You Are Here: Home - BERACARA PIDANA - EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP KASUS KORUPSI DANA APBD KABUPATEN BLITAR




(Dengan Terdakwa Bupati Blitar (Non Aktif) Drs. H. Imam Muhadi, MBA, MM).
Yayasan Pengembangan Sumber Daya Indonesia (YPSDI)

Berkas yang dieksaminasi:
  1. Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Blitar: No.Reg.Perk : PDS-06 / Ft.1 / Blt / 04 / 2005 tanggal 09 Mei 2005
  2. Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Blitar: No.Reg.Perk : PDS-06 / Ft.1 / Blt / 2005 tanggal 06 Oktober 2005
  3. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blitar: Nomor : 198 / Pid.B / 2005 / PN.Blt, Tanggal 31 Oktober 2005

Majelis Eksaminasi
Adapun majelis eksaminasi tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu ; aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (“LSM”), akademisi, dan Advokat, yang diharapkan mempunyai posisi obyektif, tidak memihak dengan kasus yang akan dieksaminasi dan tidak mempunyai kepentingan, atau hubungan atau keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan kasus yang akan dieksaminasi, yaitu:
a.              Ansori, SH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya)
b.              Agus Yunianto, SH (Wakil Direktur Bidang Internal LBH Surabaya & Advokat ALBHA Law Office Surabaya)
c.              Aminuddin Fahruda (Sekretaris Jenderal SOMASI (Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi) Blitar.

Bahwa, masukan dan tanggapan dari masyarakat / publik tetap diperlukan dalam suatu bentuk forum diskusi untuk dapat secara langsung memberikan pendapat atau penilaiannya.
A.    Uraian Ringkas Perkara
Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, dalam kapasitasnya selaku Bupati Blitar pada tahun 2002 – 2004 dalam Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Blitar, telah melakukan penyimpangan-penyimpangan:
1.      Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara penyimpangan penerbitan Surat Perintah Membayar Giro (SPMG) ;
2.      Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara pemindahbukuan ke rekening pribadi ;
3.      Pengeluaran dana dari Kas Daerah yang disimpan dalam bentuk deposito dan giro dengan cara memanipulasi sisa anggaran tahun 2005.

Perbuatan Terdakwa Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, sebagaimana diatas telah memperkaya diri sendiri sebesar kurang lebih Rp. 55.810.635.125,- (lima puluh lima milyar delapan ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh lima ribu seratus dua puluh lima rupiah), dan telah memperkaya saksi Krisanto, SE, MM, Saksi Solichin Inanta, SH, Msi, Saksi Drs. Ec. M. Rusjdan, MM, dan saksi Bangun Suharsono sebesar kurang lebih Rp. 18.000.000.000,- (delapan belas milyar rupiah), sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 73.810.635.125,- (tujuh puluh tiga milyar delapan ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh lima ribu seratus dua puluh lima rupiah)
Perbuatan Terdakwa Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP


Dakwaan Subsidair
Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, dalam kapasitasnya selaku Bupati Blitar pada tahun 2002 – 2004 dalam Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Blitar, telah melakukan penyimpangan-penyimpangan :
  • Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara penyimpangan penerbitan Surat Perintah Membayar Giro (SPMG);
  • Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara pemindahbukuan ke rekening pribadi;
  • Pengeluaran dana dari Kas Daerah yang disimpan dalam bentuk deposito dan giro dengan cara memanipulasi sisa anggaran tahun 2005.

Perbuatan Terdakwa Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, sebagaimana diatas telah memperkaya diri sendiri sebesar kurang lebih Rp. 55.810.635.125,- (lima puluh lima milyar delapan ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh lima ribu seratus dua puluh lima rupiah), dan telah memperkaya saksi Krisanto, SE, MM, Saksi Solichin Inanta, SH, Msi, Saksi Drs. Ec. M. Rusjdan, MM, dan saksi Bangun Suharsono sebesar kurang lebih Rp. 18.000.000.000,- (delapan belas milyar rupiah), sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 73.810.635.125,- (tujuh puluh tiga milyar delapan ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh lima ribu seratus dua puluh lima rupiah)
Perbuatan Terdakwa Drs. Imam Muhadi, MBA, MM, merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP


Putusan Majelis Hakim
Mengingat Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, pasal-pasal lain dalam KUHP dan KUHAP serta pasal-pasal dari ketentuan lain yang bersangkutan

M E N G A D I L I

-           Menyatakan Terdakwa Drs. H. Imam Muhadi, MBA, MM, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam Dakwaan  Primair;
-           Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair;
-           Menyatakan Terdakwa Drs. H. Imam Muhadi, MBA, MM, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”;
-           Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karenanya dengan Pidana Penjara selama 15 (lima belas) Tahun dan Pidana Denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
-           Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 36.718.329.540.44,- (tiga puluh enam milyar tujuh ratus delapan belas tiga ratus dua puluh sembilan lima ratus empat puluh empat puluh empat sen). Dan jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sejak putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti tersebut, dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan penjara selama 2 (dua) tahun

B.     Catatan Hukum
1.      Majelis Hakim dalam perkara ini telah mendapatkan fakta-fakta hukum berdasarkan keterangan saksi-saksi, termasuk saksi dari tim audit BPKP Provinsi Jawa Timur, saksi ahli, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti lainnya yang mendukung terpenuhinya unsur-unsur pasal yang didakwakan secara subsidair dengan tetap memperhatikan pembelaan terdakwa maupun penasehat hukumnya dengan cara mempertimbangkan pembelaan tersebut pada saat majelis hakim menguraikan dan membuktikan unsur-unsur pasal yang telah didakwakan kepada terdakwa. Selain itu Majelis Hakim juga memperhatikan beberapa ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara dan kewenangan pengelolaan keuangan daerah, ketentuan hukum yang dapat dijadikan sebagai parameter adanya penyimpangan atau tidak dalam pengeloaan keuangan daerah tersebut. Majelis Hakim dalam perkara ini telah bersikap obyektif dan imparsial, serta menerapkan asas fair trial.

2.      Mengenai penerapan pasal dakwaan. Unsur yang membedakan antara pasal yang dijadikan dakwaan primair dan subsidair adalah berkaitan dengan unsur setiap orang. Dalam dakwaan primair, unsur setiap orang adalah orang perseorangan yang tanpa disertai dengan syarat atau kapasitas dari orang tersebut, sedangkan unsur setiap orang dalam dakwaan subsidair adalah diartikan adanya jabatan, syarat atau kapasitas yang menyertai unsur setiap orang tersebut, misalnya pegawai negeri sipil, bupati dan sebagainya. Sebagaimana fakta hukum yang didapat pada persidangan membuktikan bahwa terdapat jabatan atau kapasitas pegawai negeri atau bupati yang melekat pada diri terdakwa, maka sangat tepat pasal dakwaan subsidair yang diterapkan karena adanya unsur syarat, kapasitas atau jabatan yang menyertai “unsur setiap orang” tersebut. Hanya saja dalam penerapan dakwaan dengan model primair-subsidair dalam perkara ini ada perdebatan (yang tidak substansiil) menyangkut teknik penerapan prioritas pasal, mana yang didahulukan pada dakwaan primair, ketentuan pasal yang “unsur setiap orang” nya bersifat khusus ataukah yang bersifat umum.

Secara lebih mendalam dapat dikaji mengenai dakwaan subsidair yang menjadi fokus majelis hakim dalam menhukum Terdakwa, yaitu Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang unsurnya sebagai berikut :

a.    Setiap orang ;
Adalah orang perseorangan yang merupakan subyek hukum (recht person). Dalam ketentuannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut harus memangku suatu jabatan atau kedudukan dan mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Jika dikaitkan dengan unsur “jabatan atau kedudukan” bahwa Terdakwa Drs. H. Imam Muhadi, MBA, MM, adalah seorang pejabat negara dengan jabatan Bupati yang nota bene merupakan Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan SK MendagricNo : 131.35.598. tanggal 21 Desember 2000. sehingga unsur setiap orang dalam Pasal yang didakwaan memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang.

b.    Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi
Dalam unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi cukup difokuskan dari adanya kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku Terdakwa yang sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukannya.
Dalam fakta yang diuraikan dalam dakwaan penuntut umum telah diuraikan dengan cermat bahwa Terdakwa dengan telah melakukan penyimpangan berupa:
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara penyimpangan penerbitan Surat Perintah Membayar Giro (SPMG) ;
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara pemindahbukuan ke rekening pribadi ;
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah yang disimpan dalam bentuk deposito dan giro dengan cara memanipulasi sisa anggaran tahun 2005.
Dari penyimpangan tersebut Terdakwa telah menguntungkan dirinya sendiri sebesar Rp. 36.718.329.540.44

c.    Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
Yang dimaksud disini adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau saran tersebut 
Kewenangan merupakan serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku korupsi, untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas yang masuk dalam lingkup pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan pelaku tindak pidana korupsi. Peluang tersebut merupakan yang tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Jabatan adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi negara.
Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya, Terdakwa sebagai Bupati harus berpedoman pada :
1.      Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:
a.       Pasal 43 huruf d
b.       Pasal 44 ayat (1)
c.       Pasal 44 ayat (2)
2.      Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yaitu :
a.        Pasal 1 angka 4
b.        Pasal 2 ayat (1)
c.        Pasal 2 ayat (2)
d.        Pasal 4
3.      Keputusan Menteri Dalam Negeri (KEPMENDAGRI) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Pelaksanaan Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Pelaksanaan Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belamja Daerah, yaitu:
a.        Pasal 31 ayat (1)
b.        Pasal 32 ayat (2)
c.        Pasal 49 ayat (5)

Dalam hal pencairan SPMG kode D untuk tahun 2002, 2003, dan 2004 yang dilakukan perangkat pengelolaan keuangan daerah dilakukan tanpa melalui prosedur yang sah, yaitu tanpa dilengkapi dengan SPP dan SKO, sedangkan untuk pertanggungjawabannya disiasati dengan cara disisipkan  / ditambahkan pada pos anggaran belanja pegawai di 32 Unit Kerja dan 22 Kecamatan dilingkungan Pemerintahan Kabupaten Blitar.
Dalam pelaksanaannya Terdakwa telah mendelegasikan kewenangannya dalam pengelolaan keuangan daerah kepada Sekretaris Daerah dan perangkat pengelolaan keuangan dibawahnya (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000), namun hal tersebut bukan berarti kewenangan Terdakwa atas pengelolaan keuangan sudah tidak melekat lagi pada dirinya. Hal ini dikarenakan Terdakwa sebagai Kepala Daerah adalah sebagai pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah, sehingga ia harus bertanggung jawab atas semua pengelolaan keuangan daerah baik yang dilakukan Terdakwa sendiri maupun yang dilakukan oleh perangkat pengelolaan keuangan yang ada dibawahnya (Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 dan Pasal 31 ayat (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri (KEPMENDAGRI) Nomor 59 Tahun 2002), dan apa yang telah dilakukan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada DPRD (Pasal 44 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999.

d.     Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ;
Keuangan negara merupakan seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara baik tingkat pusat ataupun daerah (Penjelasan Umum Undang Undang 31 Tahun 1999)
Kategori merugikan keuangan negara sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara, dan pengertian “dapat” dalam unsur ini haruslah diartikan sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian negara dengan tanpa dirinci dan menyebut bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana halnya tindak pidana materiil.
Dari perbuatan terdakwa tersebut jumlah kerugian keuangan negara yang ada adalah:
-           Untuk tahun 2002 sebesar Rp. 18.825.200.000,-
-           Untuk tahun 2003 sebesar Rp. 52.140.318.225,-
-           Untuk tahun 2004 sebesar Rp. 10.813.013.000,-   +
    Total kerugian          =        Rp. 81.778.532.125,-

e.     Perbuatan tersebut dilakukan sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan ;
Yang dimaksud dengan “yang melakukan” adalah secara lengkap memenuhi semua unsur delik. Yang dimaksud dengan “yang menyuruh melakukan” artinya menggerakan orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan “turut serta melakukan” adalah bersepakat dengan orang lain untuk membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana (Prof. Dr. Schaffineister, Prof. Dr. N. Keijer, Mr. E. PH. Sitorus, yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. JE. Sahetapy, SH)
Mengenai penyertaan (delneming) dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, diperlukan 2 (dua) syarat bagi adanya turut serta melakukan tindak pidana, yaitu:
1)      Kerjasama yang disadari antara pelaku yang merupakan suatu kehendak bersama diantara mereka;
2)      Mereka harus bersama-sama melakukan kehendak tersebut.

Dari kasus diatas Terdakwa sebagai Bupati Blitar dalam hal ini telah melakukan tindakan:
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara penyimpangan penerbitan Surat Perintah Membayar Giro (SPMG) ;
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah dengan cara pemindahbukuan ke rekening pribadi ;
-           Pengeluaran dana dari Kas Daerah yang disimpan dalam bentuk deposito dan giro dengan cara memanipulasi sisa anggaran tahun 2005.

Dilakukan atas inisiatif dari Terdakwa selaku Bupati bersama-sama dengan perangkat pengelolaan keuangan yang ada dibawahnya.

f.      Dilakukan secara berlanjut.
Dalam teori tindakan berlanjut dapat berlaku jika dipenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu:
1)      harus ada penentuan kehendak dari si pelaku yang meliputi semua perbuatan tersebut ;
2)      Perbuatan itu harus sejenis;
3)      Tenggang waktu antara perbuatan itu tidak terlalu lama.

Dari rangkaian perbuatan bahwa Terdakwa bersama-sama dengan pejabat pengelolaan keuangan yang ada dibawahnya telah bersepakat untuk mengeluarkan anggaran yang tidak dianggarkan dalam APBD yang dilakukan dengan cara menerbitkan SPMG yang dilakukan tanpa prosedur yang sah, yaitu tanpa dilengkapi SPP dan SKO.
Kegiatan yang merugikan negara tersebut telah dilakukan berturut-turut dari mulai tahun 2002, 2003, hingga 2004 dengan cara menerbitkan SPMG tanpa melalui prosedur penerbitan SPP dan SKO. Selain itu juga Terdakwa melakukan pemindahan buku dari rekening Kas Daerah ke rekening pribadi sebesar Rp. 24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar)

3.      Dalam menelaah terjadinya kasus korupsi dalam hal ini putusan hakim tentunya ada baiknya ditampilkan struktur organisasi Kabupaten Blitar hal tersebut untuk memberikan gambaran umum susunan yang dapat dikonstruksikan mereka-mereka yang memenuhi pasal 55 KUHP tentang penyertaan di dalam  tindak pidana korupsi. Struktur organisasi diperlukan untuk menentukan peranan masing-masing dalam memberikan perintah-perintah terutama kepada pelaksana di bawahnya. Dalam kasus korupsi tentunya banyak orang berpendapat bahwa hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan melibatkan banyak orang atau “berjamaah” serta sekali dilakukan atau berlanjut. Hal tersebut juga diperlukan untuk menentukan apakah dalam suatu tindak pidana terdapat alasan pemaaf atau alasan pembenar yang menyebabkan penghapusan pidana. Struktur organisasi yang berhasil secara maksimal dikumpulkan adalah sebagai berikut :    

a.    Struktur Organisasi Kabupaten Blitar.
Bahwa struktur organisasi dikembangkan dari http://www.kabblitar.go/id/ karena struktur perangkat daerah Kabupaten Blitar tidak dapat diakses sehingga kemungkinan banyak terdapat kekeliruan disana-sini.
Struktur organisasi ini ditampilkan dengan maksud untuk memperjelas dan mempertegas proses pengambilan keputusan pencairan dan penggunaan dana yang diduga diselewengkan. Semoga pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemberantasan korupsi dapat melakukan perbaikan.
            Selain struktur organisasi Kabupaten Blitar yang penting juga untuk ditampilkan adalah tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). hal tersebut penting mengingat dalam hukum tata usaha negara suatu kewenangan pada dasarnya timbul secara atributif, delegatif dan mandat. Dalam kasus korupsi bisa jadi seseorang bisa lolos dari jerat korupsi karena beberapa kewenangan yang dimilikinya telah dialihkan kepada orang lain secara delegatif ataupun mandat. Sejauh ini tugas pokok dan fungsi yang dapat dikumpulkan diantaranya adalah sebagai berikut :       


b.    Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Kepala Daerah berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah.
1.       Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kepala Daerah :
1.1.       Mempunyai kewajiban menegakan seluruh peraturan perundangan (pasal 43 huruf d);
2.2.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (pasal 44 ayat 1) ;
3.3.       Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD (pasal 44 ayat 2) ;
4.4.       Wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran (pasal 44 ayat 2) ;
5.5.       Dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga Negara dan golongan masyarakat lain (pasal 48 huruf b) ;
6.6.       Dilarang menerima uang, barang, dan/atau dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya (pasal 48 huruf d).

2.      PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah :
2.1.       Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah (pasal 2 ayat 1) ;
2.2.       Kepala Daerah mempunyai kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan tersebut kepada DPRD (pasal 1 butir 4) ;
2.3.       Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan (pasal 4) ;
2.4.       Perkiraan sisa lebih perhitungan APBD tahun lalu dicatat sebagai saldo awal pada APBD tahun berikutnya, sedangkan realisasi sisa lebih perhitungan APBD tahun lalu dicatat sebagai saldo awal pada perubahan PAD (pasal 10 ayat (4)).   

3.      Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD :
3.1.       Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah (pasal 31  ayat 1);
3.2.       Bendahara umum daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah (pasal 32 ayat 2);
3.3.       Bendahara umum daerah adalah pejabat yg diberi wewenang oleh pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah untuk mengelola penerimaan & pengeluaran kas daerah serta segala bentuk kekayaan daerah lainya (pasal 1-e);
3.4.       Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih (pasal 49 ayat 5);
3.5.       Jumlah sisa perhitungan tahun berkenaan ditahun anggaran yang lallu dipindahbukukan pada kelompok pembiayaan, jenis penerimaan daerah, obyek sisa lebih anggaran tahun lalu (pasal 60) ;
3.6.       Kepala Daerah menetapkan dokumen anggaran satuan kerja (DASK) satu bulan setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan yang memuat pendapatan dan belanja setiap perangkat daerah yang dijadikan dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran (pasal 25 ayat (1), (2)) ;
3.7.       Kepala Daerah menetapkan pengeluaran kas daerah atas beban APBD terlebih dahulu diterbitkan surat keputusan otorisasi (SKO) (pasal  49 ayat (4)) ;
3.8.       Selanjutnya masing-masing unit kerja (Kepala Kantor/Kepala Dinas/Badan) selaku penanggungjawab anggaran (kuasa pengguna anggaran) mengajukan nota dinas kepada sekretaris daerah (kabupaten) untuk realisasi anggaran pada bulan-bulan tertentu ;
3.9.       Setelah nota dinas disetujui oleh Sekretariat Daerah (Kabupaten) lalu dikembalikan ke unit kerja pengusul  yang selanjutnya unit kerja membuat dan menerbitkan surat permintaan pembayaran (SPP) ;  
3.10.   Sekretariat daerah kabupaten/kota merupakan unsur staf pemerintahan kabupaten/kota dipimpin oleh seorang sekretaris daerah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota (pasal 7 ayat 1 PP Nomor 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah) ;
3.11.   Sekretariat daerah kabupaten/kota mempunyai tugas membantu bupati/walikota dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah kabupaten/kota (pasal 7 ayat 2 PP Nomor 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah)  ;
3.12.   Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekretariat daerah kabupaten/kota mempunyai fungsi :
a.       pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah kabupaten/kota ;
b.       penyelenggaraan administrasi pemerintahan ;
c.       pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana dan sarana pemerintahan daerah kabupaten/kota ;
d.       pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan tugas fungsinya.
3.13.   SPP diajukan ke bagian keuangan (subag anggaran) untuk diteliti dan diregister kemudian kasubag anggaran meneruskan ke kasubag perbendaharaan untuk diterbitkan surat perintah membayar giro (SPMG) ;
3.14.   Kasubag perbendaharaan mengajukan ke kabag keuangan untuk ditandatangani. Setelah SPMG ditandatangani dikembalikan kepada kasubag perbendaharaan guna diteruskan ke Kantor Kas Daerah. Dari kantor kas daerah dicairkan kepada bendahara unit pengelola keuangan (pengusul) anggaran, selanjutnya uang masuk ke rekening pemegang kas ;
3.15.   Prosedure penggunaan keuangan daerah juga harus melalui sub bagian verifikasi untuk memeriksa, meneliti, dan menilai realisasi APBD serta memeriksa, meneliti dan menilai pertanggungjawaban realisasi anggaran yang keluar dari kas daerah.   

4.       Keputusan Mendagri Nomor 900-099 tahun 1980 tentang Manual administrasi keuangan daerah  :

Struktur dan Tupoksi didapat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dijalankannya suatu kewenangan, beberapa dasar hukum yang dapat dikomilasi adalah sebagai berikut :
c.    Dasar Hukum Penggunaan Dana.
1.        Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kepala Daerah.
2.        PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
3.        Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD.
4.        Keputusan Mendagri Nomor 900-099 tahun 1980 tentang Manual administrasi keuangan daerah.
5.        Perda Kabupaten Blitar Nomor : 29 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Blitar.
6.        Perda Kabupaten Blitar Nomor : 30 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Blitar.
7.        Perda Kabupaten Blitar Nomor : 31 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Dinas-dinas Daerah Kabupaten Blitar.
8.        Perda Kabupaten Blitar Nomor : 32 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan-badan, Kantor-kantor dalam Lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar.

Setelah beberapa hal tersebut diatas perlu menguraikan secara lengkap, cermat dan jelas tentang jenis penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam bahasa hukum disebut sebagai unsur melawan hukum. Selain itu penting juga diuraikan fakta-fakta dan proses kejadian atau dalam bahasa penyidik dikenal dengan istilah “modus operandi”. Benang merah yang kemudian harus dirajut adalah hubungan kausalitas atau sebab-akibat (penyebabnya apa dan dampaknya apa). Kemudian adalah menuju kepada pelaku yang potensial menjadi terdakwa yaitu pihak-pihak yang diduga bertanggungjawab langsung maupun tidak langsung atau dalam bahasa hukum adalah pertanggungjawaban pidana. 

4.      Mengenai Wakil Bupati, Sekretaris Daerah dan beberapa orang lainnya yang oleh terdakwa dianggap menerima aliran dana tersebut, mengapa hanya dijadikan sebagai saksi? Hal itu tidaklah bersifat absolut, melainkan bisa saja berubah. 
Padahal jika dilihat dari jaring struktur organisasi pemerintahan Kabupaten Blitar dapat dilihat secara kasat mata “keterlibatan” Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, dan Ketua DPRD Kabupaten Blitar dalam kasus Korupsi APBD tersebut. Hal ini dipertegas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), bahwa :
-           Hery Nugroho selaku Wakil Bupati Blitar periode 2002 – 2006 berdasarkan BAP Terdakwa Krisanto (yang diperiksa sebagai saksi dalam perkara Terdakwa Imam Muhadi) disebutkan telah menerima dana pencairan APBD tahun 2002 dan tahun 2004 sebesar kurang lebih Rp. 2.075.000.000,- (dua milyar tujuh puluh lima rupiah)
-           Drs. H. Soebiantoro selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Blitar periode 1999 – 2004 berdasarkan BAP Terdakwa Krisanto telah menerima dana pencairan APBD 2002, 2003, dan 2004 yang totalnya sebesar Rp. 12.110.000.000,- (dua belas milyar seratus sepuluh juta rupiah). Dan berdasarkan BAP Samilah (yang diperiksa sebagai saksi Solichin Inata) Soebiantoro memerintahkan Samilah yang kedudukannya sebagai Kasi Pengeluaran Kas Daerah untuk mengkliringkan rekening ke rekening pribadi sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah)
-           Samirin Darwoto selaku Ketua DPRD Kabupaten Blitar Periode 1999 – 2004, dalam fakta-fakta persidangan Terdakwa Krisanto di Pengadilan Negeri Blitar, melalui kesaksian Siti Sulastri (staf bagian keuangan), Titik Wismiyati (Kasir Sekretarian Kabupaten Blitar), dan Wisnoegroho Herdi Prabowo (Kasubbag Anggaran), telah menerima dana pencairan APBD sebesar Rp. 1.125.000.000,- (satu milyar seratus dua puluh lima juta rupiah). Dan Samirin Darwoto sebagai Ketua DPRD telah menerima Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ), sehingga hal ini dapat diduga sebagai yang turut membantu terjadinya tindak pidana dengan menerima dan mengesahkan LPJ yang dikategorikan penuh dengan penyimpangan.

Kondisi yang demikian ada kalanya menyangkut strategi dan keterbatasan untuk mengungkap secara keseluruhan dalam waktu dan berkas yang bersamaan. Dalam satu berkas perkara bisa jadi seseorang diposisikan sebagai saksi untuk memperkuat pembuktian terdakwa tertentu yang tidak gampang membuktikannya. Dalam perkembangannya di persidangan, peta bisa saja berubah. Tidak menutup kemungkinan saksi bisa jadi tersangka dan terdakwa terungkap melalui proses persidangan tersebut. Kalau memang ada indikasi terlibat pidana, berkat kejelian aparat penegak hukum di persidangan akhirnya ketahuan keterlibatan seseorang dalam perkara pidana dimaksud, maka hakim bisa memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Selain itu kalau dalam persidangan tersebut tidak mampu  mengungkap keterlibatan pidana seorang saksi, maka bukan berarti selesai di situ dan saksi tersebut aman. Di luar persidangan masyarakat bisa kapan saja memberikan masukan ataupun laporan tentang keterlibatan seorang saksi tersebut dalam perbuatan pidana, tentunya disertai dengan bukti-bukti awal yang cukup dan bukan sekedar opini yang memiliki tendensi selain penegakan hukum. 




D. KESIMPULAN & REKOMENDASI
1.     Kesimpulan
Peradilan dalam perkara ini, khususnya pada tahapan persidangan dapat dirasakan sudah cukup optimal, dan majelis hakim tidak bisa membuktikan lebih dari yang didakwakan. Peradilan sudah mulai mencerminkan rasa keadilan, meskipun baru di tataran permukaan dan belum terlampau dalam. Oleh karena itu penilaian masyarakat yang masih melihat ketidaksempurnaan dan diskriminasi praktik peradilan, keadilan masih dapat digapai dengan partisipasinya keberanian mendorong, mengawasi dan mengungkap secara tuntas siapa saja yang terlibat dan bertanggungjawab dalam perkara tersebut dengan data dan fakta, bukan sekedar opini dan tendensi tertentu selain penegakan hukum. Demikian halnya aparat peradilan kita khususnya penyidik harus mampu merespon upaya dan itikad baik yang coba masyarakat ungkapkan meskipun terasa serak dan berat menyuarakannya. Dengan demikian gayung bersambut antara keinginan masyarakat dengan aparat penegak hukum dalam koridor penegakan hukum (law erforcement).
Selebihnya, ketidakmampuan meraba ada tidaknya praktik KKN (judicial corruption) dalam peradilan perkara ini, bukan berarti  nihil secara absoluth praktek KKN dalam perkara tersebut. Selagi semuanya masih manusia, kembalikan pada hati nurani kita masing-masing, akan terasa ada tidaknya praktek KKN dan kepentingan lain selain penegakan hukum dalam perkara ini.  
Putusan PN Blitar lebih progresif dalam upaya pemberantasan korupsi bila dibandingkan dengan situasi pemberantasan korupsi di Tulungagung (dalam hal ini kasus Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung, Lumajang (Direktur BPR Milik Pemkab Lumajang dan Kasus KPU) bahkan beberapa kasus korupsi di Sampang, Sumenep dan Malang. Walaupun begitu terdapat beberapa celah yang dapat dikembangkan lebih jauh untuk menjerat lebih banyak tersangka agar semakin banyak uang Negara yang dapat diselamatkan dan semakin berkurang para koruptor yang berkeliaran diluar dan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.  Akan tetapi hal tersebut masih membutuhkan kedalaman penyidikan, menyangkut  beberapa prosedur pembuktian diatas.

2.     Rekomendasi
a.    Kasus Korupsi APBD di Kabupaten Blitar yang merupakan kasus dengan jumlah yang dikorupsi terbesar di Indonesia setidaknya merupakan kasus yang dapat dikategorikan “besar”, sehingga penanganannya harus dilakukan secara komprehensif, walaupun dalam pelaksanaannya sudah cukup baik, namun sudah saatnya kasus ini menjadi bahan yuridis dan rujukan bagi para aparat penegak hukum dan pengadilan untuk “mencontoh” apa yang telah dilaksanakan oleh aparat peradilan di Blitar.
b.    dengan kualifikasi kasus yang cukup besar, seharusnya dari awal pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dapat mengambil alih penanganan kasus ini yang bekerja sama dengan pihak Kejaksaan yang ada di daerah
c.    Melihat dari perkembangan kasus seharusnya masih terdapat pihak-pihak yang dapat “dikualifikasikan” sebagai “Tersangka”, sehingga harus adanya pengembangan kasus yang jauh lebih dalam untuk melihat keterlibatan dari pihak lain yang juga menikmati hasil korupsi tersebut, hal ini untuk menghindari adanya diskriminasi dalam menentukan tersangka yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.  


Notes:
Naskah ini hanya merupakan summary. Untuk melihat draft eksmainasi secara utuh dan lengkap, silakan untuk langsung menghubungi Sekretariat MaPPI FHUI.
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut