah).
Perhitungan hasil premi yang dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% x Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah).
Kekurangan yang masih harus dibayar oleh pengusaha adalah sebesar Rp 10.000.000,00 – Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun adalah :
¿  Santunan dari penyelenggaraan program pensiun yang preminya 60% dibayar pengusaha            =                                             Rp   3.600.000,00
¿  Kekuranga pesangon yang harus dibayar pengusaha
                                                   =    Rp   6.400.000,00
¿  Santuana dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar pekerja/buruh           =                                             Rp   2.400.000,00 +
Jumlah                                  =    Rp 12.400.000,00
                                          (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)
Hak atas manfaat pensiun tersebut tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua (JHT) yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh pada program pensiun maka pekerja/buruh yang mengalami PHK karena memasuki usia pensiun berhak atas uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 
PHK atas Penetapan Lambaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari terjadinya PHK. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pengusaha untuk menghindari PHK dapat berupa pengaturan waktu kerja, penghematan (efisiensi), pembenahan metode kerja, dan pembinaan kepada pekerja/buruh. Pembinaan dapat dilakukan kepada pekerja/buruh yang melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama dengan cara memberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Masing-masing surat peringatan tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak dapat dihindari, maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh, atau apabila pekerja/buruh bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, perundingan dilakukan dengan pekerja/buruh secara langsung. Apabila perundingan yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK secara tertuilis kepada lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi dasarnya.
Lembaga PPHI setelah menerima permohonan PHK akan memanggil para pihak untuk dimintai keterangan di muka persidangan. Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, lembaga PPHI menetapkan keputusan yang berisi menolak atau mengabulkan PHK yang diajukan. Apabila lembaga PPHI menolak permohonan PHK maka terhadap pekerja/buruh bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Apabila permohonan PHK dikabulkan maka hubungan kerja putus terhitung sejak penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selama putusan oleh lembaga PPHI belum ditetapkan, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing. Apabila pengusaha melakukan tindakan skorsing selama proses PHK maka upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima pekerja/buruh wajib tetap dibayar oleh pengusaha. Penetapan PHK oleh lembaga PPHI tidak diperlukan dalam hal :
a.       pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja sebagaimana telah dipersyaratkan sebelumnya secara tertulis;
b.      pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis atas kemampuan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha;
c.       berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan waktu perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
d.      pekerja/buruh memasuki usia pensiun sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian keraj bersama, atau peratuaran perundang-undangan lainnya;
e.       pekerja/buruh meninggal dunia;
f.       pekerja/buruh dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana oleh pengadilan dan menjalani pidana penjara;
g.      pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang ditahan dalam proses perkara pidana selama lebih dari 6 (enam) bulan.
  
PHK atas Kehendak Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk mengundurkan diri ini dilakukan tanpa penetapan oleh lembaga PPHI. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja/buruh karena pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk terus bekerja bila ia sendiri tidak menghendakinya. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi persyaratan :
a.       mengajukan permohonan mengundurkan diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.      tidak terikat dalam ikatan dinas, dan;
c.       tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri dilakukan.
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut atau lebih tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan kepadanya telah dipanggil secara patut dan tertulis oleh pengusaha sebanyak 2 (dua) kali, dapat diputus hubungna kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Keterangan tertulis dengan bukti yang sah tersebut harus diserahkan oleh pekerja/buruh paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh tersebut masuk kerja kembli. Dalam PHK dengan cara seperti ini, pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak dan diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian keraj bersama.
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat malakukan pekerjaan setelah malampaui batas 12 (dua belas) bulan berturut-turut, dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan kepadanya diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan.
Pekerja/buruh dapat pula mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI apabila pengusaha :
a.       menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;
b.      membujuk/dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.       tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d.      tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e.       memerintahkan pekerja/buruh untuk malaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, atau;
f.       membeikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedang pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
 Apabila permohonan PHK tersebut dikabulkan oleh lembaga PPHI, maka pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak. Dalam hal pengusaha di muka persidangan PPHI tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang dijadikan alasan oleh pekerja/buruh, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa penetapan lambaga PPHI dan pkerja/buruh bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
PHK atas Kehendak Pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dan dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak tetapi apabila tugas dan fungsinya dalam hubungan kerja tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selain karena dinyatakan bersalah oleh putusan pengasilan yang talah mempunyai kekuatan hukum tetap, pengusaha dapat melakukan PHK akibat pekrja/buruh melanggar ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja/buruh yang mengalami PHK karena kasus seperti ini berhak atas pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan serta uang penggantian hak.
Pengusaha dapat pula melakukan PHK terhadap pekerja/buruh apabila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Dalam kasus PHK yang seperti ini pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan. Apabila pihak yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja adalah pengusaha, maka hak pesangon adalah 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan.
Hak-hak pekerja/buruh dalam hal terjadi pengalihan perusahaan menjadi tanggung jawab pengusaha baru kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Apabila pengusaha tersebut merupakan orang-perorangan dan meninggal dunia maka ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan pekerja/buruh.
Apabila perusahaan tutup yang disebabkan mengalami kerugian terus-menerus selama 2 (dua) tahun yang dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 (dua) tahun terakhir, atau karena perusahaan pailit, atau terjadi keadaan memaksa (force majeure), maka pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dan pekerja/buruh berhak atas pesangon  1 (satu) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan.
Dalam hal PHK bukan karena perusahaan tutup atau keadaan memaksa tetapi dilakukan untuk efisiensi maka pekerja/buruh berhak atas pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan.
Sedang apabila pekerjaburuh ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi diwajibkan memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya sebagai berikut :
a.       untuk 1 (satu) orang tanggungan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b.      untuk 3 (tiga) orang tanggungan sebesar 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
c.       untuk 4 (emapt) orang tanggungan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak, atau orang yang sah menjadi tanggungannya berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja besama. Bantuan yang diberikan tersebut untuk paling lama 6 (enam) bulan takwim terhitung sejak pekerja/buruh ditahan pihak berwajib.
Setelah 6 (enam0 bulan tidak dapat melakukan pekerjaan karena ditahan pihak berwajib, terhadap pekerja/buruh bersangkutan dapat dilakukan PHK oleh pengusaha. Apabila sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan terlampaui. Perkara pidana tersebut telah diputus oleh pengadilan dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah maka pengusaha wajib mempekerjakannya kembali. Akan tetapi jika pekerja/buruh dinyatakan bersalah maka pengusaha dapat melakukan PHK.
Terhadap pekerja/buruh yang mengalami PHK karena kasus pidana seperti ii, pengusaha wajib memberikan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut merupakan perbuatan pidana dan pengusaha yang melanggarnya diancam sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau danda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).      



Tugas               : Setelah  memperoleh materi mahasiswa dapat menjelaskan :
1.      Jelaskan batasn pengertian PHK ?
2.      Jelaskan hal-hal yang dilarang dilakukan pengusaha untuk melakukan PHK ?
3.      Jelaskan yang dimaksud denga PHK demi hukum ?
4.      Jelaskan yang dimaksud PHK atas penetapan lembaga penyelesaian perselisihan ?
5.      Jelaskan yang dimaksud PHK atas kehendak pekerja ?
6.      Jelaskan yang dimaksud PHK atas kehendak pengusaha ?





































PERTEMUAN KE XIII
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


TIK     : Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu
1.      menjelaskan pengertian perselisihan hubungan industrial
2.      menjelaskan pengertian penyelesaian perselisihan hubungan industrial
3.      menjelaskan prosedur penyelesaian secara mediasi
4.      menjelaskan prosedur penyelesaian secara konsiliasi
5.      menjelaskan prosedur penyelesaian secara arbitrase
6.      menjelaskan prosedur penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial

Pokok Bahasan           : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Deskripsi Singkat        : Dalam perkuliahan ini mahasiswa akan mempelajari pengertian perselisihan hubungan industrial, pengertian penyelesaian perselisihan hubungan industrial, prosedur penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, arbitrase dan pengadilan hubungan industrial.


1 Perselisihan Hubungan Industrial
Pada dasarnya hubungan industrial berfungsi dan bertujuan untuk menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan dan ketenangan kerja bagi pekerjal buruh, dan ketenangan berusaha bagi pengusaha sehingga pemerintah memperoleh keuntungan dari hubungan tersebut yaitu berputarnya roda perekonomian dan perluasan pembagian penghasilan. Pihak yang terlibat dalam hubungan industrial adalah pekerjat buruh, serikat pekerjaj serikat buruh, pengusaha, organisasi pengusaha, dan pemerintah. Para pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat bahkan perselisihan yang disebut perselisihan hubungan industrial.
Potensi perselisihan hubungan industrial ada sejak terjadinya hubungan, industrial, konkretnya sejak adanya hubungan kerja antara pekerjal buruh dengan pengusaha. Jadi sebenarnya perselisihan hubungan industrial telah ada sejak jaman revolusi industri. Pada zaman kolonial, pernerintah Hindia Belanda pernah membentuk dewan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (perselisihan perburuhan saat itu) di perusahaan kereta api dengan regeringsbesliut No. 31 tanggal 24 November 1937 (Stb No. 624) yang diberi nama,"Verzoeningsraad voor de Spoor en trarnweg­bedrijven". Dewan ini bertugas antara lain memberi perantaraan bila terjadi perselisihan yang dapat mengganggu kepentingan umum agar pihak yang berselisih dapat berdamai.
Pada masa berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Perselisihan Perburuhan, organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah P4D di ibukota provinsi yang wilayah kerjanya meliputi seluruh provinsi dan P4P di tingkat pusat dengan wilayah kerja seluruh Indonesia. Dengan berlakunya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka yang ber­wenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial bukan lagi organ P4D, dan P4P tetapi Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di ibukota provinsi yang wilayah kerjanya meliputi seluruh provinsi bersangkutan dan pada Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi. Menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tersebut perselisihan hubungan industrial terdiri dari perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerjal serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Uraian masing-masing perselisihan tersebut adalah:
Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan ini timbul karena salah satu pihak baik itu pekerja/ buruh atau pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi hak pihak lain. Apabila masing­masing pihak tidak menemukan kata sepakat dalam perundingan bipartit guna menyelesaikan perselisihan tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dimana putusan perihal gugatan tersebut bersifat final dan tidak dapat dimintakan banding.
 Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan ini timbul karena salah satu pihak (biasanya pengusaha) karena satu dan lain hal akan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja, sementara di pihak lain pekerja tidak menerima pemutusan tersebut atau menerima dengan syarat-syarat tertentu yang tidak dapat dipenuhi pengusaha.

Perselisihan Antar Serikat PekerjalSerikat Buruh dalam Satu Perusahaan
Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatkerjaan. Perselisihan ini biasanya menyangkut masalah dominasi kenggotaan dan keterwakilan dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB) di suatu perusahaan.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang merupakan dasar hukum penyelesaian perselisihan, tidak hanya berlaku untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada perusahaan swasta clan perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara, tetapi juga pada usaha-usaha sosial serta usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya hams diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Penyelesaian secara bipartit dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution). Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak menolak untuk berunding atau apabila perundingan yang dilakukan tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal. Setiap perundingan bipartit yang dilakukan harus dibuatkan risalah yang sekurang­kurangnya memuat:
a)      nama lengkap dan alamat para pihak;
b)      tanggal dan tempat perundingan;
c)      pokok masalah atau alasan perselisihan;
d)     pendapat para pihak;
e)      kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f)       tanggal serta tanda tangan para pihak.
Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri di iwilayah perjanjian bersama disepakati untuk diberikan Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian bersama tersebut. Perjanjian bersama yang telah didatangani bersifat mengikat dan menjadi hukum serta, wajib dilaksanakan oleh para pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri tempat perjanjian bersama didaftar untuk memperoleh penetapan eksekusi. Apabilapemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama didaftar­kan, makapermohonan eksekusi diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pemohon berdomisili untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Apabila perundingan bipartit gagal maka salah satu pihak atau kedua pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota dengan melampirkan bukti upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan melalui perundingan bipartit. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak yang berselisih untuk memilih cara penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Penyelesaian melalui cara konsiliasi dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh. Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjal serikat buruh. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja para pihak yang berselisih tidak dapat menetapkan pilihan cara penyelesaian, maka penyelesaian perselisihan dilimpahkan ke mediator untuk dilakukan penyelesaian secara mediasi. Apabila penyelesaian melalui konsiliasi dan mediasi tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

2. Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Orang yang dapat bertindak sebagai mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mediator sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP-92/MEN/ VI/2004. Dalam waktu paling lama 7(tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan perkara perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan segera mengadakan sidang mediasi. Mediator harus telah menyelesaikan tugas mediasi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima pelimpahan perselisihan. Apabila jangka waktu ini terlampaui maka mediator dapat dikenai sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
Apabila dianggap perlu, mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk dimintai keterangan dalam sidang mediasi. Setiap orang yang dimintai keterangan oleh mediator dalam sidang mediasi wajib untuk memberikannya termasuk memperlihatkan bukti-bukti clan surat-surat yang diperlukan, misalnya buku tentang upah, surat perjanjian kerja, surat perintah lembur, dan lain-lain. Apabila pihak yang diminta keterangan ini tidak bersedia memberikannya maka dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) clan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Saksi atau saksi ahli yang datang memenuhi panggilan sidang mediasi tersebut berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan menteri.
Apabila saksi/ saksi ahli karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan keterangan yang diperlukan mediator, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, misalnya apabila memerlukan keterangan tentang rekening seseorang, maka pejabat bank hanya dapat melayaninya bila telah ada izin dari Bank Indonesia atau pemilik rekening yang bersangkutan (UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Semua keterangan yang diperoleh dari saksi/ saksi ahli dalam sidang mediasi wajib dirahasiakan oleh mediator.
Apabila dalam sidang mediasi tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan mediator untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Apabila kesepakatan tidak dapat tercapai, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis yang harus sudah disampaikan kepada para pihak yang berselisih dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sej ak sidang mediasi pertama. Para pihak yang berselisih dalam jangka waktu selambat­lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran tertulis, harus sudah memberikan pendapatnya secara tertulis kepada mediator yang berisi menyetujui atau menolak anjuran tertulis tersebut sedang pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap telah menolak anjuran tertulis.
Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis yang dibuat mediator, maka paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis tersebut disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama dibuat. Perjanjian bersama yang telah didaftarkan akan diberi Akta Bukti Pendaftaran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian bersama. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian bersama, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama didaftarkanuntuk memperoleh penetapan eksekusi. Apabila pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan pada Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama didaftarkan, maka permohonan eksekusi diajukan pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Apabila anjuran tertulis dari rhediator ditolak oleh salah satu pihak atau oleh kedua pihak, maka penyelesaian perselisihan selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan cara gugatan oleh salah satu pihak.

3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Konsiliasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang telah memenuhi syarat sebagai konsiliator. Konsiliator harus terdaftar pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan diberi legitimasi oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Para pihak yang berselisih jika telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan lewat konsiliasi, harus mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati bersama. Konsiliator yang dapat dipilih adalah konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/ buruh bekerja. Konsiliator dipilih dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga­kerjaan kabupaten/ kota.
Konsiliator dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari ker)a setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan paling lambat pada hari kerja kedelapan harus sudah mengadakan sidang konsiliasi yang pertama. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan, konsiliator harus telah menyelesaikan tugas-tugas konsiliasinya.
Dalam menyelesaikan tugasnya konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna dimintai dan didengar keterangannya. Setiap orang yang dimintai keterangan oleh konsiliator guna menyelesaikan perselisihan hubungan industrial wajib untuk memberikannya termasuk memperlihatkan bukti-bukti dan surat-surat yang diperlukan misalnya buku tentang upah, surat perjanjian kerja, surat perintah lembur, dan lain-lain. Saksi atau saksi ahli yang datang memenuhi panggilan sidang konsiliasi tersebut berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan menteri.
Apabila saksi/ saksi ahli karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan keterangan yang diperlukan konsiliator maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Konsiliator wajib merahasiakan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam sidang konsiliasi dan dilarang membocorkannya. Konsiliator yang membocorkan keterangan yang diperoleh dalam sidang konsiliasi atau saksi yang tidak bersedia memberikan keterangan yang diminta dalam sidang konsiliasi dapat diancam pidana kurungan paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila melalui konsiliasi dicapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan konsiliator untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama tersebut dibuat untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Apabila kesepakatan penyelesaian tidak dicapai, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis yang harus sudah diterima oleh para pihak yang berselisih paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak sidang konsiliasi pertama dilakukan. Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran tertulis, para pihak yang berselisih harus telah memberikan pendapatnya secara tertulis kepada konsiliator yang berisi menolak atau menerima anjuran tertulis tersebut. Pihak yang tidak memberikan tanggapan tertulis tersebut dianggap menolak anjuran tertulis dari konsiliator.
Apabila pihak yang berselisih menerima anjuran tertulis dari konsiliator, maka dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui bersama, konsiliator harus telah selesai membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama guna didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama dibuat. Perjanjian bersama yang didaftarkan akan diberi Akta Bukti Pendaftaran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian bersama. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian bersama, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana perjanjian bersama didaftarkan untuk memperoleh penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum dimana perjanjian bersama didaftarkan maka permohonan eksekusi diajukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam sidang konsiliasi dan konsiliator bersangkutan tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama atau apabila konsiliator tidak membantu para pihak dalam membuat perjanjian bersama dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah anjuran tertulisnya diterima para pihak, maka konsiliator bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Apabila teguran tertulis telah diterima konsiliator sebanyak 3 (tiga) kali maka konsiliator tersebut dapat dikenai sanksi pencabutan sementara sebagai konsiliator untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Sanksi pencabutan sementara ini hanya dapat dijatuhkan setelah konsiliator yang bersangkutan menyelesaikan per­selisihan hubungan industrial yang sedang ditangani. Konsiliator dapat dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator jika:
1.      telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali;
2.      terbukti melakukan tindak pidana kejahatan
3.      menyalahgunakan jabatan; dan/ atau
4.      membocorkan keterangan yang diperoleh dari saksi/ saksi ahli dalam sidang konsiliasi.
Apabila anjuran tertulis dari konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau oleh para pihak maka penyelesaian perselisihan diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kerja pekerjal buruh. Penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan cara pengajuan gugatan oleh salah satu pihak sesuai hukum acara perdata yang berlaku.

4. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Arbitrase dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, yang dilakukan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerah­kan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter dalam hubungan industrial adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau pejabat lain yang ditunjuk guna memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjal serikat buruh dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Guna memberikan kepastian hukum, maka perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Mengingat keputusan arbitrase bersifat tetap dan final, maka hanya untuk hal-hal tertentu dan sebab-sebab tertentu saja dapat dimohonkan pembatalan ke Mahkamah Agung.
Arbitrase dalam hubungan industrial merupakan arbitrase yang bersifat khusus untuk menyelesaikan sengketal perselisihan di bidang hubungan industrial. Mengingat hal tersebut maka ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan tidak dapat diper­gunakan sebagai dasar hukum arbitrase dalam hubungan industrial dan yang dipergunakan adalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui cara arbitrase harus didasarkan atas kesepakatan para pihak yang berselisih dan dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase rangkap 3 (tiga) dimana masing-masing pihak mendapatkan 1(satu) surat perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya memuat:
a.       nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b.      pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c.       jumlah arbiter yang disepakati;
d.      pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e.       tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
Setelah menandatangani surat perjanjian arbitrase, para pihak berhak memilih arbiter yang dikehendaki. Arbiter yang dapat dipilih dan berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah arbiter yang telah ditetapkan menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau pejabat lain yang ditunjuk. Arbiter yang dipilih berjumlah gasal dengan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Apabila para pihak sepakat memilih arbiter tunggal maka kesepakatan tentang arbiter yang ditunjuk harus sudah tercapai dan dituangkan secara tertulis paling lambat ?(tujuh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian arbitrase.
Apabila para pihak yang berselisih sepakat secara tertulis untuk menggunakan 3 (tiga) arbiter (majelis) maka masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja. Kedua arbiter yang telah dipilih oleh para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja harus sudah menunjuk arbiter ketiga untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Penunjukan arbiter harus dilakukan secara tertulis, apabila pihak yang berselisih tidak sepakat dalam menunjuk arbiter baik tunggal maupun majelis maka atas permohonan dari salah satu pihak ketua pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang telah ditetapkan.
Orang yang dapat menjadi arbiter dalam hubungan industrial adalah Warga Negara Indonesia yang cakap melakukan perbuatan hukum, berumur minimal 45 (empat puluh lima) tahun dan berpendidikan minimal S 1, telah memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase. Arbiter dalam hubungan industrial adalah arbiter yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau pejabat lain yang ditunjuk. Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Seorang yang menerima penunjukannya sebagai arbiter harus memberitahukan penerimaan tersebut secaratertulis dan memberitahukan kepada para pihak yang berselisih tentang hal-hal yang akan mempengaruhi kebebasannya atau yang mungkin menimbulkan keberpihakan pada keputusan yang akan diberikan. Setelah menerima penunjukannya, arbiter membuat surat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih, sekurang-kurangnya dalam rangkap tiga. Para pihak yang berselisih dan arbiter masing-masing yang mendapatkan satu surat perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Apabila arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter maka surat perjanjian asli diberikan kepada Ketua Majelis Arbitrase. Surat penunjukan arbiter sekurang-kurangnya memuat :
a)      Nama lengkap atau alamat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter
b)      Pokok-pokok persoalanyang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan
c)      Biaya arbitrase dan arbiter
d)     Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase
e)      tempat, tanggal pembuatan surat perj anj ian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih serta arbiter;
f)       pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditangani; dan
g)      pernyataan arbiter bahwa tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Arbiter yang telah menerima penunjukan dirinya dan telah menanda­tangani surat perjanjian penunjukan arbiter, tidak dapat mengundurkan diri kecuali atas persetujuan para pihak yang berselisih. Pengunduran diri dimaksud harus diajukan secara tertulis kepada para pihak. Apabila permohonan pengunduran diri disetujui, maka arbiter tersebut dibebaskan dari tugas-tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Dalam hal para pihak yang berselisih tidak menyetujui pengunduran diri tersebut, maka arbiter bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengunduran diri pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas arbiter pada perselisihan tersebut dengan menunjukkan alasan­alasan yang dapat diterima.
Apabila arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para pihak yang berselisih harus menunjuk arbiter pengganti yang disetujui kedua belah pihak. Dalam hal arbiter yang mengundurkan diri atau meninggal dunia tersebut adalah arbiter dalam majelis arbitrase, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang telah memilihnya. Dalam hal ini apabila arbiter yang diganti adalah Ketua Majelis Arbitrase, maka yang menunjuk arbiter pengganti adalah para arbiter anggota Majelis Arbitrase. Kesepakatan untuk menunjuk arbiter pengganti tersebut harus sudah tercapai dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak arbiter yang digantikan mengundurkan diri atau meninggal dunia. Apabila kesepakatan untuk menunjuk arbiter pengganti tidak tercapai, maka salah satu pihak atau para pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti. Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal ini harus sudah menetapkan arbiter pengganti dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari kerja sejak permintaan penggantian arbiter diterima. Arbiter pengganti yang bersedia ditunjuk harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perselisihan tersebut.
Terhadap arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada pengadilan bila:
I . Terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan
2. . Terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya
Putusan pengadilan mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan melalui upaya hukum apapun. Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan. Hak ingkar terhadap arbiter yang disepakati diajukan kepada arbiter bersangkutan dan hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase yang disepakati diajukan kepada majelis arbitrase bersangkutan.
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbitrase atau majelis arbitrase harus sudah dimulai dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter dan dilakukan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Para pihak yang berselisih dalam persidangan arbitrase dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tidak hadir tanpa alasan yang sah dan kepadanya telah di­panggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkaitan dengan penunjukan arbiter sebelum perjanjian penunjukan arbiter tersebut dibatalkan tidak dapat diminta kembali oleh para pihak. Apabila yang tidak hadir adalah salah satu pihak atau kuasanya dengan tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Pada awal penyelesaian perselisihan hubungan industrial, arbiter atau majelis arbiter harus berupaya untuk mendamaikan kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tersebut tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter atau majelis arbiter. Akta perdamaian tersebut kemudian didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri tempat akta perdamaian tersebut dibuat. Akta perdamaian yang telah didaftarkan diberi akta bukti pendaftaran yang merupakan bagian tak ter­pisahkan dari akta perdamaian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan akta perdamaian yang telah disepakati, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri tempat akta perdamaian didaftarkan untuk memperoleh penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat akta perdamaian didaftarkan, maka permohonan eksekusi diajukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi
Apabila upaya perdamaian gagal dilakukan maka arbiter atau majelis arbiter melanjutkan sidang arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan. Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya. Arbiter atau Majelis Arbiter berhak meminta para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen-dokumen atau bukti-bukti lainnya yang dianggap perlu.
Apabila dianggap perlu arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil saksi atau saksi ahli guna didengar keterangannya. Setiap orang yang dimintai keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial wajib untuk memberikannya dengan tanpa syarat termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat­surat yang diperlukan misalnya buku tentang upah, surat perjanjian kerja, surat perintah lembur, dan lain-lain.
Apabila saksi/ saksi ahli karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan keterangan yang diperlukan arbiter atau majelis arbiter maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Arbiter wajib merahasiakan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam sidang arbitrase dan dilarang membocorkannya. Arbiter yang membocorkan keterangan yang diperoleh dalam sidang arbitrase atau saksi yang tidak bersedia memberikan keterangan yang diminta dalam sidang arbitrase dapat diancam pidana kurungan paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniwan untuk melaksanakan peng­ambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang yang meminta. Demikian pula biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang memintanya. Sedang terhadap saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter atau majelis arbiter beserta rohaniwan yang melaksanakan pengambilan sumpah, biaya pemanggilan dan perjalanannya dibebankan kepada para pihak yang berselisih.
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang ditanganinya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sej ak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. Apabila terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian penunjukan arbiter. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 1(satu) kali untuk paling lama 14 (empat belas) hari kerja atas kesepakatan para pihak yang berselisih. Seluruh kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase wajib dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter. Putusan yang diambil dalam sidang arbitrase harus ditetapkan berdasarkan peraturan perundang­undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. Putusan tersebut sekurang-kuranganya memuat:
a)       kepala putusan yang berbunyi," DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,";
b)      nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c)       nama lengkap dan alamat para pihak;
d)      hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
e)       ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
f)       pertimbangan yang menjadi dasarputusan;r
g)      pokok putusan;
h)      tempat dan tanggal putusan;
i)        mulai berlakunya putusan; dan
j)        tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Putusan sidang majelis arbitrase yang tidak ditandatangani oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meniriggal dunia tidak mem­pengaruhi kekuatan berlakunya putusan. Alasan tidak adanya tanda tangan tersebut harus dicantumkan dalam putusan. Jangka waktu pelaksanaan putusan harus ditetapkan pula dalam putusan tersebut yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan.
Putusan arbitrase wajib didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum arbiter menetapkan putusan. Kekuatan hukum putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, mengikat para pihak yang berselisih. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan agar putusan diperintahkan untuk dijalankan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan tersebut harus dijalankan. Perintah untuk menjalankan putusan tersebut harus diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan yaitu 30 (tiga puluh) hari kerja atau dalam jangka waktu perpanjangan yaitu 14 (empat belas) hari kerja atau tidak membuat berita acara pemeriksaan dalam sidang arbitrase atau kegiatan pemeriksaan maka kepadanya dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran lisan. Apabila teguran lisan telah dijatuhkan sebanyak 3 (tiga) kali maka arbiter bersangkutan dapat dijatuhi sanksi pencabutan sementara sebagai arbiter untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Sanksi pencabutan sementara dapat dijatuhkan bila arbiter bersangkutan telah menyelesaikan perselisihan yang sedang ditangani.
Arbiter dapat dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenaga­kerjaan atau pejabat lain yang ditunjuk apabila:
  1. paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaanya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan pembatalan atas putusan­putusan arbiter tersebut;
  2. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
  3. menyalahgunakan jabatan;
  4. telah djatuhi sanksi pencabutan sementara sebagai arbiter sebanyak 3 (tiga) kali.
Sanksi berupa pencabutan tetap sebagai arbiter mulai berlaku sejak arbiter bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang ditanganinya.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 hanya memberikan upaya hukum berupa permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan arbitrase perselisihan hubungan industrial guna memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa dirugikan mengajukan keberatannya. Pengajuan permohonan pembatalan ke MA dapat dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya putusan arbiter. Upaya permohonan pembatalan dapat dilakukan bila putusan arbiter diduga mengandung unsur­unsur sebagai berikut:
a)      surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b)      setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan;
c)      putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d)     putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e)      putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila permohonan pembatalan dikabulkan maka Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan putusan arbitrase, baik seluruhnya maupun sebagian.

5. Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan- peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Menurut UU. No. 2 Tahun 2004, untuk pertama kalinya Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/ Kota di setiap ibukota provinsi yang mempunyai daerah hukum meliputi seluruh wilayah provinsi bersangkutan dan pada Makamah Agung untuk tingkat kasasi. Untuk kabupaten/ kota yang padat industri dibentuk pula Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Susunan hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Sedang pada Mahkamah Agung susunan hakimnya terdiri dari Hakim Agung, Hakim Agung Ad-Hoc, dan Panitera. Hakim Ad-Hoc adalah hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang pengangkatannya dilakukan atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha.
Masing-masing serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha mengusulkan calon HakimAd-Hoc kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mendapat persetujuan. Menteri kemudian mengajukan nama yang disetujui untuk menjadi calon HakimAd-Hoc kepada Ketua Mahkamah Agung dengan perbandingan calon Hakim Ad-Hoc yang sama antara yang dari unsur serikat pekerjal serikat buruh dengan unsur organisasi pengusaha. Ketua Mahkamah Agung mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat hakim Ad-Hoc yang diajukan menteri dimana pengangkatannya dilakukan dengan Keputusan Presiden. Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Ad-Hock pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Agung Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      warga negara Indonesia;
2.      bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa;
3.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
4.      berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
5.      berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
6.       berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7.      berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung harus berpendidikan sarjana hukum (S.H.); dan
8.      berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Masa jabatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial adalah selama 5 (lima) tahun dan setelah itu dapat diangkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan. Sebelum memangku jabatannya Hakim Ad-Hoc wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama masing-masing. Peng­angkatan sumpah dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk Hakim Ad-Hoc pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim Agung Ad-Hoc. Untuk hakim pengadilan hubungan industrial (yang bukan Hakim Ad-Hoc) pengangkatannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi hakim pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Hakim Ad-Hoc dilarang merangkap jabatan sebagai:
1)      anggota Lembaga Tinggi Negara
2)      kepala daerah/ kepala wilayah
3)      lembaga legislatif tingkat daerah
4)      pegawai negeri sipil
5)      anggota TNI/ Polri
6)      pengurus partai politik
7)      pengacara
8)      mediator
9)      konsiliator
10)  arbiter; atau
11)  pengurus serikat pekerja/ serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha
Apabila yang bersangkutan merangkap jabatan sebagaimana diuraikan tersebut maka jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
1.      meninggal dunia;
2.      atas permintaan sendiri;
3.      sakit jasmani dan rohani terus-menerus selama 12-(dua belas) bulan;
4.      telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun untuk Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Agung Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
5.      tidak cakap dalam menjalankan tugas;
6.      atas permintaan organisasi pengusaha atau serikat pekerja/ serikat buruh yang mengusulkan; atau
7.      telah selesai masa tugasnya.
Hakim Ad-Hoc dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya apabila:
1)      dipidana karena kesalahan melakukan tindak pidana kejahatan;
2)      selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1(satu) bulan melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugas pekerjaan tanpa alasan yang sah; atau
3)      melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian dengan tidak hormat tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan melakukan pembelaan kepada Mahkamah Agung. Sebelum diberhentikan dengan tidak hormat dan selama melakukan pembelaan Hakim Ado-Hoc dapat diberhentikan sementara waktu dari jabatannya. Pemberhentian Hakim Ad-Hoc dilakukan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Untuk membantu hakim pengadilan hubungan industrial melaksanakan tugasnya maka dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda dibantu beberapa Panitera Pengganti pada setiap Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Sub Kepaniteraan tersebut mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial termasuk mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara dan membuat daftar semua perselisihan yang ditetapkan dalam buku perkara serta bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberi­tahuan putusan, dan penyampaian salinan putusan:
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri bertugas, dan berwenang memeriksa serta rrlemutus:
a)      di tingkat-pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
b)      di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
c)      di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d)     di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadian Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/ buruh bekerja. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang telah dilakukan sebelumnya. Apabila risalah tersebut tidak dilampirkan atau terdapat kekurangan dalam isi gugatan, maka hakim berkewajiban meminta penggugat menyempurnakan gugatannya.   Gugatan dapat dilakukan oleh lebih dari satu penggugat (secara kolekti fl dan selama tergugat belum memberikan jawabannya, penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya. Apabila tergugat telah menyampaikan jawabannya, maka pencabutan gugatan oleh penggugat hanya dapat dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial apabila disetujui tergugat. Para pihak yang berselisih (penggugat dan tergugat) dapat menunjuk serikat pekerja/ serikat buruh atau organisasi pengusaha dimana yang bersangkutan menjadi anggota untuk bertindak sebagai kuasa hukum dalam beracara di muka persidangan Pengadilan Hubungan Industrial
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima permohonan penyelesaian perselisihan, Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri atasl (satu) orang hakim sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim ad-hoc sebagai anggota majelis untuk memeriksa dan memutus perselisihan. Dua orang hakim ad­hoc tersebut masing-masing 1(satu) orang yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/ serikat buruh dan 1(satu) orang yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha.
Ketua Majelis Hakim dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penetapan majelis hakim, harus sudah menentukan tanggal persidangan. Pemanggilan para pihak yang berselisih untuk datang ke persidangan dilakukan secara sah bila disampaikan dengan surat panggilan ke alamat tempat tinggalnya atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan ke tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir, maka surat panggilan sidang disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir pihak yang dipanggil. Pemberian surat panggilan sidang kepada pihak yang dipanggil atau melalui orang lain harus dilakukan dengan bukti tanda terima. Dalam hal tempat tinggal maupun kediaman terakhir tidak diketahui, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan tempat perselisihan hubungan industrial diperiksa.
Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penundaan dengan memanggil kembali para pihak sesuai prosedur pemanggilan yang berlaku. Apabila setelah dipanggil secara patut, penggugat tidak datang pada hari sidang berikutnya tersebut atau tidak menyuruh orang lain mewakilinya secara sah maka gugatannya dianggap gugur tetapi masih berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. Apabila yang tidak datang dalam sidang berikutnya tersebut adalah pihak tergugat atau kuasa yang mewakili secara sah, maka gugatan dapat diterima dan Majelis Hakim memutus perselisihan berdasarkan bukti yang ada.
Sidang Majelis Hakim perselisihan hubungan industrial terbuka untuk umum kecuali majelis hakim menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan. Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna dimintai keterangannya. Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksian di bawah sumpah termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat­surat yang diperlukan.
            Perselisihan hubungan industrial yang diperiksa wajib diselesaikan majelis hakim dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak persidangan pertama. Putusan majelis hakim harus diambil dengan mempertimbangkan hukum perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan serta harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, Ketua Maj elis Hakim harus memerintahkan panitera pengganti untuk menyampai­kan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dijatuhkan. Putusan tersebut merupakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang harus ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti. Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan ditandatangani, Panitera Pengganti harus sudah menerbitkan salinan putusan dan mengirim­kannya kepada pihak yang berselisih paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterbitkan.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan terakhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedang p'utusan mengenai perselisihan kepentingan dan pemutusan hubungan kerja akan mempunyai kekuatan hukum yang tetap bila tidak diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja:
a)      sejak dibacakannya putusan bagi pihak yang hadir dalam pembacaan putusan
b)      sejak menerima pemberitahuan putusan bagi pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan.
Pihak yang akan mengajukan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui sub kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana putusan dimohonkan kasasi. Sub kepaniteraan harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja yang dimohonkan kasasi, diperiksa dan diputus oleh majelis hakim kasasi yang terdiri atas 1(satu) orang Hakim Agung dan 2 (dua) orang Hakim Agung Ad-hoc yang susunan majelisnya ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Tata cara penyelesaian oleh majelis hakim kasasi dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan tentang perselisihan oleh majelis hakim kasasi harus sudah dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

Tugas               : Setelah  memperoleh materi mahasiswa dapat menjelaskan :
1.      Jelaskan pengertian perselisihan hubungan industrial ?
2.      Jelaskan pengertian penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?
3.      Jelaskan cara-cara yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?
4.      Jelaskan prosedur penyelesaian perselisihan melalui mediasi ?
5.      Jelaskan prosedur penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi ?
6.      Jelaskan prosedur penyelesaian perselisihan melalui arbitrase ?
7.      Jelaskan prosedur penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial ?
































PERTEMUAN KE XIV
ANALISA KASUS-KASUS KETENAGAKERJAAN


TIK     : Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu
1.      memahami kasus-kasus yang timbul dalam hubungan ketenagakerjaan
2.      memahami cara penyelesaian kasus ketenagakerjaan melalui legal memo, legal opinion, legal annitation dan eksaminasi publik

Pokok Bahasan           : Analisa Kasus Ketenagakerjaan

Deskripsi Singkat        : Dalam perkuliahan ini mahasiswa akan mempelajari kasus-kasus dalam hubungan ketenagakerjaan, cara penyelesaian kasus melalui legal memo, legal opinion, legal annitation dan eksaminasi publik.


Legal Memorandum atau Office Memorandum:
q  Merupakan catatan singkat.
q  Tidak formal.
q  Untuk kepentingan kalangan sendiri dalam satu kantor.

Legal Opinion:

v  Merupakan pendapat hukum dari kantor hukum.

v  Ditujukan kepada klien.

v  Lebih formal, ada kop surat, nama ahli hukum yang membuat.

Legal Annotation

·         Merupakan penilaian terhadap putusan hakim yang telah. memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
·         Dilakukan oleh pihak di luar badan peradilan: perguruan tinggi, praktisi/pakar-pakar hukum yang bukan pengacara.

Eksaminasi Publik

§  Merupakan ujian atau pemeriksaan terhadap putusan hakim/pengadilan.
§  Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dan hakim yang memutus perkaranya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
§  Juga apakah prosedur hukum acaranya sudah diterapkan dengan benar.
§  Demikian pula apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.
§  Dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk perkara-perkara yang diputus oleh Ketua Pengadilan Negeri dan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara yang diputus oleh masing-masing hakim di daerahnya.

 

Contoh Legal Memorandum

Kasus Imajiner
PT Arema milik Pak Dahlan merupakan pabrik sepatu di Kabupaten Malang, berhenti berproduksi karena omzet penjualannya terus menerus menurun. Pada tahun 1996 ada orang Korea yang bernama Chang We yang menjadi manajer pabrik tersebut bersama-sama dengan Rudi (manajer pemasaran), Soni (manajer produksi),  Parto (manajer personalia) dan Sunarti (manajer keuangan), mendapatkan perjanjian lisensi dengan pabrik sepatu Reabok untuk membuat sepatu tanpa merek, kemudian dieksport ke Korea untuk dipasang mereknya, kemudian diekspor ke Eropa.

Pada bulan Maret tahun 2003 tiba-tiba Chang We menghilang. Pada hal sampai mengekspor yang terakhir pada bulan Januari 2003, yang menandatangani dokumen-dokumen pengiriman secara formal adalah Pak Dahlan. 

Pada tanggal 2 April 2003 Pak Dahlan mengajukan gugatan kepada Chang We ke Pengadilan Negeri Kabupaten Malang, yang dalam gugatannya Pak Dahlan meminta Chang We untuk membayar uang sewa pabriknya, selama mulai tahun 1996 sampai April 2003. Tapi karena Pak Dahlan tidak dapat mengemukakan bukti-buktinya, maka gugatan Pak Dahlan ditolak, dan Chang We dimenangkan pada tanggal 28 Juli 2003.

Dalam pada itu, karena lama pabrik sama sekali tidak berproduksi, maka para manajer berkehendak untuk menutup perusahaan (lock-out) dan mem PHK para buruhnya yang jumlahnya kurang lebih 1600 orang. Buruh beserta serikat buruhnya menolak di PHK, namun P4P memutuskan untuk mengabulkan permohonan PT Arema, dengan pesangon seperti yang tercantum dalam peraturan yang berlaku pada tanggal 4 September 2003. Akhirnya para buruh dan serikat buruhnya menerima putusan PHK tersebut. Tapi kemudian muncul kesulitan karena tidak ada uang yang dapat digunakan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak karena PHK tersebut. Para buruh melalui Ketua Serikat Buruhnya yang bernama Zainudin, meminta pesangon dll. tersebut dari Pak Dahlan, dan Pak Dahlan menolak dan mengatakan bahwa serikat buruh telah salah alamat, karena dia bukan manajer dan lagi pula menurut Pak Dahlan yang mempekerjakan buruh selama ini adalah Chang We.

Buat legal opinion kepada Pak Dahlan!.

Bagian Heading (Kepala LM)
  • Kepada siapa LM ditujukan
  • Siapa yang membuat LM
  • Pokok masalah yang dibahas
  • Nama para pihak yang bersengketa
  • Tanggal LM dibuat



Pendapat Hukum (Legal Memorandum)

Kepada                 : Zainudin (Ketua Serikat Buruh Muslim

                              Indonesia)

Dari                     : Umu  Hilmy, SH MS
Pokok masalah      : PHK pada PT Arema
Nama para pihak  : PT Arema vs Zainudin (Ketua SBMI)
Tanggal                : 12 Maret 2004

Permasalahan Hukum

Pada bagian ini pembuat LM harus menuliskan apa yang ditanyakan atau yang ingin diketahui oleh peminta LM, atau masalah-masalah hukum (normatif) yang berkaitan dengan masalah. Permasalahan hukum ini bisa berbentuk pertanyaan seperti rumusan masalah dalam penelitian. Susunan permasalahan hukum hendaknya disesuaikan dengan kerangka berpikir berdasarkan pentingnya masalah dan atau tema waktu terjadinya masalah.


Permasalahan Hukum
  1. Siapa pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja dengan buruh PT Arema, apakah dengan Chang We dan manajer lainnya ataukah dengan Pak Dahlan?
  2. Bagaimana hubungan hukum antara Chang We bersama manajer lainnya dengan Pak Dahlan?
  3. Siapa yang wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak terhadap buruh karena PHK yang telah diputuskan oleh P4P?

Jawaban Singkat (Brief Answer)
Pada bagian ini pembuat LM harus menjawab secara singkat jawaban dari permasalahan hukum yang ingin diketahui oleh peminta LM dengan alasan yang mendukung jawaban tersebut.

Jawaban singkat
  1. Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja tergantung pada kapan buruh masuk atau menandatangani atau baru mulai bekerja pada PT Arema. Buruh yang masuk saat Pak Dahlan menjalankan PT Arema, maka buruh membuat perjanjian dengan Pak Dahlan, demikian pula yang masuk saat Chang We menjalankan PT Arema.
  2. Hubungan hukum antara Chang We bersama dengan manajer lainnya dengan Pak Dahlan adalah hubungan pengangkatan mereka sebagai manajer, karena Pengadilan Negeri telah memutuskan bahwa gugatan Pak Dahlan ditolak karena hubungan sewa menyewa tidak terbukti, walaupun tidak ada dokumen lain yag menunjukkan adanya hubungan manajerial. Lagi pula secara formal Pak Dahlan tetap menanda tangani dokumen-dokumen pengiriman barang.
  3. Dengan demikian yang wajib membayar uang pesangon dan ganti rugi adalah Pak Dahlan. Walaupun demikian Pak Dahlan dapat menggugat Chang We untuk membayar jumlah uang pesangon para buruh sejak 1996, dimana dia diangkat oleh Pak Dahlan. Tapi pembayaran buruh yang lama, tetap menjadi kewajiban Pak Dahlan. Gugatan pak Dahlan dengan Chang We merupakan hubungan internal PT, buruh tidak ada di dalamnya dan mereka hanya tahu PT membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggatian hak sebagaimana diatur dalam UU No.13 Th.2003 yang menjadi haknya.

Pernyataan Fakta-fakta (Statement of Facts)
Pada bagian ini pembuat LM harus merumuskan fakta-fakta hukum yang penting yang sesuai dengan informasi dari peminta LM, bukti dokumen yang ada dan permasalahan hukum yang telah dirumuskan. Bagian pernyataan fakta-fakta ini adalah untuk menentukan peraturan (hukum) mana yang berlaku dan dapat diterapkan dalam kasus ini.

Pernyataan Fakta-fakta
  1. PT dibuat sebelum 1996, sehingga sebagian dari buruh yang di PHK ada telah yang masuk, menjadi buruh PT Arema saat itu, dan menjadi buruh terus sampai di PHK. Jadi mereka mengadakan perjanjian kerja di PT Arema yang waktu itu yang menjadi manajer adalah Pak Dahlan, atau orang lain yang diangkat oleh Pak Dahlan.
  2. Tapi ada buruh yang masuk setelah Chang We dan manajer lainnya menjalankan PT Arema, yaitu pada tahun 1996 dan selanjutnya, maka mereka mengadakan perjanjian kerja dengan Chang We dan manajer lainnya tersebut.
  3. Tidak ada dokumen yang dapat menunjukkan hubungan hukum antara Chang We dan menajer lainnya dengan Pak Dahlan.
  4. Selama Chang We menjalankan perusahaan secara formal Pak Dahlan yang menandatangani dokumen-dokumen pengiriman barang.
  5. Pada 2 April 2003 Pak Dahlan menggugat Chang We untuk membayar uang sewa, karena berpendapat bahwa hubungannya dengan Chang We bersama manajer lainnya adalah hubungan sewa-menyewa perusahaan, ke Pengadilan Negeri setempat. Tapi Pengadilan menolak gugatan Pak Dahlan karena tidak dapat menunjukkan bukti dokumen maupun saksi untuk itu dengan Putusan Pengadilan No…./…./2003, pada 28 Juli 2003.
  6. Ada putusan P4P pada tanggal 4 September 2003 yang memutuskan hubungan antara buruh dan pengusaha PT Arema dan mewajibkan PT Arema untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggatian hak yang menjadi hak buruh menurut UU No.13 Th.2003.
  7. Pak Dahlan menolak membayar uang pesangon dan ganti rugi tersebut, dengan mengatakan bahwa buruh salah alamat, menuntut pesangon darinya.

Analisis (Analysis)

Ø   Bagian ini merupakan bagian terpenting dari LM, karena bagian ini memuat analisis fakta dengan peraturan yang diterapkan dengan disertai alasan atau argumen yang mendukung pendapat pembuat LM.
Ø   Pada bagian pembuat LM dapat melengkapi argumennya dengan teori, doktrin, pendapat para ahli dan yurisprudensi yang terkait dengan permasalahan hukum yang ada.
Ø   Analisis harus disusun secara sistematis sehingga dapat menjawab permasalahan hukum dengan tepat, sesuai dengan rumusan masalah.

Analisis
  1. Permasalahan pertama:
Siapa pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja dengan buruh PT Arema, apakah dengan Chang We dan manajer lainnya ataukah dengan Pak Dahlan?

Peraturan yang digunakan (dianalisis) adalah:
Perjanjian kerja berdasarkan KUHPerdata Buku Ketiga Titel 7A
Pasal 1601

UU No.21 Th.1954 tentang Perjanjian Perburuhan (KKB)


  1. Permasalahan kedua:
Bagaimana hubungan hukum antara Chang We bersama manajer lainnya dengan Pak Dahlan?

Peraturan yang digunakan adalah:
UU PT 1995

UU Kepailitan
Pasal 38
Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya kurator dapa memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya.
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.

  1. Permasalahan ketiga:
Siapa yang wajib membayar uang pesangon dan ganti rugi terhadap buruh karena PHK yang telah diputuskan oleh P4P?
Peraturan yang digunakan
UU No.13 Th.2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 156, 163, 164, 165.
Pasal 156
(1)         Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2)         Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
    1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah ;
    2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
    8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
    9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3)  Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.       masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah.
b.      masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah.
c.       masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah.
d.      masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (liam belas) tahun, 5 (lima) bulan upah.
e.       masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah.
f.       masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
g.      masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah.
h.      masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(4)  Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagai- mana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.       cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.      biaya dan ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.       penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.      hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan  perhitungan uang pesangon,  perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah..

Pasal 163
(1)         Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersediamelanjutkan hubngan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4).
(2)         Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia menerima buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali dalam pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 156 ayat (4).

Pasal 164
(1)         Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
(2)         Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3)         Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Kesimpulan (Conclusion)

Bagian ini memuat ringkasan umum dari hasil analisis yang langsung merujuk pada peraturan yang berlaku yang diterapkan dalam permasalahan hukum yang ada.

Saran (Recommendation)
Bagian ini tidak harus ada, tapi ini penting bagi klien atau peminta LM supaya yang bersangkutan dapat mengambil langkah selanjutnya berkaitan dengan kasus tersebut.
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut