You Are Here: Home - LAW SCHOOL - HAK-HAK KEAGRARIAAN ADAT DALAM POLITIK HUKUM


HAK-HAK KEAGRARIAAN ADAT DALAM POLITIK HUKUM

AGRARIA INDONESIA ERA GLOBALISASI

(Studi kasus eks marga Benakat, Muara Enim, Sumatera Selatan)


Oleh:
Happy Warsito
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
___________________________________________________________________
Abstrak : Sejak zaman kolonial hingga kini, Hak-Hak Keagrariaan Adat kurang diakui keberadaannya. Selain itu, pengakuan yang diberikan hanya sebatas potensi ekonomisnya sebagai asset yang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, bukan sebagai asset yang harus dikelola sedemikian rupa dan dijaga kelestariannya. Bahkan, di Sumatera Selatan, dengan dalih pembangunan rejim Orde Baru  mengambil hak-hak keagrariaan masyarakat adat untuk selanjutnya diserahkan kepada para pengusaha baik nasional maupun asing dengan berbagai hak, sebagaimana terjadi atas hak ulayat/tanah marga pada masyarakat hukum adat eks Marga Benakat di Sumatera Selatan, yang selanjutnya dijadikan HTI, walaupun tindakan tersebut ditentang oleh warga setempat serta LSM seperti LBH dan Walhi.
Kata Kunci : Hak-Hak Keagrariaan Adat; Politik Hukum; Globalisasi; Asset; Masyarakat Hukum Adat.

Pendahuluan

HMN sebagai Lembaga Hukum baru yang diintrodusir UUPA dinyatakan berasal dari Hak Ulayat Masyarakat / Persekutuan Hukum Adat yang pada tingkatan tertinggi dijadikan hak negara atas tanah sebagaimana dirumuskan pada pasal 2, adalah cerminan pola politik hukum agraria nasional dan berfungsi sebagai pedoman dan arah bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bertindak di bidang keagrariaan. Baerasarkan HMN negara mempunyai 3 (tiga) wewenang untuk mengatur:
1.  Penggunaan, persediaan, peruntukan dan pemeliharaan atas segala sumber keagrariaan atau  tata keagrariaan/ruang;
2.  Hubungan hukum antara orang dengan segala sumber keagrariaan atau hak-hak  keagrariaan;
3.  Hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang tentang segala sumber keagrariaan atau  transaksi keagrariaan.
Lebih lanjut, Pasal 2 ayat 4 UUPA menentukan bahwa, pada pelaksanaannya HMN dapat dikuasakan kepada daerah Swatantra dan Masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah. Hal ini senafas dengan rumusan Pasal  3 UUPA yang menentukan, bahwa dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak semacam itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bahkan, pada pasal 5 UUPA ditegaskan bahwa hukum yang berlaku atas segala sumber keagrariaan adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar pada persatuan bangsa serta mengindahkan unsur yang bersandar pada hukum agama misalnya wakaf. Namun sangat disayangkan hingga saat ini pemerintah belum pernah mendelegasikan kewenangannya tersebut kepada masyarakat hukum adat. Kondisi demikian mengakibatkan timbulnya berbagai sengketa dan konflik agraria hampir di seluruh wilayah NKRI.
Pada kenyataannya, pelaksanaan HMN sering ditafsirkan secara formal dan sempit. Formal dalam arti bahwa semua hak atas tanah harus dibuktikan dengan alat bukti resmi yang tertulis  terutama sertipikat hak atas tanah. Secara sempit diartikan bahwa apabila tiada alat bukti resmi tertulis itu hak atas tanah masyarakat tidak diakui. Penafsiran demikian tentunya bertentangan dengan pasal 5 UUPA serta rasa keadilan masyarakat yang berpandangan material dan luas. Material karena masyarakat kita  belum seluruhnya mengenal alat bukti yang tertulis sebagai bukti pemilikan hak atas tanah, sedangkan luas artinya seseorang diakui memiliki sebidang tanah apabila dia nyata-nyata menguasai sebidang tanah tersebut dan tidak tergantung pada alat bukti tertulis atas penguasaan tanahnya. Sejak semula alat bukti hak atas tanah berupa sertipikat tidak dikenal oleh masyarakat yang menafsirkan keadilan dalam penguasaan sebidang tanah bukan dalam arti kepastian hukum seperti yang diminta oleh hukum barat, namun keseimbangan religio-magis antara dunia yang nyata dan dunia yang tidak kelihatan
Uraian di atas menunjukkna bahwa, nampaknya pemerintah berpikir secara abstrak dan lebih maju dari rata-rata masyarakat pada umumnya, namun kurang memperhatikan pasal 5 UUPA yang menjelaskan bahwa hukum agraria yang diberlakukan di seluruh wilayah republik Indonesia adalah hukum adat yang sederhana sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atas dasar cara berfikirnya masih sederhana secara konkret. Dengan pandangan formal dan sempit, pemerintah pusat lewat aparaturnya di daerah  dapat secara leluasa mengambil sumber keagrariaan masyarakat yang bernilai ekonomis tinggi dan menyerahkannya pada pengusaha tanpa daya apa pun dari masyarakat, karena masyarakat tentunya tidak dapat membuktikan haknya secara formal dengan sertipikat hak atas tanah. Sedangkan pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak dan lebih memihak pemerintah pusat, karena wewenang keagrariaan adalah wewenang pemerintah pusat. Biasanya pemerintah daerah hanya berdalih melaksanakan kebijakan pemerintah pusat.
Pengambilan tanah-tanah masyarakat adat lebih diperparah lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (yang diperbarui dengan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) dan Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Peraturan Pokok Pertambangan. Kedua undang-undang tersebut tidak mencantumkan UUPA pada bagian menngingatnya, namun langsung mengacu pada pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Hal demikian mengakibatkan sering terjadi ketumpangtindihan pemberian hak keagrariaan atas sebidang tanah dari instansi yang terkait seperti Badan Pertanahan Nasional ; Departemen Kehutanan, dan Departemen Pertambangan yang mengakibatkan terjadinya sengketa atas sebidang  tanah milik masyarakat yang dengan pandangan formal penguasa dapat beralih kepada pengusaha. Semakin lemahnya kedudukan hak-hak agraria masyarakat hukum adat/hak ulayat lebih diperparah dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Di Sumatera Selatan, sebagai pelaksanaan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Gubernur Sumatera Selatan menghapuskan marga dan membentuk desa dengan keputusannya Nomor 142/Kpts/III/1983. Penghapusan marga mengakibatkan terhapusnya tanah ulayat yang dikenal dengan tanah marga. Penghapusan marga mengakibatkan berubahnya dasar pengikatnya dari kesatuan genealogis menjadi administratif. Perubahan tersebut mengakibatkan masyarakat yang pada masa pemerintahan marga mengerjakan tanah marganya sendiri berubah  menjadi perambah hutan secara liar, karena tanah hutan di Sumatera Selatan seluas 5.343.058 hektar, dengan bebas telah  diberikan kepada pengusaha HPH seluas 1.916.050 hektar, bahkan diperparah lagi dengan HTI yang memberikan hak atas tanah dengan menebangi lahan yang ada dan menanami dengan tanaman industri.
Dalam satu setengah tahun perjalanan Pelita VI telah diserap dana investasi sebesar 4,447 trilyun rupiah dari 41 proyek PMDN dan 9 proyek Penanaman Modal Asing. Dari sektor perkebunan diketahui bahwa kepada 66 pengusaha perkebunan besar telah diberikan lahan seluas 1.409.092 hektar, sedangkan areal perkebunan rakyat hanyalah seluas 1.045.044 hektar. Di sektor pertambangan diperkirakan paling sedikit terdapat tiga buah perusahaan pertambangan besar dengan kuasa pertambangan sekitar 500.000 hektar[1]. Sebagian besar hutan marga dikonversi menjadi Hutan Produksi dan diserahkan kepada pemegang HTI atau pengusaha perkebunan swasta[2]. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai sengketa tanah di Sumatera Selatan. Pada 1944, LBH Palembang mencatat 12 kasus, dan pada 1995 kasus meningkat menjadi 18 kasus. Delapan dari 10 Dati II di Sumatera Selatan mempunyai sengketa tanah, terbanyak dan krusial terjadi di Muara Enim. Pada 1998-1999 terjadi peningkatan tajam menjadi 113 kasus pertanahan (Sumatera Ekspress dan Sriwijaya Post). Persoalan berkisar pada: ketidakjelasan status tanah, pengambilan hak keagrariaan adat untuk HTI, pembebasan hak keagrariaan adat secara paksa, kebakaran hutan rakyat dll.
Kajian terhadap eksistensi hak-hak keagrarian adat dalam kaitannya dengan pelaksanaan politik agraria di era globalisasi dan otonomi daerah menjadi sesuatu yang menarik, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa hak-hak keagrariaan adat di dalam masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang dan masa yang akan datang mempunyai peranan penting dalam menjamin kehidupan masyarakat, khususnya kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan pada sisi lain pelaksanaan HMN; globalisasi perdagangan dunia yang menuntut setiap negara untuk membuka diri bagi berbagai produk perdagangan dan investasi akan terus mendesak hak-hak keagrarian masyarakat hukum adat. Kondisi demikian  mengharuskan para pembuat kebijakan dalam politik hukum agrarianya memperhatikan hak-hak keagrariaan adat dalam arus globalisasi dan era otonomi daerah ini.  

Permasalahan


1.      Bagaimanakah sesungguhnya keberadaan hak-hak keagrariaan adat di dalam masyarakat Indonesia pada masyarakat eks marga benakat ?
2.      Apakah kedudukan hak-hak keagrariaan adat ini telah diperhitungkan dalam politik hukum agraria kita ?
3.      Mengapa pemerintah bersikap demikian dalam politik hukum agrarianya?

Tinjauan Pustaka

Pada waktu kita merdeka terkandung maksud untuk mempunyai hukum agraria nasional dan selama belum ada digunakan kebijakan dan penafsiran baru. Eigendom dirasakan tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat karena terlalu bersifat individual dan liberal. Karena itu, dikandung maksud untuk menghilangkannya dari muka bumi Republik Indonesia dan sementara itu hak domein yang juga bersifat individual-liberal itu ditafsirkan sebagai Hak Menguasai sebagai yang diatur di dalam pasal 33 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 dan terdapat dalam hak menguasai yang ada di tangan kepala  persekutuan  hukum adat.
Pada 24 September 1960 diundangkanlah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang menurut diktum kelimanya dapat disebut dengan Undang Undang Pokok Agraria. UUPA bermaksud mengadakan hukum agraria nasional yang menurut pasal 5 nya adalah hukum adat sedangkan di dalam hukum adat itu sendiri terdapat kebhinekaan. Dalam hukum adat, hanya dapat ditemukan persamaan prinsip antara wilayah hukum adat[3]. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat ‘bineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria nasional ,[4] atau seperti yang dikatakan orang, adalah adanya pluralisma hukum di dalam hukum agraria kita.
Uraian di atas memberi pengertian, terjadinya perubahan terhadap eksistensi hak-hak keagrariaan adat dalam politik hukum agraria. Jika pada zaman Hindia Belanda dikenal Hak Domein Negara berdasarkan Domein Verklaring. Dengan hak semacam ini negara bertindak dalam lapangan hukum perdata: memiliki, sama dengan warganya karena pandangan yang individual-liberal. Dengan konsep pemilikan ini, negara dengan kelebihannya sebagai badan hukum publik dapat bertindak leluasa karena milik adalah hak yang bersifat mutlak, tertinggi, dan tak dapat diganggu gugat.  Pada masa ini keberadaan hak-hak keagrariaan adat hampir tidak diperhitungkan sama sekali.
Sedangkan sekarang kita mengenal Hak Menguasai Negara yang dikatakan diangkat oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari hak menguasai yang terdapat pada masyarakat hukum adat. Dengan konsep ini negara adalah manifestasi kekuasaan seluruh rakyat sehingga negara itu, dari, oleh, dan untuk rakyat. Ditegaskan bahwa hak-hak keagrariaan adat diakui keberadaannya. Hukum yang berlaku atas sumber-sumber keagrariaan adalah hukum adat.  Dengan acuan kepada hukum adat ini diharapkan politik hukum agraria kita dapat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
Introduksi Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri telah banyak menguras isi hutan milik persekutuan hukum adat dan mengundang konflik berkepanjangan.  Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan menyatakan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat dan anggotanya untuk memungut hasil hutan sepanjang kenyataannya masih ada perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan hak pengusahaan hutan. Bahkan di dalam ayat 3 ditegaskan bahwa demi keselamatan umum di areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak-hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan.
Praktek pendesakan hak-hak keagrariaan adat atau hak-hak asli masyarakat (indigenous rights) demi kepentingan ekonomi penguasa ini memang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang lambat laun akan menghilangkan akses publik atas hak-hak tersebut dan  dalam kepustakaan dikenal dengan Tragedy of the Commons yang dikemukakan oleh Garrett Hardin[5].  Beberapa contoh dapat dilihat sebagai berikut: Di Filipina pemerintah jajahan Spanyol melakukan beberapa usaha untuk mensistematisasikan hak milik di antaranya dengan menerbitkan hak-hak baru atas tanah dengan kesombongan hukum baratnya yang memandang rendah hukum rakyat setempat sehingga menyebabkan rakyat bersikap acuh tak acuh.[6] Keadaan diperburuk dengan adanya principalia (tuan tanah) yang menghaki tanah bersebelahan dengan tanahnya ketika melakukan klaimnya. Hal ini lebih meningkat pada waktu pemerintah jajahan Amerika menerapkan prosedur pendaftaran tanah formal yang serupa dengan yang dilakukan di Amerika sendiri tanpa menghiraukan ketidakmengertian rakyat yang tidak mengenal prosedur sedemikian dalam hukum adatnya. Akibatnya banyak tanah rakyat yang diambil oleh para tuan tanah yang melakukan prosedur formal yang benar dengan mengambil tanah rakyat yang bersebelahan. Pengambil-alihan penguasaan sumber-sumber keagrariaan secara besar-besaran terjadi pada kebijakan perikanan pemerintah di Papua Nugini.[7]  Hal serupa juga terjadi di Malaysia Barat. [8]
Perkembangan politik hukum agraria Indonesia dan dibeberapa negara di atas menjelaskan bahwa hukum itu tidak berdiri sendiri, terlepas dari masyarakat karena hukum adalah salah satu dari subsistem sosial menurut teori fungsional-strukturalnya Talcott Parson, sistem sosial terdiri atas: [9]
1.      Tingkah laku organisasi dengan fungsi adaptasi melalui penyesuaian dan transformasi seperti ekonomi;
2.      Sistem kepribadian dengan fungsi pencapaian tujuan melalui tujuan sistem dan mobilisasi misalnya politik;
3.      Sistem sosial dengan fungsi integrasi melalui kendali komponen masyarakat termasuk hukum;
4.      Sistem budaya dengan fungsi laten. Pemeliharaan pola melalui norma dan nilai misalnya kepercayaan.
Dengan menyimak perubahan politik hukum agraria tersebut yang terjadi karena sudut pandang dan kepentingan penguasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa hal ini sesuai dengan pendapat Sampford[10] bahwa terjadi perubahan set interaksi dalam perjuangan kompleks antara sejumlah besar kelompok dan lembaga. Anggotanya akan mempunyai kepentingan subjektif yang bertentangan dan nilai-nilai lain yang mereka dapat dan pertahankan, kadang secara pribadi namun biasanya lewat lembaga. Dengan demikian hukum itu meleleh di tangan penggunanya sehingga tergantung kepada pandangan dan kepentingan para fihak dalam hal politik hukum adalah para pembuat kebijakan negara atau penguasa.
Sebagai suatu sistem, selayaknya pola politik hukum agraria Indonesia lebih mengacu kepada tatanan hukum responsif[11] yang berfungsi sebagai fasilitator tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi sosial karena itu harus fungsional, pragmatis, bertujuan dan rasional. Dengan demikian, pemikirannya purposif yang bertujuan atau berorientasi kebijakan dengan keadilan yang prosedural dan substantif[12]. Mengacu kepada cita negara hukum Indonesia fungsi primer hukum yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 harus terwujud:[13] 
1. Perlindungan masyarakat baik dari pemerintah, sesama   maupun dari luar
2. Keadilan dengan menjaga dan melindungi nilai-nilai keyakinan masyarakat;
3. Pembangunan dengan sarana penentuan arah, tujuan, pelaksananan serta pengendaliannya.
Ditegaskan oleh Sugangga[14] bahwa perubahan nilai dan kesadaran sebagai akibat informasi dan teknologi akan mempengaruhi isi dan corak sistem hukum nasional termasuk hukum adat. Hukum adat harus disesuaikan dengan keadaan namun azas-azasnya harus tetap dipertahankan. Kita harus terbuka dalam menerima peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional. Hukum adat adalah hukum yang dinamis yang mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, mempunyai nilai-nilai yang universal, dan lembaga-lembaga hukum yang yang kita ketemukan dalam hukum internasional. Dengan meminjam pendapat Notonagoro[15] 
Politik Hukum Agraria Indonesia itu hendaklah realistis, etis, religius dalam arti bahwa politik hukum agraria Indonesia itu memperhatikan realita yang ada, terdapat dasar etika di dalamnya serta memperhatikan kaidah religi yang ada.
Berdasarkan UUPA melalui Hak Menguasai Negara sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 pemerintah wajib berusaha agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai pula dengan pasal 2 ayat 4 UUPA yang menekankan desentralisasi dalam hukum agraria maka politik hukum agraria Indonesia selayaknya bercorak neo-populis yang menempatkan satuan usaha pada keluarga dengan pertanggungjawaban yang diatur oleh negara[16]. Kenyataannya banyak sengketa agraria yang terjadi biasanya dimulai dengan pemberian hak-hak keagrariaan oleh pemerintah kepada perusahaan modal besar atau bagi proyek pemerintah sendiri. Hal ini telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah berskala besar bagi proyek pembangunan pemerintah maupun perusahaan bermodal besar.  Sengketa ini bersifat struktural dalam arti bahwa sengketa atas sebidang tanah beserta segala sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terkandung di dalamnya dimulai dengan pemberian hak atas tanah termaksud untuk proyek pembangunan dan telah terjadi ikatan kuat antara penduduk dengan tanah tersebut.[17]
UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok dalam hal keagrariaan seharusnya dapat menjawab permasalahan yang timbul. Namun kenyataannya masih terjadi sengketa yang berkepanjangan. Bagaimana seharusnya dengan UUPA sendiri ? Sanggupkah menjawab tantangan zaman ? Dan bagaimana kita harus bersikap terhadap UUPA ? Terdapat 4 (empat) golongan sikap terhadap UUPA saat ini:[18] 
1.      Mereka yang percaya bahwa semua peraturan termasuk UUPA  dibentuk dengan niat baik untuk jaminan kewajiban dan hak masyarakat sehingga terandalkan sebagai sarana perlindungan hak masyarakat. Sengketa terjadi karena penyimpangan yang dilakukan oleh  oknum dalam mempergunakan kewenangannya.
2.      Mereka yang percaya bahwa UUPA memuat jaminan terhadap hak-hak masyarakat  namun peraturan pelaksananya banyak yang menyimpang darinya. UUPA  adalah produk Orde Lama yang bersifat populis namun banyak peraturan pelaksanaannya sebagai hasil produksi Orde Baru bersifat kapitalis sesuai dengan pembangunan pada waktu itu. Sengketa yang terjadi karena orientasi pembangunan Orde Baru yang lebih mendahulukan pertumbuhan industri dan proyek pemerintah daripada kepentingan rakyat banyak. Peraturan agraria yang ada waktu itu adalah subsistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga bercorak ke arah lebih mendukung pemerintah.
3.      Mereka yang berpendapat bahwa sengketa agraria akan menciptakan high-cost economic  dan merugikan pasar bebas karena itu harus dikurangi seminimal mungkin. Reformasi agraria perlu dilakukan untuk kenyamanan bisnis. Dengan land-efficient market  tanah harus menguntungkan karena itu diperlukan kepastian hukum atas tanah dengan pendaftaran tanah.  Dan bisnis lancar tanpa hambatan pertanahan.
4.      Mereka yang mengkritisi UUPA. Di samping dalam ketiga hal lainnya UUPA juga pemberi saham terbesar dalam sengketa yang terjadi. UUPA adalah master-piece pada jamannya namun sudah tidak sesuai lagi dengan masa sekarang dan perlu diganti oleh Undang Undang baru. Revisi UUPA harus merupakan implementasi hak asasi manusia sebagaimana semboyan the right to development dan the right of self determination.
Dikaitkan dengan realita, seiring dengan berjalannya waktu, paling tidak terdapat tiga kelompok masyarakat yang mengharapkan bahwa UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok yang menjadi sandaran politik hukum agraria:
1.  Tetap dipertahankan sebagaimana adanya;
2.  Dicabut, atau diganti dengan yang baru, atau;
3.  Disempurnakan.
Dilihat dari substansinya sebenarnya UUPA sendiri sesuai dengan cita keadilan bangsa Indonesia yang tidak menghendaki adanya exploitation de l’homme par l’homme dan menghindarkan unsur-unsur pemerasan seperti yang tercantum dalam pasal 10 ayat 1. 
Pembahasan

Di Indonesia banyak kasus pendesakan hak-hak keagrariaan adat terutama terjadi karena kepentingan ekonomi. Lebih-lebih dengan otonomi daerah yang lebih banyak memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah setempat untuk mengelola sumber daya keagrariaannya. Di Sumatera Selatan banyak terjadi pendesakan hak-hak rakyat terutama untuk perkebunan yang banyak dilakukan oleh kelompok anak Soeharto(Tutut) dan kroninya Bob Hasan. Tercatat banyak masalah pertanahan dengan PT Musi Hutan Persada, salah satunya yang masih belum terselesaikan adalah kasus dengan eks Marga Benakat Sumatera Selatan. Bagaimana sebenarnya posisi keberadaan hak-hak keagraiaan adat ini dalam politik hukum agraria di masyarakat Indonesia? Baiklah kita telusuri bagaimana posisi keberadaannya tanah ulayat eks marga Benakat sejak dulu hingga sekarang.
Dengan diadakannya perjanjian berupa traktat antara pemerintah Hindia Belanda dengan kesultanan Palembang pada 1822 mulailah Belanda berdaulat sepenuhnya di Sumatera Selatan. Sebelumnya Belanda menempatkan seorang Komisaris Pemerintahan yang belum melaksanakan pemerintahan sendiri secara langsung. Pemerintahan aktif dilaksanakan oleh pemerintah Kesultanan yang melaksanakan keinginan dan perintah pemerintah Belanda. Pemerintahan langsung masih belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Agar pemerintahan  efektif, Belanda menunjuk seorang Asisten Residen. Namun kepentingan dagang pemerintah Hindia Belanda belum terjamin ekonomis dan dari segi perdagangan, karena itu pemerintah Kesultanan Palembang dihapus pada 1851, selanjutnya pemerintah Hindia Belanda melaksanakan pemerintahan langsung terhadap wilayah yang menjadi Sumatera Selatan sekarang.  Wilayah lingkaran adat Sumatera Selatan terdiri dari, Palembang, Bengkulu (Rejang Lebong Belalau) dan daerah selatan Danau Ranau. Untuk lebih mengefektifkan lagi pemerintahan langsungnya, maka sejak 1848 pemerintah Hindia Belanda menempatkan pejabat pemerintahannya di pedalaman Sumatera Selatan.[19]
Pemerintahan langsung kesultanan Palembang telah sejak dahulu menggunakan lembaga pemerintahan asli rakyat yaitu Marga dengan beberapa penyesuaian. Di Sumatera Selatan hal ini akan menyebabkan dualisme kekuasaan, yaitu pemerintahan marga dan dusun. Hal ini dilanjutkan oleh pemerintahan langsung Belanda dengan penyeragaman bentuk dan kekuasaan lembaga tersebut. Hal ini diteruskan juga oleh pemerintah Balatentara Jepang. Dalam revolusi fisik sesudah kita merdeka pada 1945 hingga penyerahan kedaulatan pada 1949 pemerintahan Marga berjasa dalam mengobarkan semangat perjuangan menentang penjajahan.
Pada 1904, sewaktu pemerintah Belanda masuk ke Benakat, mereka meminta tanah hutan untuk memperluas wilayah hutan cadangan Kring Semangus. Saat itulah tanah hutan Benakat diukur dan dipatok batas-batasnya pada tiap ulu tulung sungai. Sungai-sungai kecil yang airnya mengalir ke sungai Benakat masuk ke dalam lingkaran tanah wilayah Benakat. Tanah hutan cadangan itu diambil mulai dari muara sungai Rambutan menuju muara sungai Mengkaras antara Durian Condong menuju ulu sungai Pangkul terus ke timur menuju suban Sundo terus ke utara menyelusuri sungai Baung kiri mudik sampai ke perbatasan sungai Keruh, ke barat sampai ke batas wilayah Ujanmas dan Penanggiran menuju ulu tulung sungai Rambutan. Pemerintah Belanda tidak mengambil hutan kanan mudik sungai Benakat Besar dari muara sungai Baung sampai sungai Mengkaras kiri mudik mematah ke kanan lurus ke timur lewat suban Sundo menuju ulu muara sungai Pangkul karena dalam areal tersebut banyak terdapat tanam tumbuh milik penduduk desa Merbau, Tegi dan Pagar Dewa. Karena pemerintah Belanda takut hutan cadangan diganggu oleh penduduk, dusun-dusun yang berada di dalam lingkungan hutan ditutup, penduduk disuruh pindah. Pada 2 Desember 1908 tanah di Rami Pasai dipotong, disingkat, agar hubungan sungai tidak berbelit-belit. Dusun-dusun di lingkungan Benakat bergabung maka terciptalah suku Benakat. Marga ini bukan pemerintah atau penguasa tetapi kelompok/kesatuan penduduk. Pada 1916 dikeluarkan Boschbeheerskring Ordonnantie Tahun 1916 Nomor 420 yang memberi sanksi hukuman denda atas perusakan  terhadap hutan cadangan  100 gulden atau kurungan 1 bulan. Dengan demikian penduduk daerah tersebut terkeluarkan dan bergabung dengan dusun lain atau membentuk dusun baru. Dengan perpindahan ini maka makin padatlah dusun Pagar Dewa dan Tegi sehingga areal pertanian makin sempit. Akibat makin sempitnya areal perladangan dan sesuai dengan sistem perladangan berpindah warga pindah lagi ke arah ilir sungai Benakat Besar. Areal tanah dusun Tegi dan Pagar Dewa yang sejak 1908 menjadi lahan penghidupan sebagian ditinggalkan tetapi tetap dipelihara dan dibiarkan menjadi rimba serta dimiliki bersama oleh seluruh warga suku Benakat dan dinamakan Hutan Larangan Rimba Sekampung, dilestarikan sebagai hutan ramuan, hutan lindung dan menjadi hak ulayat suku Benakat dan menjadi jungut (kebon benuaran)  bersama: siapa saja penduduk dusun Benakat yanag mau mengambil  buah bila panen tidak dilarang. Penetapan sebagai Hutan Larangan Rimba Sekampung ini kemudian disahkan oleh Controlleur Palembang Botenburg pada 26 April 1920. Hutan ini sampai sekarang masih jelas keberadaannya dengan batas di sebelah barat dengan hutan kawasan negara sungai Benakat Besar, di sebelah timur dengan sungai Baung dan di sebelah utara dengan dengan tanah kawasan dari Durian Condong memotong ke arah ulu sungai muara sungai Pangkul. Di dalam hutan larangan ini terdapat pula:
1.        Suban Nanak, tempat pemandian binatang liar dan binatang hutan;
2.        Suban Sundo tempat pemandian unggas/burung;
Pemeliharaan hutan kawasan negara ini begitu ketat, tidak boleh dimasuki dan diganggu dan pada 1925 dikeluarkanlah peraturan pemeliharaan hutan larangan tersebut.
Pada 1932 Boschwezen (Dinas Kehutanan) bermaksud meluruskan perbatasan antara hutan kawasan negara dengan Hutan Rimba Sekampung bagian Barat yang kemudian dimusyawarahkan dengan Raad (Dewan) Marga Benakat. Disepakati bahwa Boschwezen mengambil tanah hutan kanan mudik sungai Kembahang dan Raad Marga diberi tukaran tanah dari tebing di Ulutulung sungai Pangkul lurus menuju Talang Marap muara sungai Kepayang dalam sungai Baung yang sebelumnya berada dalam lingkungan kawasan ke timur arah suban Nanak dan sungai Baung. Persetujuan ini diatur dalam process verbal bersama antara wakil Boschwezen opzichter Mas Urma dengan dengan pasirah Benakat Saibatulham pada 25 Oktober 1932. Tanah hutan tukaran ini tersambung pada ujung utara hutan Rimba Sekampung. Sejak saat itu tanah mulai digarap oleh penduduk suku Benakat. Mereka membangun jungut yang dikepalai oleh Junto dinamai jungut Junto. Walaupun akhirnya Rimba Sekampung ditinggalkan namun tetap dipelihara bersama sebagai hutan larangan sebagai hak milik bersama yang pengelolaannya diserahkan di bawah pengawasan Dewan Marga.
Karena akan membuka industri kayu maka pada 1939 Boschwezen membebaskan tanah warga dengan ganti rugi atas tanam tumbuh kebun rakyat sepanjang 12 kilometer dengan lebar 25 meter dari seberang dusun Pagar Dewa (Lematang lama) liwat talang Peninggiran sampai di Muaralangku untuk pembuatan jalan lori pengangkut kayu dari hutan Semangus dan Kasai serta membuat kanal yang memotong dusun Pagar Dewa untuk menghanyutkan kayu dari emplasemen di arena erfpacht di seberang dusun Pagardewa. Pembuatan kanal dilaksanakan dengan persetujuan Dewan Marga. Waktu itu dibuat perjanjian pembuatan jembatan permanen di atas kanal oleh Boschwezen yang sampai sekarang belum terpenuhi. Belum sempat berproduksi, Jepang masuk dan usaha Boschwezen ditinggalkan. Saat itu rakyat Benakat hidup berkecukupan. Hampir tiap rumah tangga mempunyai tengkiang penyimpanan beras dan padi paling tidak untuk 1 tahun ke depan. Wilayah ini merupakan daerah surplus beras.
Pada kurun waktu 1970-75 perusahaan Jepang PT Swoody membuka usaha penebangan kayu dan emplasemen serta sawmill di muara sungai Ipuh (ilir sungai Bingkas) seluas 200 hektar dan membuat jalan selebar 8 meter menuju Hutan Negara Rimba Kasai dan Selisingan namun akhirnya gagal juga. Selanjutnya, dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 624 dan 625/Kpts/II/1992 berlaku 8 Januari 1992 PT Barito Pasifik Grup dengan kroninya PT Musi Hutan Persada membuka Hutan Tanaman Industri menanam kayu akasia dan sengon di Suban Jeriji dan Benakat  untuk persediaan bahan baku PT Tanjung Enim Lestari di Niru-Darmo Kasih (pabrik pulp). Usaha ini dilakukan  dalam bentuk perusahaan patungan  seluas 120,74 hektar dengan  modal dalam negeri US$ 200.000.000 dari PT Barito Pasifik Grup dan 220,4 hektar dengan modal luar negeri yaitu Jepang: US$ 45.000.000 dari OECF, US$ 47.000.000 dari Marubeni dan US$ 8.000.000 dari Nippon P Indonesia serta US$ 700.000.000 dari Morgan Glean serta hutang Bank Dunia 2,4 triyun rupiah.  Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 361/Kpts/II/1991 jo 626/Kpts/II/1992 diberikanlah Hak Pengusahaan Hutan seluas 300.000 hektar di Sumatera Selatan kepada perusahaan patungan ini untuk menanami lahan tidur, kritis, belukar, nonproduktif dan padang alang-alang untuk bahan baku pabrik pulp. Namun, dalam praktiknya bukan lahan sedemikian yang digunakan melainkan lahan subur milik penduduk yang digusur sedemikian rupa tanpa melalui musyawarah lebih dahulu dengan para pemilik. Sebagian dilakukan dengan transaksi jual beli secara paksa dengan harga murah melalui Camat sebagian dengan rasan kasak-kusuk berdasarkan Surat Keterangan Tanah asli tapi palsu dan tak sedikit pula yang digusur tanpa sepengetahuan pemilik, tanpa ganti rugi. Ada pula yang dilakukan dengan jual beli illegal  tanpa melalui prosedur Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah  untuk Kepentingan Umum.
Pada 1993 masuklah pemodal besar lain seperti PT Barito Pasific Group, PT Musi Hutan Persada yaitu PT Cipta Futura, PT Surya Bumi Argo Langgeng yang ikut menggusur kebun rakyat untuk berusaha dalam bidang perkebunan kelapa sawit dan karet. Akibatnya tanah pertanian di Benakat terpecah menjadi 3: di sebelah barat diambil oleh PT Musi Hutan Persada, sebelah timur oleh PT Surya Bumi Argo Langgeng dan sebelah barat laut dan selatan oleh PT Cipta Futura. PT Musi Hutan Persada menghancurkan hutan kawasan negara antara Sungai Rambutan, Kasai dan Benakat Kecil mempergunakan taktik risau-maling, membuka areal dari dalam (tengah) sehingga dilihat dari jalan seakan-akan hutan masih utuh. Banyak rakyat jatuh miskin dan mereka menjadi masyarakat termiskin di Muara Enim. Mulai terjadi perlawanan rakyat namun rakyat selalu terpukul karena tekanan aparat pemerintah oknum alat negara pemerintahan Soeharto-Habibie. Pada 17 Juni 1992 didirikan organisasi tani topeng kelompok tani Tunas Cahaya di bawah pimpinan Zainal Bahusin dan Said Resap yang berusaha membuka pinggiran hutan bagian utara Hutan Rimba Sekampung seluas 300 hektar di atas tanah yang diakui sebagai hasil tukaran dengan hutan Kembahang pada 1925 dengan areal jalan lori berdasarkan surat Camat Gunung Megang Sumardi Arab nomor 593/112/ 05/92. Jalan lori tersebut sebenarnya adalah tanah perkebunan perladangan rakyat yang telah digantirugi oleh Boschwezen. Terjadi permainan antara Sumardi Arab dan Zainal Bahusin dengan PT Musi Hutan Persada untuk membajak Hutan Larangan Rimba Sekampung. Para Kades mencoba mencegah hal tersebut dan melaporkan kepada Camat, tetapi tidak mempan. Oleh Kades Padang Bindu hal ini dilaporkan kepada Dirut PT Barito Pasifik Grup di Jakarta. Dijawab bahwa mereka tidak memerintahkan PT Musi Hutan Persada untuk membuka Hutan Larangan Rimba Sekampung dan hal ini disampaikan kepada PT Musi Hutan Persada di lapangan, namun tidak digubris. Bahkan kegiatan membajak Hutan Larangan Rimba Sekampung semakin meluas. Dengan surat yang ditandatangani oleh 716 penduduk Benakat pada 19 Mei 1993 oleh Helmi, Ketua LKMD Benakat, disampaikan permohonan keberatan kepada Bupati Muara Enim Hasan Zen, S.H. Masalah ini tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pada 12 Juni 1993 atas prakarsa Camat Sumardi Arab diadakan pertemuan antara PT Musi Hutan Persada, Camat dan Kades Padang Bindu, Subri Halim. Kades dibujuk supaya suka membuka hutan itu dengan diberi hasil fifty-fifty (Rp 170.000,- per hektar). Hal itu oleh Kades spontan ditolak sebab dia tidak berani. Hutan larangan itu adalah milik rakyat, hak ulayat penduduk suku Benakat seluruhnya. Walau begitu PT Musi Hutan Perdasa tetap dengan gerakan intervensinya menggunakan Zainal sebagai mitra kerja. Para Kepala Desa Padang Bindu, Betung, Pagar Dewa, Pagar Jati , Rami Pasai dan pemuka masyarakat dengan surat pada 16 Juni 1993 meminta kepada Zainal Bahusin, Said Resap dan Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi SP I Benakat untuk menghentikan tebas-tebang/penjualan hutan lindung eks Marga tersebut. 12 Juli 1993 Kepala Dinas Kehutanan Muara Enim mengirim laporan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan tentang dibukanya areal hutan oleh Kelompok Tani Tunas Cahaya Desa Sungai Baung di bawah pimpinan Said Resap berdasarkan restu dari Camat Gunung Megang dengan surat Nomor 593/443/05/92 17 Juni 1992. Dijelaskan bahwa pembukaan tersebut ditentang oleh 5 Kepala Desa dan pemuka masyarakat eks Marga Benakat. Karena yang dibuka adalah Hutan Rimba Sekampung yang dahulu sebelum diberlakukannya Tata Guna Hutan Kespakatan terletak di luar kawasan Hutan Register Nomor A 32 Benakat dan dikenal sebagai Cadangan Hutan Penghasil/eks Hutan Larangan Marga. Ditambahkan bahwa sesuai telaahan pada peta hutan tersebut terletak di dalam areal kerja PT Musi Hutan Persada blok tanaman nomor 29. Selain membuka hutan kelompok tersebut juga menebang kayu jenis sungkai yang diduga merupakan tanaman Proyek Inpres Reboisasi dahulu. Untuk mencegah keresahan masyarakat penebangan hutan tanpa izin yang pada hakekatnya bertentangan dengan seruan gerakan Sejuta Pohon diusulkan untuk segera diterjunkan Tim Koordinasi Pengamanan Hutan Tingkat I untuk mengatasi masalah tersebut. Pada 19 Juli 1993 para Ketua LKMD Padang Bindu, Betung, Pagar Dewa dan Rami Pasai mengirim surat kepada Bupati Muara Enim tentang pengaduan rakyat eks marga Benakat untuk mencegah pembukaan Hutan Rimba Sekampung. H.A. Koim pada 31 Juli 1993 menyampaikan pendapat kepada Bupati untuk mengambil langkah tegas terhadap kasus Hutan Rimba Sekampung berdasarkan peraturan yang berlaku. Ditanyakan apakah hutan tersebut diakui menjadi hutan negara atau masih milik rakyat dengan hapusnya otonomi marga. Pada 24 Agustus 1993 H.A. Koim mengirim surat kepada Kepala Cabang Dinas Kehutanan/KPH Muara Enim tentang biang keladi perambahan hutan termasuk Zainal Bahusin yang telah mengerahkan orang untuk membuka kembali Hutan Rimba Sekampung. Diharapkan agar yang bersangkutan segera ditindak dan apabila perlu diajukan ke Pengadilan penduduk bersedia membantu menangkapnya. Dalam pertemuan di kantor Cabang Dinas Kehutanan/ Kesatuan Pemangku Hutan (CDK/KPH) Muara Enim pada 24 Agustus 1993 Kades Padang Bindu dan H.A. Koim menginformasikan bahwa selain di Benakat perambahan hutan terjadi pula di sekitar hulu sungai Kasai dan Ipuh. Hal ini dibenarkan oleh Said Resap dalam pertemuan di KPH pada 25 Agustus 1993. Surat Kepala Dinas Kehutanan di atas  disusuli lagi pada 25 Agustus 1993 yang lebih panjang lebar mengutarakan permasalahan tersebut. Inti surat adalah bahwa surat Camat Gunung Megang diduga sebagai penyebab perambahan hutan sejak 1992 yang saat ini mencapai 300 hektar. Areal lokasi setelah ditelaah berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan terletak dalam kawasan hutan produksi tetap Benakat seluas 60% yang ditebang oleh Zainal Bahusin dan Said Resap dan seluruhnya merupakan merupakan blok tanaman HTI Nomor 29 nonregion Benakat,  40% sisanya terletak di dalam areal penganti/tukar-menukar dengan kawasan hutan di Kabupaten Musi Rawas untuk lokasi transmigrasi pada 1988 yang telah disetujui oleh Menteri Kehutanan dan seyogyanya sekarang sudah menjadi kawasan hutan. Pembabatan yang dilakukan oleh Zainal Bahusin dkk selaku pemborong tebas tebang dari PT Musi Hutan Persada dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan lahan tanaman HTI yang sudah sulit didapat. Hal ini telah ditentang oleh para Kades dan pemuka masyarakat bahkan rapat LKMD dalam putusan 17 Juli 1993 menuntut pertanggungjawaban Said Resap atas kerusakan hutan tersebut. Perbuatan tersebut melibatkan pihak aparat pemerintah, pemuka masyarakat, maupun PT Musi Hutan Persada dan pemborong tebas tebangnya. Masalah tersebut juga mengundang isu politik GPK BTI/PKI, melanggar peraturan keamanan hutan terencana, maupun kecemburuan sosial warga. Disimpulkan bahwa ditinjau dari derajat dan sifatnya kasus perambahan hutan tersebut sedemikian kompleks sehingga penanganannya harus sudah pada TKPH Tingkat I namun apabila dilimpahkan ke Daerah Tingkat I siap dilaksanakan. Laporan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim kepada Kepala Dinas Kehutanan  Propinsi Sumatra Selatan pada 26 Agustus 1993 sejalan dengan surat Bupati  Muara Enim Nomor 251/2801/V/1993 pada 19 Agustus 1993 yang baru diterima pada 25 Agustus 1993 mendesak penentuan langkah yang harus diambil karena kasus gangguan keamanan hutan di Benakat derajat dan sifatnya sudah mendesak untuk dilakukan operasi yustisi/tindakan represif.
Bersamaan denga menjawab surat Bupati Muara Enim Nomor 33/2291/I.1/1993 5 Juli 1993 dan Nomor 522/2755/I.1/93 Camat Gunung Megang pada 27 Agustus 1993 melaporkan bahwa kegiatan tebas-tebang sudah tidak ada lagi dan kelompok tani sudah dibubarkan pada 26 Juli 1993. Sesuai dengan petunjuk PT Barito Pendopo Bapak Zainal Bahusin masih melaksanakan tebas tebang di sekitar areal Hutan Rimba Sekampung dalam lokasi hutan kawasan register 32 Benakat/Semangus. Menurut PT dalam hutan tersebut masih akan dibuka lahan pencadangan HTI. Sebenarnya menurut keterangan PT dan eks pasirah lokasi hutan yang digarap oleh kelompok tani belum termasuk areal Hutan Rimba Sekampung sehingga ijin yang dahulu hanya 50 hektar oleh pihak PT diberikan 200 hektar. Berdasarkan keterangan dari Cabang Dinas Kehutanan Kabupaten  Muara Enim status Hutan Rimba Sekampung adalah hutan negara namun batas-batasnya diusulkan oleh Cabang Dinas Kehutanan  untuk ditetapkan oleh Kanwil Kehutanan.
Selanjutnya, masalah di atas oleh warga dipercayakan kepada H.A. Koim, pemuka masyarakat Benakat untuk diperjuangkan. Tanah hak ulayat dipertahankan dari penyerobotan hingga sampai ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Sementara itu gelombang amarah masyarakat makin memuncak. Secara resmi oleh masyarakat diajukan keberatan atas kegiatan tersebut kepada Bupati Muara Enim pada 31 Juli 1993, 16 Juni 1994, 27 Juni 1994, dan 15 Juli 1994. Hal ini tidak mendapat tanggapan serius. Puluhan Kepala Keluarga eks marga Benakat mengadu kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan diterima oleh Karo Pamong Praja pada 17 Juli 1994. Mereka menuding PT MHP telah merusak Hutan Rimba Sekampung. Mereka meminta Pemda Sumsel menghentikan penebangan untuk HTI tersebut. Pada saat yang sama pejabat PT MHP menolak tuduhan tersebut karena yang digarap adalah lokasi yang berdekatan dengan hutan tersebut. Oleh Pemerintah Kabupaten beberapa kali diturunkan tim di antaranya 21 Juni dan 21 Juli 1994 namun hasilnya tidak ada sama sekali malahan pada tenggang waktu kedatangan tim dipergunakan oleh PT Musi Hutan Persada untuk menghancurkan Hutan Larangan  di bawah perlindungan aparat. Para aparat menakut-nakuti Kades dengan berbagai macam ancaman intimidasi seperti pemecatan apabila mereka ikut aktif mempertahankan Rimba Sekampung. Terbukti dengan pemecatan Kades Betung dan Pagar Dewa.
Berhubung gelombang amarah penduduk makin hangat, lalu dibentuklah Panitia Pemulihan Hutan Rimba Sekampung (Paperis) yang diketuai oleh H.A. Koim yang melanjutkan tuntutan rakyat kepada segenap instansi terkait baik di daerah maupun di pusat. Dijelaskan bahwa akibat perbuatan tersebut merugikan rakyat, merusak lingkungan hidup dan menimbulkan erosi besar-besaran seperti yang diterangkan oleh staf PPLH Unsri, Dr.Ir. Supli Effendi, M.Sc. bahwa hutan Rimba Sekampung apabila tidak dibuka di musim hujan akan erosi 5 ton per detik dan apabila dibuka 20-40 ton per detik. Berturut-turut pada 16 Juli, 25 Juli dan 16 Agustus 1994 diajukan keberatan kepada Gubernur Sumatera Selatan. Diturunkan Tim Propinsi dengan hasil yang di luar pengetahuan masyarakat.
Pada tanggal 16 September 1994 Walhi melakukan investigasi lapangan sebagai tanggapan atas permintaan masyarakat. Hasil menunjukkan bahwa benar telah terjadi perusakan terhadap hutan tersebut padahal itu merupakan satu-satunya hutan yang tersisa di lokasi tersebut. 17 September 1994 dibentuk Komite Solidaritas untuk Marga Benakat oleh beberapa LSM di Jakarta dan Palembang serta Mapala yang mengeluarkan pernyataan sikap  kepada instansi yang terkait baik pusat maupun daerah agar menghentikan perusakan hutan tersebut. Pada waktu itu juga Pangdam Sriwijaya meminta agar temuan investigasi LBH dan Walhi Palembang dikoordinasikan dengan Dephut agar penanganannya tidak menimbulkan sikap saling mencurigai. Ketika menerima pengurus Walhi pada 20 September 1994 Menteri Kehutanan menyatakan telah memerintahkan jajarannya untuk menangani kasus penyerobotan Hutan Rimba Sekampung termasuk mempelajari dan menangani kasus sejenis di daerah lain. Di tengah sengketa ini,  pada 22-26 September 1994 atas perintah Bupati sebuah tim Kabupaten melakukan pematokan keliling batas Hutan Rimba Sekampung sebagai berikut: Patok pertama diletakkan di muara sungai Kuli menuju jembatan sungai Baung (patok kedua) menuju ke pematang perbatasan dengan Hutan Kawasan Negara (patok ketiga) menuju ke muara sungai Engkaras (patok keempat) menuju ke muara sungai Kasai (patok kelima) menuju ke muara sungai Rambutan (patok keenam) menuju ke muara sungai Peninggiran (patok ketujuh) menuju ke muara sungai Mata Rusa (patok kedelapan) menuju ke muara sungai Baung (patok kesembilan) menuju ke muara sungai Bongor (patok kesepuluh) menuju ke muara sungai Pangkul (patok kesebelas) menuju ke muara sungai Selo (patok keduabelas) menuju ke sungai  Kota Gading (patok ketigabelas) menuju ke muara sungai Muara Dua (patok keempatbelas) di sebelah ulu muara sungai Kepayang.
Pada 20 September 1994 dinyatakan bahwa kegiatan penggarapan Hutan Rimba Sekampung dihentikan untuk sementara dan tim khusus akan mematok ulang batas-batas kawasan tersebut Hal ini disampaikan oleh Kepala Kodim Muara Enim dalam pertemuan di tengah hutan Benakat dengan warga dan PT. Pertemuan ini diadakan untuk menindaklanjuti temuan Walhi dan LBH Palembang. Pada 3 Oktober 1994 oleh Pangdam II Sriwijaya diadakan pertemuan coffee-morning dengan masyarakat marga Benakat, Walhi dan LBH Palembang, instansi terkait serta PT Barito di Aula Kodam dan diungkap bahan-bahan masukan dari pihak terkait dan kemudian pada 8 Oktober 1994 tim terpadu Bakorstanasda meninjau kegiatan lapangan. Dilakukan lagi peninjauan pada 19-20 Oktober 1994 dan memerintahkan penghentian  segala kegiatan di hutan tersebut. Kemudian pada 28 Oktober 1994 berdasarkan koordinasi dengan Bakorstanasda  penggusuran hutan dihentikan. Lahan dinyatakan dalam keadaan status-quo.
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan dengan surat pada 7 Nopember 1994 menyarankan agar Hutan Rimba Sekampung tidak dikeluarkan dari areal pencadangan Hutan Tanaman Industri PT Musi Hutan Persada dan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan karena pengunaannya sesuai dengan peruntukannya, hutan terletak pada areal Hutan Tanaman Industri yang masih berhutan sebagai areal konservasi, dan hutan tersebut yang digunakan untuk peramuan pada kenyataannya memberikan peluang terjadinya penebangan liar. Menjawab surat Ketua Walhi Dirjen Pengusahaan Hutan pada 24 Nopember 1994 menyampaikan bahwa luas real Hutan Rimba Sekampung berdasarkan pernyataan Zainal Bahusin hanya seluas 1.000 hektar dan masuk ke dalam areal pencadangan HTI PT Musi Hutan Persada. Dari hasil pemeriksaan lapangan oleh aparat Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan dan II Muara Enim, dan wakil eks marga Benakat disimpulkan bahwa PT Musi Hutan Persada belum mengusahakan areal tersebut. Ditegaskan bahwa tidak dikenal lagi hutan marga; yang ada hanyalah hutan milik dan hutan negara. Dari hasil telaahan Peta Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Selatan areal hutan tersebut adalah kawasan hutan produksi tetap. Pengakuan terhadap hutan adat tidak mutlak sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Untuk mengakomodir kepentingan masyarakat hutan maka areal sengketa tidak akan dikonversi menjadi Hutan Tanaman Industri.
Selama 10-15 Juni 1995 masyarakat bergerak ke Jakarta. Mereka mendatangi Sekretariat Wakil Presiden agar dapat bertemu dengan Wakil Presiden namun tidak berhasil. Juga didatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Perwakilan Rakyat, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional serta pihak yang pernah didatangi sebelumnya untuk menagih janji bagi penyelesaian kasus. Upaya ini juga belum memberikan hasil maksimal. Masyarakat Benakat menyatakan pada 11 Juli 1995 bahwa PT Musi Hutan Persada masih terus melakukan kegiatannya.
Pada tanggal 3 Agustus 1995 tim Lembaga Bantuan Hukum Palembang bersama H.A. Koim tiba di desa Pagar Dewa menemui Ardin, contact person. Di Benakat juga telah ada tim Lembaga Swadaya Masyarakat Eka Nuda dari Jakarta yang menemui Kades Padang Bindu. Kemudian diadakan pertemuan bersama di rumah Kepala Desa. Didapat informasi bahwa LSM telah melakukan koordinasi dengan Komando Daerah Militer dan melakukan peninjauan ke desa Pelawe dan Lubuk Pauh Kecamatan Muara Kelingi Kabupaten Musi Rawas dan desa Babat di Kecamatan Perwakilan Penukal Abab Kecamatan Muara Enim. Mereka melakukan itu atas undangan PT Barito di media massa agar LSM melihat langsung. Hasil yang mereka nyatakan adakah: Apakah masyarakat puas dengan penghentian kegiatan PT Musi Hutan Persada ? Benarkah kegiatan tersebut telah dihentikan ? Bagaimana konsep penyembuhan masyarakat yang telah dilukai oleh PT Musi Hutan Persada. Ditawarkan semacam pesta adat untuk mengganti kerugian tersebut. Hasil dari pertemuan adalah:
1.         H.A. Koim menyatakan bahwa Hutan Larangan Rimba Sekampung adalah hutan milik marga (hutan adat).
2.         PT Barito menyatakan bahwa Hutan larangan termasuk dalam areal Hutan Tanaman Industri  mereka.
3.         Isi hutan adalah berbagai jenis kayu seperti merawan, meranti dan jelutung yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat sendiri. Penggunaan hutan dilakukan tanpa merusak kondisi hutan.
4.         Dulunya kawasan hutan tersebut adalah pemukiman karena itu terdapat juga makam nenek moyang di sana.Warga menuntut agar hutan dikembalikan seperti keadaan semula.
5.         Kepala Desa Padang Bindu menyatakan bahwa untuk mengganti beaya pemulihan selain mengembalikan keadaan hutan PT juga harus membuatkan sawah bagi warga.
Secara tidak sengaja tim LBH menangkap basah pencurian kayu di hutan. Masyarakat marga Benakat yang bermukim di wilayah 7 desa: Pagar Dewa, Betung, Pagar Jati, Padang Bindu, Benakat Minyak, Sungai Baung dan Rami Pasai mempertahankan hutan larangan Rimba Sekampung karena hutan tersebut perlu untuk menggantungkan hidup untuk keperluan sehari-hari. Hutan dikelola secara adat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kelestarian hutan dan hutan dipelihara sebagai kawasan konservasi mereka. PT Musi Hutan Persada menganggap bahwa areal mereka tidak termasuk dalam kawasan Hutan Larangan Rimba Sekampung, masih sejauh 3 kilometer dari hutan larangan tersebut. Kenyataan bahwa PT telah melakukan pembabatan terhadap hutan larangan seluas 1.000 hektar.
Dalam laporannya kepada Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 1995,  Menteri Kehutanan   menyatakan bahwa PT Musi Hutan Persada belum mengusahakan areal Hutan Rimba Sekampung dan belum mengkonversikannya menjadi Hutan Tanaman Industri. Sesudah melalui proses panjang bertahun-tahun diam-diam PT Musi Hutan Persada meninggalkan lahan sengketa namun tak urung sudah 30% lahan Rimba sekampung rusak dibakar menjadi abu dan kayunya yang berdiameter 60 cm diambil oleh PT tersebut. Paperis menuntut pemulihan hutan dengan penanaman kembali kayu komersil oleh PT. Masyarakat berusaha menanami kembali Hutan tersebut. Saat ini sudah mencapai 500 hektar. Di masyarakat beredar keterangan (palsu?) Bupati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Muara Enim bahwa tiada tuntutan seperti itu. Paperis menyatakan pada 2 Januari 2001 bahwa walaupun terdapat fatwa Ketua DPRD hal itu palsu tidak dapat dijadikan pegangan. Belum ada perundingan serius dengan PT Musi Hutan Persada. Pernyataan permasalahan selesai tidak jelas bentuk dan rinciannya. Walau begitu belum waktunya dibawa ke Pengadilan. (dalam wawancara pada 5 Februari 2002, Sesepuh Paperis, H. Koim, beralasan bahwa keadilan di indonesia sukar ditemukan. Pemerintah tidak tegas, sudah jelas ada kepentingan lain).
Pada 4 Januari 2001 dengan surat kepada masyarakat dan Gubernur oleh Wakil Bupati dinyatakan masalah sudah selesai. Pihak yang tidak puas dapat menempuh jalur hukum. PT Musi Hutan Persada pada 22 Mei 2001 mengirim surat kepada Bupati bahwa perkembangan permasalahan sosial di Benakat merupakan klaim tanpa dasar. Terjadi pemaksaan kehendak dan masyarakat cenderung bertindak anarkis dengan syarat yang ditentukan sendiri padahal sudah ada Program Menanam Hutan Bersama Masyarakat (PMHBM). Karena itu PT minta perhatian dan perlindungan Pemerintah. 27 September 2001 dikeluarkan surat Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim yang mengharapkan fatwa Ketua Pengadilan Negeri Muara Enim atas masalah tersebut. H.A. Koim dalam wawancara pada 5 Februari 2002 menyatakan bahwa sebenarnya masalah belum selesai; masih dicari cara penyelesaian yang baik dan tidak perlu ke Pengadilan. Di negara ini  keadilan sukar ditemukan.
Sebenarnya permasalahan sosial/lahan yang dihadapi oleh PT Musi Hutan Persada bukan hanya di Benakat saja. Laporan Perkembangan sosial/lahan di Lahan Penguasaan hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Musi Hutan Persada 2001 yang dikeluarkan oleh Divisi Legal dan Sosial Biro Binapraja Propinsi Sumatera Selatan menyatakan terdapat 30 kasus atas 48 areal yang harus dihadapi oleh PT tersebut di seluruh Muara Enim. Yang paling memuncak dan menyedot perhatian hingga tingkat pusat dan hingga kini masih belum selesai adalah yang di Benakat.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan peluang lebih besar kepada daerah untuk melakukan pembenahan hukum agraria. Pasal 6 ayat 1 dan 2 nya menyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam hal politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta kewenangan lain yaitu kebijakan pembangunan nasional secara makro, dana peimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota meliputi bidang: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Pasal 1 huruf o Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas Pemerintah Daerah memiliki peluang untuk meningkatkan daya dan hasil guna hak-hak keagrariaan adat/hak ulayat. Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat dinyatakan bahwa keberadaan tanah ulayat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pasal 6 nya menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Ketentuan-ketentuan di atas memberikan  peranan yang menentukan bagi Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Muara Enim untuk menentukan keberadaan dan memberikan pengakuan terhadap hak ulayat yang berada di daerahnya. Dengan demikian sebenarnya Pemerintah Daerah dapat secara formal memberikan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat. Namun di Kabupaten Muara Enim terdapat kendala bagi pengakuan tersebut. Aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim menyatakan keraguannya bahwa dengan dihapuskannya pemerintahan marga apakah apakah tanah marga atau tanah ulayat masih ada ?. Jika masih ada bagian manakah dari tanah marga tersebut yang dapat dikategorikan sebagai tanah ulayat ?. Kemudian jika tanah marga masih ada siapakah yang berwenang mengatur pemanfaatannya ?. Keraguan atas keberadaan tanah marga dan hak masyarakat eks tanah marga untuk mengatur dan menguasai hak ulayatnya ini dinyatakan oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim dengan mengutarakan bahwa marga dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum adat  yang bersifat teritorial sehingga dengan dihapuskannya pemerintahan marga kewenangan untuk mengatur pemanfaatan tanah yang dahulu berada di tangan Pasirah selaku Kepala Marga (Kepala Pemerintahan dan Ketua Adat) sudah tidak ada lagi. Kepala Desa sebagai gantinya sebagai aparat administratif tidak mempunyai hak kewenangan adat untuk mengatur pemanfataan tanah eks marga.  Dengan  dihapuskannya tanah marga kewenangan pasirah di bidang pertanahan pindah kepada Pemerintah Kabupaten karena Camat ataupun Kepala Desa tidak berkedudukan sebagai kepala/penguasa adat. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 11 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang kewenangan di bidang pertanahan yang diletakkan di pundak pemerintah Kabupaten dan Kota. Dengan penghapusan pemerintahan marga sedangkan lembaganya masih ada tanah-tanah eks marga adat yang mana yang masih ada secara adat dan diakui eksitensinya oleh UUPA ?. Jika sebagian tanah eks marga  (Rimba Sekampung, misalnya) diberikan pengakuan kepada siapa kewenangan pengaturan dan pemanfaatannya diberikan? Teoretis, eks marga Benakat.  Namun kesulitannya adalah marga yang dahulu telah terpecah menjadi kecamatan dan desa. Kadang desa yang dahulu satu marga menjadi berlainan kecamatan. Kenyataannya warga yang dekat dengan Rimba yang merasa berhak dengan membukanya sekarang. Bagaimana dengan pembentukan kembali persekutuan desa-desa eks marga dan  diberikan hak untuk mengurus, mengelola dan memanfaatkannya ? Apakah bentuk lembaga hukumnya ?. Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Seksi Hak atas Tanah Kantor Pertanahan Nasional Muara Enim. Dengan dihapuskannya Pemerintahan Marga kekuatan hukum adat makin menipis, serba tidak jelas. Dipersoalkan apakah Kepala Desa sekarang ini adalah juga Kepala Adat. Dulu Pasirah adalah Kepala Pemerintahan dan juga Kepala Adat namun dengan penghapusannya dan penyerahannya kepada Kepala Desa sebagai Kepala Adat tidak jelas. Penafsirannya adalah bahwa hak Kepala Adat hapus tanpa disertai dengan penyerahannya kepada Kepala Desa. Dengan demikian tanah marga adalah tanah negara yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati. Staf Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim juga berpendapat bahwa dengan dihapuskannya pemerintahan marga maka hak atas tanah marga termasuk Hutan Rimba Sekampung menjadi urusan pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan yang bertugas untuk menyelamatkan, mengamankan, mengelola dan memanfaatkan tanah hutan tersebut.  Hutan marga ditunjuk menjadi kawasan hutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 38/Kpts-II/96, 28 Januari 1986 hutan tersebut ditetapkan menjadi cadangan HTI PT Musi Hutan Persada. Dan ini sebenarnya tidak termasuk Hutan Rimba Sekampung. Dengan tuntutan masyarakat dan LSM hutan itu menjadi kawasan bermasalah yang kemudian ditinggalkan oleh PT tersebut. Atas kesepakatan Pemerintah Kabupaten tanah akan direhabilitasi dan belum dilakukan. Kondisi vegetasi tertutup kembali menjadi hutan sekunder. Tanah dinyatakan dalam keadaan status quo. Oleh Wakil Bupati dengan surat kepada Gubernur pada 4 Januari. 2001 dinyatakan bahwa masalah telah selesai apabila para fihak tidak puas dapat ditempuh jalur hukum.
Kepala Seksi Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatra Selatan menyatakan bahwa dengan terjadinya euforia reformasi terdapat pihak yang memanfaatkan dengan mengklaim tanah-tanah yang telah dimanfaatkan oleh pengusaha di bidang kehutanan. Terkadang cara yang mereka gunakan berbau kriminal. Sebenarnya ini bukan tuntutan murni dari masyarakat namun diblow-up oleh banyak pihak yang mempunyai kepentingan atas hal tersebut dan kepentingan tersebut lebih bernuansa politis. Dengan hilangnya lembaga adat seperti marga maka diperlukan pendekatan kasus. Terjadi permasalahan dengan masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat: Siapa ? Bagaimana kriterianya ? Dengan hilangnya pasirah karena penghapusan marga maka dengan sendirinya tanah yang dahulu di bawah kekuasaan marga menjadi tanah negara sedangkan tata batas kawasan menjadi kabur. Di atas tanah tersebut mungkin terdapat hak milik adat yang dapat dimiliki secara perseorangan. Setelah  tanah tersebut oleh pemerintah diberikan kepada investor mulailah timbul klaim atas tanah tersebut tanpa dapat dibuktikan adanya hak tersebut. Dalam masalah ini pemerintah bertindak tidak adil sebagai mediator dan dan hanya melihat  dokumen terakhir yang berupa tata guna tanah/lahan.
H.A. Koim, Tetua Adat eks Marga Benakat, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara tanah marga dan tanah ulayat. Tidak semua tanah yang yang berada di eks marga dapat dikatakan sebagai tanah marga. Di Benakat terdapat bermacam tanah: tanah marga, tanah ulayat, tanah perorangan, dan tanah perladangan rakyat. Tanah marga adalah keseluruhan tanah yang dahulu dikuasai oleh marga, baik yang masih dikuasai secara bersama untuk didapat manfaatnya ataupun yang sudah berada di tangan perseorangan, maupun tanah cadangan yang disediakan untuk masyarakat yang akan membuka hutan  bagi kegiatan pertanian, peternakan  dan lain-lain. Tanah ulayat adalah yang tidak boleh dikuasai secara perseorangan, diambil manfaatnya untuk kepentingan bersama ataupun perseorangan, diurus secara terus-menerus dari nenek moyang hingga kini. Tanah perseorangan adalah tanah perorangan atau tanah milik adat, yang berasal dari tanah ulayat. Tanah perladangan rakyat adalah tanah yang dicadangkan untuk dibuka bagi beberapa kepentingan seperti kebun, padang penggembalaan, yang apabila diusahakan secara terus-menerus akan dapat menjadi tanah  perorangan menurut hukum adat.
Untuk tanah marga yang belum dibuka/digarap oleh penduduk, dengan dihapuskannya pemerintahan marga akan sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengurus dan memanfaatkannya. Namun untuk tanah milik adat/perorangan, tanah perladangan yang telah diusahakan oleh rakyat, dan tanah ulayat, seperti tanah Rimbo Sekampung atau Rimbo Larangan, Pemerintah Daerah harus memberikan pengakuan haknya. Tanah-tanah tersebut tidak termasuk lagi dalam tanah eks marga bebas yang beralih kewenangan pengaturan dan pemanfaatannya kepada Pemerintah Daerah karena di samping telah dimanfaatkan dan diurus secara turun-temurun oleh warga sejak nenek moyang tanah tersebut terutama Rimbo Sekampung dan Rimbo Larangan telah mendapat pengakuan tertulis dari  Pemerintah Hindia Belanda sebagai tanah milik marga /masyarakat Benakat.
Dengan dikeluarkannya Undang Undang Pemerintah Desa sebenarnya struktur Pemerintahan Adat menjadi kacau. Pendapat Direktur Walhi Sumatera Selatan ini diterangkannya dengan melihat bahwa Undang Undang ini yang bernafaskan semangat paradigma pembangunan tidak melihat masyarakat sehingga posisi dan atau masyarakat hukum adat menjadi tidak jelas. Lebih-lebih di era globalisasi ini di mana pemerintah sangat memerlukan bantuan modal dari masyarakat domestik maupun asing pemerintah cenderung memihak ke perusahaan. Tiada referensi bahwa perusahaan mengembalikan apa yang diklaim oleh masyarakat adat. Lebih-lebih untuk mengejar PAD pemerintah lebih mengeksploitasi sumber alam dan sekaligus masyarakat adat. Direktur LBH Palembang menyatakan bahwa sistem pemerintahan regim yang lalu telah memberikan represi hukum secara formal kepada masyarakat. Dalam hal hak-hak keagrariaan adat telah membatasi ruang gerak persekutuan hukum adat. Dengan pembuktian formal atas sebidang tanah yang berupa sertipikat hak atas tanah telah menisbikan hak-hak keagrariaan adat tersebut. Demikianlah persepsi masyarakat dan penguasa tentang hak-hak keagarariaan adat. Untuk lebih memperjelas bagaimana sikap Pemerintah Daerah (politik hukum agraria) terhadap hak-hak keagariaan adat di era globalisasai dan otonomi daerah ini.
Muara Enim sebagai daerah potensial yang mempunyai banyak kekayaan alam dan banyak dilirik investor potensial mengundang konflik dalam pengadaan tanahnya. Dalam rangka pembangunan  pabrik pulp oleh PT Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper seluas 1.600 hektar di desa Muara Niru telah dibebaskan tanah dari 16 desa. Yang terkena langsung adalah desa: Banu Ayu, Muara Niru, Tebat Agung, Gerinam, Kuripan dan Dalam. Pabrik yang berkapasitas awal 500.000 ton per tahun memerlukan bahan baku 2.225.000 meter kubik per tahun. Dengan tambahan kapasitas menjadi 1.000.000 ton per tahun diperlukan dua kali lipat bahan baku. Dalam proses pengadaan tanah itu terjadi konflik yang berkepanjangan dan terjadi ekses seperti: pembakaran bahan baku (kayu Akasia Magnium) yang siap diolah, perusakan pabrik dan penganiayaan beberapa karyawan.
Proses pengadaan tanah dimulai dengan pengajuan permohonan izin lokasi oleh PT  kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan pada 22 April 1991 dengan surat Nomor 199/PT TEL/IV/1991. Menindaklanjuti permohonan tersebut telah diadakan peninjauan rencana lokasi pabrik oleh Tim Lahan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan dan Tingkat II Muara Enim dengan hasil: terjadi tumpang tindih dengan areal PTP 1.100 hektar, terdapat pemukiman 2.400 hektar dan tersedia areal 1.500 hektar. Kemudian General Manager PT TEL memohon rekomendasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Muara Enim dengan surat Nomor 003/TEL/GM/!994, 28 April 1994 untuk mendirikan pabrik pulp & paper. Hal ini disetujui oleh Bupati dengan surat Nomor 130/2083/1.1/1994, 6 Juli 1994. Diminta kepada PT untuk segera mendapatkan ijin lokasi dari Kantor Pertanahan Kabupaten Muara Enim. Dengan surat Nomor 460/3012/26, 17 April 1995 Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Selatan memberikan petunjuk kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Muara Enim mengenai proses dan persyaratan ijin lokasi untuk kawasan industri atas nama Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Pada 28 Oktober 1994 dengan Surat Keputusan Nomor 593.82/05884/1 Gubernur Sumatera Selatan memberikan ijin kepada PT Musi Hutan Persada sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan HTI dan masih satu grup dengan PT TEL (Barito Pacific Group) untuk memanfaatkan lahan seluas 1.250 hektar yang tersedia bagi pembangunan pabrik pulp & paper. Mulailah PT Musi Hutan Persada membebaskan lahan untuk keperluan PT TEL tersebut  di antaranya dengan membuka areal Hutan Rimba Sekampung yang bermasalah seperti telah dibahas di atas. Ternyata ijin diberikan kepada PT Musi Hutan Persada  sedang yang meminta adalah PT Tanjung Enim Lestari  sedang areal yang diberikan  diperuntukkan bagi hutan tanaman industri, perkebunan  karet, kelapa sawit dan sawah; bukan untuk kawasan industri. Menyadari hal tersebut Bupati Muara Enim dengan surat Nomor 593/1856/1/1996 pada 29 Juli 1996 meminta agar pimpinan PT TEL  memperhatikan hal sebagai berikut:
1.         Segera menghubungi kembali unit kerja terkait di Kantor Gubernur Propinsi Sumatera Selatan  guna penyelesaian  nama perusahaan yang mengelola pabrik pulp & paper yang tertulis atas nama PT Musi Hutan Persada. Seharusnya PT Tanjung Enim Lestari segera membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan memperoleh persetujuan dari berbagai pihak terkait;
2.         Agar berpedoman pada ketentuan yang berlaku dalam penggarapan lahan dan pembangunan pabrik.
Kemudian PT TEL mengajukan rekomendasi untuk wilayah Kecamatan Rambang Dangku seluas 1.250 hektar dengan surat Nomor 003/TEL/GM/1994 pada 28 April 1994. Menindaklanjuti permohonan tersebut dengan surat Nomor 130/1/1/1994 pada 10 Mei 1994 Bupati memerintahkan dilakukannya peninjauan lapangan terhadap areal lokasi yang direkomendasikan. Hasilnya adalah bahwa areal yang direkomendasikan meliputi Kecamatan Rambang Dangku yang terdiri dari desa: Tebat Agung, Banu Ayu, Gerinam, Niru, Menang dan Kasih Dewa. serta Kecamatan Gunung Megang  yaitu desa Dalam. Berdasarkan hasil peninjauan lapangan dilakukan inventarisasi para pemilik tanah/kebun tersebut oleh para Camat wilayah tersebut bersama Kepala Desa yang terkena proyek. dengan surat Bupati Nomor 130/1584/1.1/1994, 20 Mei 1994. Setelah itu dilakukan pembebasan tanah berdasarkan:
1.         Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 593.82/05884/1, 28 Oktober 1994 perihal Ijin Lokasi;
2.         Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 593.82/05885/1, 28 Oktober 1994 perihal rencana Kawasan Industri Kabupaten Muara Enim ;
3.         Surat Keputusan Bupati Muara Enim Nomor 838/BPN/KPTS/HUK/1994 28, November 1994 tentang Penetapan lokasi tanah seluas lebih kurang 5.000 hektar untuk kepentingan umum milik Pemerintah yang terletak di desa Dalam, Kecamatan Gunung Megang dan desa Banu Ayu, Tebat Agung, Gerinam, Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim;
4.         Surat Bupati Muara Enim Nomor 130/0249/1.1/1995, 25 Januari 1995 perihal penugasan Satuan Tugas (Satgas) guna pengadaan tanah untuk pembangunan kawasan industri  untuk keperluan Pemerintah Daerah;
5.         Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 909/Sk/IV/1986, 30 Oktober 1986 tentang tarif ganti rugi tanam tumbuh; dan
6.         Surat Keputusan Bupati Muara Enim Nomor 244/BPN/KPTS/HUKU/1994, 19 April 1994 tentang harga dasar tanah.
Berdasarkan ketentuan di atas dilakukan pembebasan lahan pada lokasi yang direncanakan untuk lokasi pabrik  berdasarkan kebijakan pembebasan lahan untuk kawasan industri pada areal yang terkena. Bupati menjadi penanggung jawab proyek. Beaya operasional proyek 700 juta rupiah ditanggung oleh PT.  Dalam penetapan lokasi ternyata tumpang tindih dengan perkebunan karet rakyat dan berada di sebelah hulu pemukiman penduduk. Kegiatan diawali dengan penyuluhan tentang rencana pembangunan kawasan industri yang dilakukan aparat Pemerintah Daerah pada 30 Januari 1995 di desa Banu Ayu dan 31 Januari 1995 di desa Dalam Kecamatan Gunung Megang. Hasilnya adalah sebagian  masyarakat membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan melepaskan tanah miliknya berikut segala yang ada di atasnya untuk keperluan Pemerintah Daerah guna membangun kawasan industri. Di desa Kuripan diedarkan blanko kosong  untuk ditandatangani yang nantinya berisi pelepasan hak. Beberapa orang pemilik tanah bersedia menerima ganti rugi berdasarkan tarif  yang ditentukan oleh Gubernur dan harga  yang ditentukan oleh Bupati. Pada 10 Agustus 1995 mereka yang telah bersedia dapat mengambil uang yang telah disediakan. Pemberian dilakukan langsung kepada pemilik melalui Simpedes pada BRI Cabang Prabumulih atas nama yang bersangkutan dengan ketentuan:
1.         Mereka yang akan segera menggunakan uangnya dapat langsung mengambil dari Simpedes di Kantor Cabang BRI;
2.         Yang belum akan menggunakan uangnya  dapat terus menyimpannya dengan Simpedes di BRI.
Hingga akhir 1997 dari 1.250 hektar lahan yang ditargetkan telah berhasil dibebaskan 1.171,903 hektar. Untuk sisanya dilakukan upaya pendekatan. Para pihak yang belum bersedia menerima tanahnya akan di ‘enclave’ di mana penentuan ganti ruginya atau nilai jual/pelepasan hak per hektar ditentukan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dalam praktek terjadi intimidasi dengan menuduh sebagai PKI dan memaksa melepas tanah dengan ganti rugi 300 rupiah per meter persegi. Keadaan semakin diperburuk dengan hampir tiada dapat dihadirkannya alat bukti formal yang berupa sertipikat hak atas tanah karena hampir semuanya adalah tanah-tanah adat yang belum pernah diurus sertipikatnya. Dalam penerimaan pegawai di PT putra daerah yang bersangkutan yang melamar tidak satupun dipanggil. Selain itu terdapat beberapa pungutan liar yaitu: beaya SKT 50.000 per hektar padahal telah dibayar kepada Kepala Desa, 2,5% dari gantirugi untuk Kecamatan, 1,5% untuk Desa, PBB selama 3 tahun ke muka. Di desa Dalam aparat melakukan patroli dan razia KTP.Dalam pelaksanaannya harga yang ditawarkan Panitia/Satgas pengadaan tanah tidak sesuai dengan harga pasar. Ternyata penetapan Bupati mengacu pada harga 1986, yaitu 3-5 juta rupiah per hektar, bahkan ada yang hanya 1 juta rupiah per hektar. Apabila diperhitungkan dengan penghasilan dari menyadap karet sebesar 70.000 rupiah  per hektar per minggu itu hanya akan setara dengan penghasilan petani selama 1 tahun. Padahal kebun karet itu dapat dinikmati hasilnya selama 20 tahun. Demikian perhitungan yang dilakukan oleh LBH Palembang. Apabila penetapan ini tidak disetujui Satgas sering menetapkan bahwa musyawarah dianggap selesai dengan ganti rugi sepihak tadi.
Hingga awal 1999 pelaksanaan pembayaran ganti rugi belum selesai. Masyarakat didampingi LBH Palembang menuntut tambahan ganti rugi yang lebih layak  untuk tanah yang dibebaskan. Masyarakat menuntut tambahan Rp 2.500.000 per hektar sedang PT TEL hanya bersedia memberi Rp 500.000 per hektar. Dilakukan musyawarah antara PT TEL dengan wakil masyarakat  pada 10 Juni 1999 yang dipandu oleh Asisten Ketataprajaan Setwilda Sumatera Selatan dan dihadiri oleh tim Satgas dan tim Pemda Sumsel. Disepakati bahwa PT TEL memberi tambahan  sebesar 1.500.000 rupiah per hektar. Oleh karena itu dikeluarkan SK Gubernur Nomor 367/SK/IV/1999 tentang kesepakatan nilai imbalan/kompensasi penyelesaian masalah tuntutan masyarakat desa Banu Ayu, Kuripan, Muara Niru, dan desa Tebat Agung kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim dengan tambahan 1.500.000 rupiah per hektar.Ternyata pembebasan dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yaitu Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Menurut Keppres pengadaan tanah harus dilakukan untuk kepentingan pemerintah, dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah, dan tidak mencari keuntungan padahal PT TEL adalah perusahaan swasta yang tidak melakukan kepentingan dan dimiliki pemerintah, serta mencari keuntungan. Pembentukan Satgas pembebasan tanah untuk rencana kawasan industri dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan swasta. Sedangkan Bupati menjadi penanggung jawab proyek. Hal ini juga menyalah gunakan kekuasaan. Karena seharusnya  tidak dilakukan oleh pemerintah secara langsung dan dilakukan untuk kepentingan pemerintah sendiri.
Menurut Surat Edaran Kepala BPN Nomor 580.2/5568/D II/1990 tentang Tim Pengawas dan Pengendali (Wasdal) Pembebasan tanah untuk keperluan swasta. Tim itu yang terdiri dari :
1.         Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua;
2.         Kepala Seksi Hak atas Tanah Kantor Pertanahan sebagai  Sekretaris; serta
3.         Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Wilayah Daerah;
4.         Kepala Dinas Pekerjaan Umum/Kepala Dinas Tata Kota/Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan/Kepala Dinas Perkebunan,  dan
5.         Kepala Kecamatan setempat.
Semuanya sebagai Anggota Tim bertugas untuk  melaksanakan tugas pengawasan dan pengendalian pengadaan tanah untuk keperluan swasta. Tugas tim ini adalah:
1.         Memberikan penyuluhan  kepada kedua belah pihak tentang bidang pertanahan;
2.         Membantu kelancaran pelaksanaan pembebasan tanah dengan memperhatikan kepentingan pihak yang terkait;
3.         Memberikan petunjuk kepada para pihak dalam rangka menciptakan suasana musyawarah untuk mencapai kesepakatan;
4.          Meneliti persyaratan yang diperlukan;
5.         Mencegah ikut campurnya pihak ketiga yang dapat merugikan para pihak, terutama pemilik tanah;
6.         Mencegah pembebasan tanpa ijin lokasi;
7.         Menyaksikan pembayaran atau pemberian ganti rugi antara pemilik yang dengan perusahaan;
8.         Menyampaikan laporan bulanan kepada Walikota/Bupati tentang pelaksanaan tugas.
Ditegaskan bahwa pembebasan tanah tersebut adalah perbuatan hukum keperdataan dan pemerintah hanya melakukan pengawasan/pengendalian. Berdasarkan pasal 2 ayat 2 dan ayat 3 Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 21 tahun 1994 tentang Tata Cata Perolehan Tanah bagi Kepentingan Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal dinyatakan bahwa perolehan tanah dilaksanakan langsung antara perusahaan dengan pemilik hak atas tanah berdasarkan kesepakatan dan pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perolehan tanah tersebut. Kenyataannya pemerintah bertindak langsung mengadakan tanah dengan alasan bahwa hal itu dilaksanakan dalam rangka pembangunan kawasan industri Muara Enim.Ternyata di sini kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim dalam globalisasi sangat besar dalam arti siap membuka diri seluas-luasnya untuk penanaman  modal walaupun harus mengorbankan diri (rakyat) sendiri. Hal ini dapat dilihat dari:
a.  Peranan besar Pemerintah Daerah bercampurtangan dalam pengadaan tanah bagi penanaman modal sehingga terjadi penyalah gunaan kekuasaan.
b.  Penggunaaan Keputusan Presiden Nomor  55 Tahun 1993 sebagai dasar pengadaan tanah untuk kepentingan swasta padahal hal itu khusus hanya untuk kepentingan umum/pemerintah dengan alasan areal itu termasuk dalam kawasan industri.
c.  Pembentukan Satgas untuk kepentingan swasta yang langsung melaksanakan pengadaan tanah padahal mereka hanya bertugas sebagai pengawas dan pengendali.
d.  Pengalihan hak atas tanah dari masyarakat kepada Pemda yang dialihkan lagi kepada PT TEL. Suatu penyelundupan hukum dalam proses pengadaan tanah dengan dalih  untuk kepentingan umum. Kenyataan yang sangat perih di atas meneguhkan pernyataan Direktur Walhi Palembang bahwa sesungguhnya dalam rangka pembangunan wilayah  dan pemasukan dana Pemerintah lebih mendahulukan kepentingan pengusaha dibandingkan dengan masyarakatnya sendiri.
Demikianlah telah dibahas bagaimana politik hukum agraria dan penerapannya dalam kasus di Muara Enim, Sumatera Selatan. Hal di atas menunjukkan perbedaan persepsi antara penguasa dan rakyat sebagai akibat belum idealnya politik hukum agraria kita. Untuk mengetahui bagaimana selayaknya pola politik hukum agraria ideal ini baiklah kita bicarakan di bawah ini.
Politik Hukum Agraria Ideal Indonesia Ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa politik hukum agraria Indonesia ini ditujukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka Politik Hukum Agraria sebagai arah dan petunjuk pelaksanaan hukum agraria Indonesia selayaknya mengacu pada tatanan  hukum  responsif yang dikenalkan oleh Nonet dan Selznick.[20] Tatanan hukum responsif yang berfungsi sebagai fasilitator tanggapan terhadap kepentingan dan aspirasi sosial. Dengan demikian tatanan hukum yang sedemikian ini tentu harus fungsional dalam arti melakukan fungsinya dalam tatanan hukum agraria; pragmatis yang harus berpandangan jauh ke depan, mempunyai tujuan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang berdasarkan Panca Sila; dan juga harus berwawasan nasional dalam prinsip bineka tunggal ika yaitu satu hukum agraria nasional dalam keragaman hukum adat yang unik dari satu tempat ke tempat lain di Indonesia.
Pemikiran yang berdasar tatanan  hukum sedemikian harus bertujuan atau berorientasi pada kebijakan dengan keadilan yang berdasarkan prosedur hukum dan bersifat substantif mengutamakan isi dari kebijakan itu sendiri. Ditegaskan oleh Susanto[21] dengan mengacu kepada cita negara hukum Indonesia maka politik hukum agraria Indonesia ini harus mewujudkan fungsi primer hukum yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu: memberikan perlindungan kepada masyarakat baik dari pemerintahan, sesama warga maupun ancaman dari pihak luar; bersikap adil dengan menjaga dan melindungi nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat; dan melangsungkan pembangunan sebagai sarana penentuan arah, tujuan dan pelaksanaan, serta pengendaliannya.  Secara bijaksana Notonagoro[22] menjelaskan bahwa politik hukum agraria memberikan arah dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bertindak dalam lapangan keagrariaan sesuai dengan politik hukum agraria tersebut.  Politik hukum agaria ini berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, keperluan dan kepentingan, serta etik hukum agraria umum yaitu lembaga agraria yang ada, pergolakan pemikiran tentang keagrariaan baik komunisma/sosialisma maupun individualisma/liberalisma pada umumnya dan etik hukum agaria khusus di Indonesia yaiu UUD 1945, Panca Sila dan pasal-pasal UUPA. Politik Hukum Agaraia Indonesia haruslah realistis, religius, dalam arti bahwa politik hukum agraria tersebut memperhatikan realita yang ada Tidak hanya: positifis berdasarkan kekuasaan semata, empiris berdasarkan pengalaman dunia, berpegang pada doktrin dan pendapat ahli; terdapat dasar etika di dalamnya; serta memperhatikan kaidah religi yang ada. Dengan demikian hendaklah politik hukum agraria tersebut realistis dengan memperhatikan keadaan yang ada saat ini baik di Indonesia maupun di dunia baik secara politis, ekonomis, sosial budaya maupun pertahanan  keamanan; etis dengan tidak lupa memegang teguh dasar kepribadian bangsa Indonesia, dan religius dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama. Mengacu pada Wiradi, yang dikutip  Fauzi[23] maka selayaknya politik hukum agraria Indonesia ini bercorak neo-populis dengan menempatkan satuan usaha pada keluarga dengan pertanggung-jawaban yang diatur oleh negara. Penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada mayoritas keluarga tani. Tenaga kerja adalah tenaga kerja keluarga. Produksi keseluruahan adalah hasil pekerjaan keluarga tani, walupun tanggung atas akumulasi modal, biasanya diatur oleh negara. lain halnya dengan strategi agraria kapitalis. Saran produksi dikuasai oleh individu bukan penggarap. Penggarapa merupakan pekerja upahan bebas, penjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh pemilik sarana produksi. Dia adalah komoditas. Tanggung jawab produksi, akumulasi modal, dan investasi, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik sarana produksi.Berkebalikan dengannya adalah strategi agraria sosialis, tanah dan sarana produksi lainnya dikuasai oleh organisasi (biasanya negara) atas nama kelompok kerja. Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh organisasi yang mengatas-namakan organisasi pekerja (negara). Tanggung jawab produksi, akumulasi modal, dan investasi terletak di tangan organisasi atas nama pekerja (negara).  Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menekankan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal ini sesuai dengan politik agaria populis yang menyatakan bahwa satuan usaha aadalah keluarga. Ayat 3 pasal ini menandaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan unrtuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai pula dengan politik agraria populis yang berkehendak bahwa akumulasi modal diatur oleh negara. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Jelas bahwa kapitalis/individualis ditentang dan juga sosialis. Bukan kekuasaan sentral pemerintah namun desentralisasi ekonomi yang diminta. Dalam hal ini dengan melibatkan partisipasi petani dalam bentuk organisasi masyarakat tani. Pasal 2 menyatakan bahwa pemerintah mengatur agar sumber-sumber keagrariaan yang dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Politik agraria populis ini sebenarnya sudah dilaksanakan pada masa Orde Lama (Soekarno) dengan program landreform namun dengan berkembangnya pemikiran pembangunan pada masa Orde Baru (Soeharto) hal ini hilang tertelan masa.[24] Notonagoro memberikan 9 (Sembilan) pegangan yang dapat dijadikan dasar dalam merumuskan dan melaksanakan politik hukum agraria Indonesia. Dengan berpedoman kepada pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan di atas diharapkan bahwa politik hukum agraria Indonesia akan dapat bersifat ideal sesuai dengan kesadaran hukum bangsa Indonesia sehingga diharapkan untuk paling tidak dapat mengurangi ketegangan yang ada dalam masalah agraria Indonesia dengan memperkecil konflik antara pengusaha, penguasa dan masyarat.

Penutup


1. Baik dulu maupun sekarang keberadaan hak-hak keagrariaan adat  dipandang sebagai komoditi bukan asset. Pada zaman kolonial, hak-hak keagrariaan adat kurang dihargai oleh pemerintah Hindia Belanda khususnya di eks marga Benakat Sumatera Selatan. Penetapan Hutan Larangan Rimba Sekampung yang dilestarikan sebagai hutan ramuan, hutan lindung dan kebun bersama seluruh warga eks marga Benakat dilakukan dalam rangka  politik dualisma  yang memberlakukan hukum adat terhadap golongan Bumi Putera. Sekarang keberadaan hak-hak keagariaan adat tidak begitu dihargai khususnya di eks marga Benakat dengan diberikannya hak untuk mengusahakan lingkungan hutan di eks marga Benakat kepada para pengusaha baik nasional maupun asing.
2.  Pola politik Hukum Agraria Indonesia terhadap Hak-hak keagrariaan adat yang seharusnya dirumuskan di masa yang akan datang adalah politik hukum agraria yang memandang hak-hak keagriaan adat sebagai  asset bukan komoditi. Politik hukum agraria ini seharusnya mewujudkan tiga fungsi primer hukum yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu: perlindungan, kedailan, dan pembangunan. Politik Hukum ini bersifat populis yang berdasarkan pada desentralisasi ekonomi seperti ,yang dinyatakan oleh pasal 33 UUD 1945. Politik Hukum agaraia selayaknya bersifat responsif tehadap kepentinagn sosial dan asdpirasi amsayarakat. Politik Hukum agraria ini selayaknya mempertimbangkan segala faktor yaitu subjek, objek, dan hukum serta kekuasaan dan berpedoman kepada 9 (Sembilan) hal yang berkaitan. Selain itu harus pula mengandung unsur  hakiki sifat-sifat yang terkandung di dalam Pancasila yaitu: Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil. Baik pemerintah Hindia Belanda maupun Orde Baru memandang hak-hak keagrariaan adat sebagai komoditi yang dapat diambil keuntungan  ekonomisnya sebanyak mungkin bukan sebagai asset yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.
3. Pandangan pemerintah Hindia Belanda berdasarkan semangat kolonialisma dalam mencari negeri-negri baru sebagai tempat pengambilan sumber ekonomi sedang pandangan pemerintah Orde Baru berdasarkan semangat pembangunan yang meletakkan hak-hak keagrariaan adat sebagai sarana utama pelaksanaan pembangunan. Di zaman Hindia Belanda pandangan kolonialisma ditentang oleh para ahli hukum adat dan para politisi dengan pandangan Etika-membalas budi mereka.

 

 

DAFTAR PUSTAKA


Anderson, Jr E.N, A Malayan Tradition Of The Commons, tanpa tahun.
Carrier, G. James. Maritim Tenure And Conservation In Papua New Guinea: Problems In  Interpretation, Tanpa Tahun.
Fauzi, Noer, Penghancuran Populisme Dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial,  dalam Dianto Bachriadi, Erfan Paryadi, dan Bonnie Setiawan (para penyunting), Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria dan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
------,Petani & Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. INSIST, KPA bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta; 1998
------,Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21. Makalah pada Seminar Hasil Studi atas tanah di Indonesia. Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1998
Harsono,  Boedi, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1, Hukum Tanah Nasional. Penerbit Jambatan, Jakarta,1995.
Slaat, Herman, Peningkatan Kemampuan Institusi BPN dalam Menghadapi Aturan Pertanahan Masyarakat Majemuk yang Dinamis di Indonesia. Makalah untuk Seminar Hasil Penelitian Studi Tanah Adat. Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atma Jaya dan BPN, Jakarta 1998.
Sudiyat, Iman Hukum Adat, Sketsa AsasPenerbit Liberty, Yogyakarta, 1981.
Mc Cay. Bonnie M. , and James M. Acheson (eds.),. The Quest of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources:. The University of Arizona Press, Tucson, 1987.
Mc Lennan, Marshall S.   . Changing Human Ecology On The Central Luzon Plain: Nueva Ecija, in Mc Coy, Alfred W., and Ed. C. de Jesus (editors), Philippine Social History, Global Trade and Local Transformations. Ateneo de Manila University Press, Quezon City, Metro Manila1, 1982.
Mertokusumo,Sudikno,Perundang-undangan Agraria Indonesia Penerbit Liberty, Yogyakarta,  1987.
Munarman, Refleksi kasus pertanahan di Sumatera Selatan, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Paryadi, dan Bonnie Setiawan (para penyunting), Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria dan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, 1997.
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. CV Pancuran Tujuh, Jakarta,1992.
Warsito Happy , Bineka Tunggal Ika dalam Hukum Agraria Indonesia: 1. Makalah untuk Mata Kuliah Teori dan ilmu Hukum. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999.
Ritzer, George ,  Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc. 1996
Romsan, Ahmad, Sertifikasi Hak-hak atas Tanah Masyarakat Sekitar PT TEL. Unit    Penelitian   FH-Unsri ,1999.
Nonett, Philippe  and Philip Selznick,. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, New York,1998.
Sampford, Charles ,  The Disorder of Law. A Critique of  Legal Theory. Basil Blackwell Ltd, Oxford, UK- Basil Blackwell Inc. New York, USA,1989
Sugangga, IGN , Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional IndonesiaPidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Perdata (Adat) pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 27 November 1999
Susanto, I.S. , Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Gurubesar Madya pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,1999.
Unger, Roberto Mangabeira , Law in Modern Society. Toward a Criticism  of Social Theory. The Free Press.Tanpa Tahun.
Zakaria, Yando ,  dkk., tt. Mensiasati Otonomi Daerah,Jakarta, KPA.


     [1].  Munarman, Refleksi Kasus Pertanahan di Sumatera Selatan, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Paryadi, dan Bonnie Setiawan (para penyunting), Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan di Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria dan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997:342-346.
[2] Ahmad Romsan, , Sertifikasi Hak-hak atas Tanah Masyarakat Sekitar PT TEL. Unit    Penelitian   FH-Unsri ,1999:56.
[3]. Imam Sudiyat, Hukum adat Sketsa Asas, Luberty, Jakarta, 1981:18.
[4]  Happy Warsito , Bineka Tunggal Ika dalam Hukum Agraria Indonesia: 1. Makalah untuk Mata Kuliah Teori dan ilmu Hukum. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999:7.
[5] Bonnie M. Mc Cay.. , and James M. Acheson (eds.),. The Quest of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources:. The University of Arizona Press, Tucson, 1987:1,6-7.
6.  Mc Lennan, Marshall S.   . Changing Human Ecology On The Central Luzon Plain: Nueva Ecija, in Mc Coy, Alfred W., and Ed. C. de Jesus (editors), Philippine Social History, Global Trade and Local Transformations. Ateneo de Manila University Press, Quezon City, Metro Manila1, 1982.

.
8.   Anderson, Jr E.N, A Malayan Tradition Of The Commons, tanpa tahun
9.   George ,  Ritzer, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc. 1996.
10. Charles ,  Sampford, The Disorder of Law. A Critique of  Legal      Theory. Basil Blackwell Ltd, Oxford, UK- Basil Blackwell Inc. New York, USA,1989
11. Philippe Nonett,  and Philip Selznick,. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, New York,1998.
12.  Unger, Roberto Mangabeira , Law in Modern Society. Toward a Criticism  of Social Theory. The Free Press.Tanpa Tahun
13. Susanto, I.S. , Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Gurubesar Madya pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,1999  
14. Sugangga, IGN , Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional IndonesiaPidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Perdata (Adat) pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 27 November 1999



15.   Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. CV Pancuran Tujuh, Jakarta,1992
16.   Gunawan Wiradi, dikutif oleh Noer Fauzi, op.cit.,1991:68
17.      Zakaria, Yando ,  dkk., tt. Mensiasati Otonomi Daerah,Jakarta, KPA
18.      Noer Fauzi, Petani & Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. INSIST, KPA bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta; 1999. Lihat juga dalam Noer Fauzi , Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional Abad 21, Makalah pada Seminar Hasil Studi Atas Tanah di Indonesia, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UNIKA Atmajaya bekerjasama dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional Jakarta, 1998:3-5.




[19].  Amrah Muslimin, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/Kampung Menjadi Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan, Penerbit Pemeribntah Propinsi Daerah Tngkat I Sumatera Selatan, 1986:1-3.
[20].  Philip Nonet dan Philip Selznick, Law ad Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper Colophon,
New York, 1978.
[21].  I S. Susanto, Kejahatan Korporasi di  Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1999.
[22]. Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, CV Pancuran Tujuh, Jakarta, 1992.
[23].  Gunawan Wiradi, Reforma Agraria  Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan, Bahan diskusi dialog pertanahan13-14 Agustus 1991, Sekretariat Bina Desa, Jakarta, 1991. Dikutif oleh Noer Fauzi, Penghancuran Populisme Kapitalisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Paryadi, dan Bonnie Setiawan (para penyunting), Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaharuan di Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria dan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
[24].  Happy Warsito, Studi Terhadap Politik Hukum Agraria di Indonesia, Simbur Cahaya, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Nomor 19 Tahun VII, Mei 2002, Penerbit Unit Penelitian Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hal 845-846.
Tags: LAW SCHOOL
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut