You Are Here: Home - UNDANG-UNDANG - UNDANG-UNDANG 7 TAHUN 1983 PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 7 TAHUN 1983 (7/1983)

Tentang: PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu perpajakan sebagai salah satu
perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan
nasional;
b. bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini
berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik
dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam menunjang pembiayaan pembangunan;
c. bahwa sistem perpajakan yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
selama ini berlaku belum sepenuhnya dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek pajak dalam
peningkatan penerimaan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan
pembangunan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional:
d. bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat,
sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan nasional;
c. bahwa sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan
pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
f. bahwa oleh karena itu sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya, pajak
perseroan, pajak pendapatan, dan pajak atas bunga, dividen din royalti yang berlaku dewasa ini pada khususnya
perlu diperbaharui dan disesuaikan sehingga lebih memberikan kepastian hukum, sederhana, mudah
pelaksanaannya, serta lebih adil dan merata;
g. bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak
Penghasilan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia REFR DOCNM="83tap002">Nomor
II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
3. Undang-undang REFR DOCNM="83uu006">Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
rgs-mitra 1 of 51
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut :
1. Pasal 15 ke 4 dan ke 5 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah,
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2943);
2. Pasal 9, Pasal 12 ke 4 dan ke 5, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang- undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasa1 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.
BAB II
SUBYEK PAJAK
Pasal 2
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi atau perseorangan;
2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi,
perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
(2) Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas
bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur
di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
rgs-mitra 2 of 51
yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor,
pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli,
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya
tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak
didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
(5) Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut
keadaan sebenarnya.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan.
Pasal 3
Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat- pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha,
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan;
c. Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
BAB III
OBYEK PAJAK
Pasal 4
(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
a. gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b. honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c. laba bruto usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota,
serta karena likuidasi;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
f. bunga;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan
rgs-mitra 3 of 51
pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
h. royalti;
i. sewa dari harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
(2) Pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan- tabungan lainnya
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah
a. harta hibahan atau bantuan yang, tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang
bersangkutan;
b. warisan;
c. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang
tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;
d. penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura, dengan ketentuan,
bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut undang-undang ini dan
Wajib Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, tidak boleh
mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
e. keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi
tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat :
1) pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit
90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
2) pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3) pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
f. harta yang, diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
g. dividen yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dari
perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit
memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan
kedua badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam
bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
i. penghasilan yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;
j. penghasilan yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum;
k. pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma,
kongsi dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena
terdapat penyalahgunaan.
rgs-mitra 4 of 51
Pasal 5
(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;
b. penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai
hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang
dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang
dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(2) Apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan lain yang bukan Wajib Pajak
dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia berdasarkan Pasal 26, maka:
a. penghasilan bentuk usaha tetap itu tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya yang berkenaan dengan
penghasilan induk perusahaan atau badan lain tersebut;
b. pajak induk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan dengan pajak bentuk usaha tetap.
Pasal 6
(1) Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi :
TGPT NAME="ps6(1)a">a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu, meliputi biaya
pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti,
biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali Pajak
Penghasilan;
b. penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk
memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11;
c. iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;
d. kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
e. Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.
(2) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak- dalam negeri diberikan pengurangan berupa
penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam:
a. 5 (lima) tahun, atau
b. lebih dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu,
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.
Pasal 7
(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
rgs-mitra 5 of 51
penghasilan tidak kena pajak yang besarnya:
a. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai
penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota
keluarga lain:
d. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak
3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi
Subyek Pajak dalam negeri.
(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor
penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, begitu pula kerugian dari
tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan isteri dari pekerjaan yang telah dipotong pajak
berdasarkan Pasal 21 dan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan anak belum dewasa yang bukan dari pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan yang ada
hubungannya dengan usaha anggota keluarga lainnya, digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
a. pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha
dari koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan
pemegang saham, sekutu atau anggota;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah,
c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, kecuali jika dibayarkan
pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
d. pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi
keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan
kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
e. pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
f. harta yang dihibahkan, bantuan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf
b;
rgs-mitra 6 of 51
g. Pajak Penghasilan;
h. biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
i. sumbangan.
(2) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari
setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10).
Pasal 10
(1) Dalam melakukan penyusutan dan amortisasi terhadap harta dan penghitungan keuntungan atau kerugian
dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. maka harga perolehannya adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan, sedangkan dalam ha] pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan, kecuali:
a. dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, dasar penilaian saham atau
penyertaan lainnya yang diterima oleh pihak yang melakukan pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai dari
harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
b. dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, dasar penilaian harta bagi
yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang
mengalihkan;
c. dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang
dipergunakan oleh yang menerima penyerahan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan
penyerahan.
(2) Harta yang telah dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk menerima atau memperoleh penghasilan, harga
perolehan atau nilai perolehannya disesuaikan dengan penyusutan dan/atau amortisasi, tambahan, perbaikan
atau tambahan yang dilakukan.
(3) Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan, yang didasarkan atas pemakaian
persediaan untuk penghitungan harga pokok yang dilakukan secara rata-rata ataupun yang dilakukan dengan
mendahulukan persediaan yang didapat pertama.
Pasal 11
(1) Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih
dari satu tahun, kecuali tanah.
Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) huruf b.
(2) Penyusutan yang dapat dilakukan, dalam suatu tahun pajak adalah jumlah penyusutan dari setiap golongan
harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan penyusutan untuk setiap golongan harta ditetapkan dengan
mengalihkan dasar penyusutan golongan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dengan tarif penyusutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(3) Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai
berikut
a. Golongan 2 :
rgs-mitra 7 of 51
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat tidak lebih
dari 4 (empat) tahun;
b. Golongan 2:
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari
4 (empat) tahun dan tidak lebih dari 8 (delapan) tahun;
c. Golongan 3 :
harta yang dapat disusutkan dan yang tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 8 (delapan) tahun;
d. Golongan Bangunan:
bangunan dan harta tak gerak lainnya, termasuk tambahan, perbaikan atau perubahan yang dilakukan.
(4) Dasar penyusutan setiap golongan harta untuk suatu tahun pajak sama dengan jumlah awal pada tahun pajak
untuk golongan harta itu ditambah dengan tambahan, perbaikan atau perubahan dan dikurangkan dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5) Jumlah awal dari masing-masing Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 untuk suatu tahun pajak adalah
sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, dikurangi dengan penyusutan yang
diperkenankan pada tahun pajak sebelumnya.
(6) Jumlah awal dari Golongan Bangunan untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada
tahun pajak sebelumnya, yaitu sebesar harga atau nilai perolehan.
(7) Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian :
a. karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana atau karena penghentian sebagian besar usaha, maka suatu
jumlah sebesar harga sisa buku dikurangi dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan, dan jumlah
sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil
penjualan atau penggantian asumsinya merupakan penghasilan;
b. karena sebab biasa, yaitu lain dari yang tersebut pada huruf a, maka penerimaan netto dari harta yang
bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.
(8) Jika pengurangan yang dimaksud dalam ayat (7) dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar penyusutan di
bawah not, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu
harus ditambahkan pada penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
(9) Tarif penyusutan tiap tahun pajak untuk:
a. Golongan 1: 50% (lima puluh persen);
b. Golongan 2: 25% (dua puluh lima persen);
c. Golongan 3: 10% (sepuluh persen);
d. Golongan Bangunan: 5% (lima persen).
(10) Harga perolehan dari harta tak berwujud yang dipergunakan dalam perusahaan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, seperti penyewaan harta berwujud, diamortisasi dengan tarif berdasarkan masa manfaatnya sebagaimana
rgs-mitra 8 of 51
dimaksud dalam ayat (9) huruf a atau huruf b atau huruf c, atau dengan tingkat tarif Golongan I sebagaimana
dimaksud dalam ayat (11), atau dengan mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (12) atau ayat (13).
(11) Biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan diamortisasi dengan tingkat tarif penyusutan
Golongan 1, kecuali apabila Wajib Pajak menganggapnya sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a sesuai dengan pembukuannya.
(12) Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, dan hak pengusahaan hutan,
diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi, setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen)
setahun.
(13) Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
(14) Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan untuk menentukan jenis-jenis harta yang termasuk dalam
masing-masing golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan memperhatikan masa manfaat
dari jenis harta yang bersangkutan.
Pasal 12
(1) Tahun Pajak adalah tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim.
(2) Wajib Pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun pajak tanpa mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 13
(1) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan
bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung
besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan undang-undang ini.
(2) Pada setiap tahun pajak berakhir, Wajib Pajak menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan
perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.
Pasal 14
(1) Norma Penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau penerimaan bruto dan
untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang
dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah
kurang dari Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dapat menghitung penghasilan netto dengan
menggunakan Norma Penghitungan, asal hal itu diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Jumlah Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan, dan karenanya tidak diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan
Norma Penghitungan tanpa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
rgs-mitra 9 of 51
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan
menggunakan Norma Penghitungan, wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan
brutonya.
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan pencatatan peredaran atau
menyelenggarakan pencatatan penerimaan bruto tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakannya
sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang ini, atau tidak memperlihatkan buku dan catatan serta bukti lain
yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau
pencatatan penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan.
(7) Pajak yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 15
Menteri Keuangan dapat mengeluarkan keputusan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna
menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 16
(1) Penghasilan kena pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
pajak, dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf b, huruf
c, dan huruf d.
(2) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2), dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
(3) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh.
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak, kecuali atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, adalah sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak Tarif pajak
sampai dengan Rp 10.000.000,- 15%
(sepuluh juta rupiah) (lima belas persen)
di atas Rp 10.000.000,- (sepuluh 25%
juta rupiah) sampai dengan (dua puluh lima persen)
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)
di atas Rp 50.000.000,- (lima 35%
puluh juta rupiah) (tiga puluh lima persen)
(2) Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)tersebut akan disesuaikan dengan
suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penghasilan kena pajak dibulatkan
ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(4) Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak
rgs-mitra 10 of 51
dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak, maka pajak yang terhutang
adalah sebanyak jumlah hari dari bagian tahun pajak dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak
yang terhutang untuk satu tahun pajak yang dihasilkan karena penerapan ayat (1) dan ayat (2). Penghasilan
netto yang diperoleh selama bagian dari tahun pajak dihitung terlebih dahulu menjadi jumlah setahun.
(5) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tiap bulan yang penuh dihitung
30 (tiga puluh) hari.
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan
modal perusahaan untuk keperluan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang ini.
(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan,
dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya.
(3) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1) huruf e dan
ayat (2) Pasal ini
a. dalam hal Wajib Pajak adalah badan :
1) hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama,
baik langsung maupun tidak langsung;
2) hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada pihak
yang lain, atau hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir;
b. dalam hal Wajib Pajak adalah orang pribadi atau perseorangan :
keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau keluarga sedarah dan semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat.
(4) Dua pihak atau lebih yang masing-masing merupakan perseroan, persekutuan, atau perkumpulan lainnya
yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, pengenaan
pajaknya yang dihitung dengan menggunakan lapisan tarif terendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
hanya diterapkan satu kali saja.
Pasal 19
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan faktor penyesuaian dalam hal terjadi ketidakserasian antara
unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan karena perkembangan harga.
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terhutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri.
(2) Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
rgs-mitra 11 of 51
terhutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Masa pajak dipergunakan sebagai jangka waktu untuk menentukan besarnya Obyek Pajak dan besarnya
pajak yang terhutang, yang harus dilunasi sebagai angsuran dalam tahun berjalan.
(4) Masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah 1 (satu) bulan atau selama jangka waktu lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib
dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia;
b. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran lain,
dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada Keuangan Negara;
c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;
d. perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa
yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri
yang melakukan pekerjaan bebas.
(2) Bagian penghasilan yang dipotong pajak untuk setiap masa pajak adalah bagian penghasilan yang melebihi
seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapat pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, ia harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan
Pemerintah atau badan dana pensiun, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarganya.
(4) Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan digunakan oleh pemberi kerja, bendaharawan
Pemerintah atau badan dana pensiun, untuk menetapkan besarnya penghasilan kena pajak, kecuali apabila
Wajib Pajak yang bersangkutan memasukkan surat pernyataan baru tentang adanya perubahan.
(5) Tarif pemotongan pajak atas gaji, upah, dan honorarium adalah sama dengan tarif penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(6) Jumlah pajak yang dipotong atas bagian upah setiap masa pajak akan dimuat dalam Buku Petunjuk yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(7) Setiap orang yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
yang secara benar dan tepat telah dipotong pajaknya, jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (5) merupakan pelunasan pajak yang terhutang untuk tahun yang bersangkutan
berdasarkan undang-undang ini.
(8) Setiap orang yang mempunyai penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan setiap
orang yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja diharuskan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 3 Undangundang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pajak yang terhutang seluruhnya dikurangi dengan pajak yang telah dipotong sebagai kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28.
(9) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk tentang pemotongan pajak atas pembayaran gaji, upah,
rgs-mitra 12 of 51
honorarium, dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa lain yang diberikan.
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan usaha di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran
untuk barang dan jasa dari Belanja Negara.
(2) Dasar pemungutan dan besarnya pungutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangan, bahwa jumlah pungutan itu diperkirakan mendekati jumlah pajak yang terhutang atas penghasilan
dari kegiatan usaha yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang
terhutang oleh badan Pemerintah, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, selain bank atau
lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang
wajib membayarkan:
a. dividen dari perseroan dalam negeri;
b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c. sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia.
(2) Orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bunga dan dividen tertentu yang tidak melampaui suatu jumlah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 24
(1) Pajak yang dikenakan dalam suatu tahun pajak yang dihitung menurut ketentuan undang-undang ini
dikreditkan dengan pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang
sama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
(2) Kredit yang diperbolehkan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri itu
untuk tahun pajak yang bersangkutan, terbatas pada jumlah pajak yang dihitung atas penghasilan luar negeri,
berdasarkan undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dapat dikreditkan, penghasilan-penghasilan yang dimaksud
dalam Pasal 26 dianggap berasal dari Indonesia, dan dalam menentukan sumber penghasilan lainnya
dipergunakan prinsip yang sama.
(4) Jika pajak penghasilan luar negeri yang diminta untuk dikreditkan itu ternyata dikurangkan atau dikembalikan,
maka pajak yang terhutang menurut undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap
masa pajak, adalah sebesar pajak yang terhutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan
rgs-mitra 13 of 51
pemungutan pajak serta pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebagaimana dimaksud masing-masing
dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi dengan banyaknya masa pajak.
(2) Yang dimaksud dengan pajak yang terhutang dalam ayat (1) adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih
besar.
(3) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tertentu untuk
setiap masa pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang
terhutang oleh badan pemerintah, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun
atau oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri, dipotong pajak yang bersifat final
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan :
a. dividen dari perseroan dalam negeri;
b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c. sewa, royalti, dan penghasilan lain karena penggunaan harta;
d. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;
e. keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 27
Pengaturan lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan
Pasal 25 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN,
DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK
Pasal 28
Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun pajak menurut undang-undang ini,
dikurangi dengan kredit pajak berupa :
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti sewa, dan imbalan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
Pasal 29
Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada jumlah kredit pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kekurangan pajak yang terhutang harus dilunasi selambatlambatnya
pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
Pasal 30
(1) Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilampiri
dengan Laporan Keuangan berupa neraca dan perhitungan rugilaba, sesuai dengan ketentuan yang dimuat
dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
rgs-mitra 14 of 51
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran,
jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terhutang, jumlah pajak yang telah
dilunasi dalam tahun berjalan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
(3) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang pribadi atau perseorangan:
a. yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari
satu pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. yang memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
(4) Jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
adalah jumlah pajak yang terhutang menurut undang-undang ini.
(5) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti, bahwa jumlah pajak yang terhutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan itu tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terhutang yang
semestinya.
Pasal 31
(1) Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah kredit pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau diperhitungkan
dengan hutang pajak lainnya.
(2) Sebelum dilakukan pengembalian atau diperhitungkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan,
buku, dan catatan lainnya, serta atas hal lain yang dianggapnya perlu untuk menetapkan besarnya pajak yang
terhutang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali apabila tata
cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni 1984 serta yang berakhir antara tanggal 30
Juni 1984 dan tanggal 31 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan
dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang ini.
(2) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang:
a. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai selesai;`
rgs-mitra 15 of 51
b. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.
(3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta
dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih
berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan- ketentuan Ordonansi
Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 34
Dengan berlakunya undang-undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Perseroan 1925,
Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
(2) Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundangrgs-
mitra 16 of 51
undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang
Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.
2. Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu
membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan
antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk
mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
3. Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan
Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan
dalam Negara Demokrasi Pancasila.
4. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut
Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung
jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara
pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga
mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
5. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan
diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :
a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak
atas penghasilan dari badan-badan.
b. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan
pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi
kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
c. Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata
cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang
dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.
d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur
mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata
cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun
berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS-Akhir).
6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
a. semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang
pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini
b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan,
maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah
masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya.
Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan
kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan
pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya
semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak.
Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang
lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
rgs-mitra 17 of 51
a. sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji
penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang
berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
b. keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari
manapun diterima atau diperoleh.
c. meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen),
maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah
mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
d. mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan
semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau perseorangan maupun badan yang terhutang selama satu tahun pajak.
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi
maupun badan.
Huruf a
1) Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia
maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia. Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai
menjadi Subyek Pajak pada saat lahir di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12(dua belas)bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak pada
saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tersebut tidaklah harus
berturut-turut.
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak pada saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Bagi mereka yang bertempat tinggal di
luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak-mungkin lagi
menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26.
2) Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang berhak.Bagi
warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat timbulnya warisan termaksud(sejak saat
meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak(ahli waris).
Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan penghasilan.
Huruf b
Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma,
kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak pada saat didirikannya badan
usaha atau organisasi tersebut, atau pada waktu memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia.
Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah
penyelesaian likuidasi, dan bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan diluar Indonesia, tidak lagi
rgs-mitra 18 of 51
menjadi Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan ekonomis dengan Indonesia yaitu sejak tidak
mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara
teratur di bidang sosial ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara.
Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek
Pajak, yaitu mendapatkan penghasilan. Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.
Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di
Indonesia, sejak adanya bentuk usaha tetap itu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak
dalam negeri. Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya
dimanapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5.
Yang dapat mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap perusahaan
termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah wujud tertentu atau sesuatu yang kurang lebih mempunyai
sifat tetap, yang dijadikan pusat kegiatan sebagian atau seluruh usaha di Indonesia dari suatu badan atau
perusahaan yang didirikan, bertempat kedudukan atau berada di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan menjalankan usaha secara teratur ialah melakukan kegiatan usaha yang menunjukkan
adanya maksud untuk dilakukan terus menerus. Misalnya dalam hal pemberian jasa-jasa (furnishing of services),
yang di dalamnya termasuk pemberian jasa konsultasi(consultancy services), apabila diberikan satu kali oleh
seorang asing yang datang di Indonesia sebagai turis, karena kebetulan diminta oleh seorang temannya di
Indonesia, maka pemberian jasa semacam itu belum termasuk kegiatan usaha yang dilakukan secara teratur,
dan oleh karena itu belum dapat dianggap adanya bentuk usaha tetap di Indonesia.
Namun apabila turis tersebut datang lagi ke Indonesia Untuk memberikan jasa konsultasi atas nama suatu
perusahaan luar negeri karena misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut diatas, kepada suatu
perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk tentang adanya maksud untuk memberikan jasa
konsultasi di Indonesia secara terus menerus dan oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk usaha tetap
di Indonesia. Perusahaan asuransi luar negeri mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan
tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia, melalui
karyawannya atau perwakilan lain, yang bukan merupakan agen yang mempunyai kedudukan bebas
(independent).
Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila dalam
rgs-mitra 19 of 51
melakukan kegiatannya di Indonesia, dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya bebas,
asalkan perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya sendiri.
Oleh karena itu, bila agen tersebut bertindak sepenuhnya atau hampir sepenuhnya atas nama perusahaan luar
negeri itu, maka perantara atau agen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai agen yang mempunyai kedudukan
yang bebas, dengan perkataan lain, perantara atau agen tersebut merupakan bentuk usaha tetap dari
perusahaan luar negeri tersebut.
Ayat (4)
Subyek pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh
penghasilan dan oleh karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam undang- undang ini sebagai
Wajib Pajak.
Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah seseorang atau suatu badan yang telah memenuhi syarat-syarat
kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak
luar negeri adalah bahwa Wajib Pajak dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan tentang semua penghasilan yang diterima atau
diperoleh, penghitungan penghasilan kena pajak, dan pajak yang terhutang.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak
yang terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar dan pajak yang terhutang
telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat
Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap,
sehingga pajak yang, kurang dibayar perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi
administrasi yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Untuk menentukan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di
Indonesia adalah berdasarkan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya, sehingga dengan demikian tidak
ditentukan berdasarkan hal-hal yang sifatnya formal.
Ayat (6)
Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada
bertempat tinggal atau berkedudukan. Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis untuk memberikan kepastian
hukum.
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, anggota perwakilan diplomatik, konsuler dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai Subyek Pajak di negara tempat mereka mewakili negaranya. Demikian juga halnya dengan
anggota Angkatan Bersenjata negara asing dan wakil-wakil organisasi internasional seperti World Health
Organization (WHO), International Monetary Fund(IMF)dan sebagainya. Syarat timbal balik adalah merupakan
kelaziman internasional.
Jika mereka mempunyai pekerjaan lain atau usaha, maka pengecualian itu gugur dan akan dikenakan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan lain atau kegiatan usahanya.
Huruf c
rgs-mitra 20 of 51
Berdasarkan tujuan dan sifat dari Perusahaan Jawatan, maka Perusahaan Jawatan dapat dikecualikan sebagai
Subyek Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan
ukuran yang terbaik mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik yang rutin, maupun untuk pembangunan.
Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan ini yang bertujuan untuk memeratakan beban
pembangunan. Setiap tambahan kemampuan ekonomis, dari manapun datangnya, merupakan tambahan
kemampuan untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah.
Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat lagi pada ada tidaknya sumber-sumber
penghasilan tertentu seperti yang dianut oleh undang-undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya
tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi
- penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan
dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa), pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan;
- penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti,
maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam
kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan
yang diperoleh dari pengerjaan sebidang, tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang, tidak dipakai dalam
melakukan kegiatan usaha;
- penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang, dan lain-lain penghasilan yang tidak
termasuk dalam kelompok lain.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang
selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun.
Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang
diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu.
Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk memperjelas tentang pengertian
penghasilan yang luas, dan tidak terbatas pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini.
Ayat (1)
Huruf a
Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan
sebagainya, termasuk Premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja.
Pemberian gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima, seperti
misalnya perumahan(kecuali di daerah terpencil, yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan
bermotor, dan sebagainya.
Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat(1) huruf d.
Huruf b
Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi ceramah seperti pada seminar-seminar
internasional. Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha
rgs-mitra 21 of 51
ditambah penghasilan bruto lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto usaha dan pengurangan yang diperbolehkan
oleh undang-undang ini.
Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan hanya dilaporkan penghasilan kena pajak.
Penambahan penghasilan lain-lain dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha
mencerminkan adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horizontal. Baik laba netto
usaha maupun penghasilan lain-lain setelah di kurangi biaya yang bersangkutan dapat menjadi negatif.
Kompensasi horizontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Huruf d
Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa buku atau harga/nilai perolehan pada saat
penjualan, maka selisih harga tersebut merupakan penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan harta
perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini, penghasilan yang diperoleh adalah selisih
antara harga penjualan dengan nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku.
Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada pemegang saham misalnya berupa mobil
dengan harga sebesar harga sisa buku Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)sedangkan di pasar harganya Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp 4.000.000,-(empat juta rupiah) merupakan penghasilan
bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham yang membeli itu, Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah)
merupakan penghasilan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak,
misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah
ditetapkan kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik
yang dijanjikan maupun tidak.
Huruf g
Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima
oleh para pemegang saham atau pemegang polis asuransi.
Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan itu diterima tidak menjadi pertimbangan.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
1) pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetorkan;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta
perusahaan;
4) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta
perusahaan;
5) apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan,
yang melebihi jumlah setoran sahamnya;
6) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang
lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar
(statuter) yang dilakukan secara sah;
7) pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda tersebut;
8) laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba;
9) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
Perlu ditegaskan disini, bahwa dari apa yang disebut pada angka 1 sampai dengan angka 9 di atas dapat
disimpulkan, bahwa pengertian dividen atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang
luas, yaitu setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, Dalam praktek
rgs-mitra 22 of 51
sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dengan pengalihan harta
perusahaan kepada pemegang saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar.
Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran
dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d).
Contoh :
Suatu harta PT A berupa mobil yang mempunyai harga sisa buku sebesar Rp. 1.000.000,-sedangkan harga
pasar sebesar Rp. 5.000.000,-.Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham B dengan penggantian sebesar
harga sisa buku, yaitu Rp. 1.000.000,-.
Di sini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar Rp. 4.000.000,-.Berdasarkan ketentuan ini PT A
harus memotong Pajak Penghasilan sebesar 15% x Rp. 4.000.000,- = Rp. 600.000,-.
Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan yang diterima oleh pengurus dari anggota
koperasi.Pada tingkat koperasi, Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang
dilakukan oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan
Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, bagi pengurus dari anggota koperasi, pembagian dan pengembalian Sisa
Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila pembayaran dari
pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak
melebihi penghasilan tidak kena pajak maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi tersebut
tidak terkena pajak.
Huruf h
Yang dimaksud disini adalah pembayaran royalti atau apapun namanya sehubungan dengan penggunaan hak
seperti: hak paten/oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan,
hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya dibidang kesenian atau ilmiah, termasuk karya film
sinematografi.
Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu pembayaran atas penggunaan:
1) hak atas harta tak berwujud: hak pengarang, paten merek dagang, formula atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud: hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan:
3) jasa: pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha dan investasi pada umumnya, pengalaman di
bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini
adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka.
Huruf i
Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan
harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak,
misalnya sewa rumah.
Huruf j
Contoh :
Tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala.
Huruf k
Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang-merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga merupakan Obyek Pajak.
Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan.
Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari
pengenaan pajak dengan memperhatikan perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan.
Ayat (3)
rgs-mitra 23 of 51
Huruf a
Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihakpihak
yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan. Ini sebagai imbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f yang
mengatur bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pihak pemberi.
Huruf b
Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima ahli waris tidak merupakan Obyek Pajak,
walaupun warisan itu jumlahnya besar.
Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan,
misalnya sewa yang diterima dari rumah warisan.
Huruf c
Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis misalnya karena kecelakaan, kerugian atau
karena meninggalnya tertanggung, demikian juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi
tidak merupakan penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c ditentukan, bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut di
tanggung oleh pemberi kerja.
Huruf d
Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini memberi
kenikmatan berupa natura kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan
tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak penerima.Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam
bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang
seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma-cuma, kenikmatan mendiami rumah yang
disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya.
Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya. Kenikmatan pemakaian rumah
yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah
non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan.
Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi kenikmatan tersebut bukan
Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi
pihak yang menerima.
Contoh:
Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan
menempati rumah yang disewa oleh perwakilan Diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya, maka
kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab
perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang,
sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya.
Huruf e
Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma, perseroan komanditer, kongsi yang
mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham
(inbreng). maka keuntungan berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut, tidak
merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak yang mengalihkan harta atau pihak-pihak
yang mengalihkan harta secara bersama-sama, memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh
nilai saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan.
Syarat 90% (Sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya pengalihan yang
bersangkutan.
Huruf f
rgs-mitra 24 of 51
Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan lainnya sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu,
melainkan di kemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi:
Oleh karena itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus sama dengan harga sisa
buku pada saat pengalihan.
Huruf g
Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai
penghasilan, apabila perseroan yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak
dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut sebenarnya merupakan satu
kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan
pajak.
Contoh :
PT A pabrik tekstil, PT B pabrik benang tenun.
Antara PT A dan PT B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT A memiliki 25%(dua puluh lima persen)
dari saham yang disetor PT B, maka dividen yang diterima atau diperoleh PT A dari PT B tidak termasuk dalam
pengertian penghasilan.
Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam
jalur usahanya, maka dividen yang, diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Contoh :
PT X pabrik tekstil. PT Y pabrik minuman. PT X memiliki 25% (dua puluh lima persen)dari saham yang disetor
dari PT Y. Antara PT X dan PT Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.
Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak.
Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y merupakan Obyek Pajak.
Huruf h
Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan, baik yang dibayar secara berkala dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib
Pajak sendiri tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak.
Huruf i
Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum adalah kegiatan usaha yang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan
kebudayaan;
2) kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum;
3) kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba.
Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang
terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut
semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk
melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima
cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi
semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan
pajak.
rgs-mitra 25 of 51
Huruf j
Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan umum yang
digunakan untuk membiayai kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan
atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan.
Kelebihan sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam di luar kegiatan sosialnya.
Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya,
tidak merupakan Obyek Pajak.
Huruf k
Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas pembagian
keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan, sehingga dapat merugikan Keuangan Negara.
Pasal 5
Ayat (1)
Penghasilan yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :
Huruf a
Yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan bentuk usaha tetap
itu atau dari harta yang dikuasai atau dimiliki oleh bentuk usaha tetap tersebut. Jadi semua penghasilan yang
berkenaan dengan kegiatan usaha atau harta bentuk usaha tetap yang bersangkutan, baik yang diperoleh di
Indonesia maupun yang diperoleh dari luar Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan ini, misalnya penghasilan dari pemilikan saham-saham di luar negeri oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Bila induk perusahaan atau badan lain diluar negeri yang mempunyai hubungan istimewa, melakukan kegiatan
yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetapnya di Indonesia, maka penghasilan dari kegiatan
tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan, agar supaya penghasilan
kegiatan-kegiatan tertentu yang pada hakekatnya termasuk kegiatan bentuk usaha tetap, dapat dikenakan pajak
kepada bentuk usaha tetap tersebut untuk mencegah adanya alasan, bahwa kegiatan-kegiatan tertentu tidak
termasuk kegiatan-kegiatan bentuk usaha tetap, padahal Pajak Penghasilan atas kegiatan-kegiatan itu
seharusnya menjadi tanggung jawab bentuk usaha tetap itu.
Ayat (2)
Undang-undang ini tidak bermaksud untuk mengenakan pajak atas bentuk usaha tetap, apabila diperoleh
penghasilan oleh induk perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap itu, sedangkan atas
penghasilan itu telah dilakukan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 26.
Biaya-biaya untuk mendapatkan, mempertahankan dan menagih penghasilan induk perusahaan tersebut juga
tidak dapat dibebankan kepada bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 6
Termasuk dalam biaya usaha (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) sehari-hari
adalah biaya pembelian bahan baku, bahan penolong dan pembungkus, sewa dan royalti, biaya perjalanan untuk
melakukan pekerjaan, pajak-pajak tidak langsung misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh harta yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun hanya boleh mengurangi penghasilan kena pajak melalui penyusutan atau amortisasi.
Apabila dana pensiun yang dibentuk oleh perusahaan atau dana pensiun lain, mendapat persetujuan Menteri
Keuangan, maka iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan.
rgs-mitra 26 of 51
Ayat (1)
Huruf a
Penghasilan kena pajak diperoleh dengan jalan menjumlahkan semua penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak dan menguranginya dengan biaya-biaya atau pengurangan yang diperbolehkan oleh
pasal ini.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah biaya atau pengeluaran yang ada
hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Dalam biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari usaha (yang dapat disebut sebagai biaya usaha
sehari-hari), termasuk pembayaran gaji kepada pegawai perusahaan yang bersangkutan, kecuali pembayaran
yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan (kenikmatan mendiami rumah dengan cuma-cuma).
Pembayaran premi oleh pemberi kerja untuk pegawai dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sedangkan
bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Gaji kepada pegawai yang juga
merupakan pemegang saham, apabila berlebih-lebihan yaitu melampaui gaji pegawai lain yang bukan pemegang
saham, yang melakukan pekerjaan, tugas atau jabatan yang kurang lebih sama dengan pemegang saham itu,
maka kelebihannya itu tidak diperbolehkan mengurangi penghasilan. Dalam biaya ini termasuk pula bunga yang
dibayarkan sehubungan dengan hutang perusahaan, kecuali apabila jumlahnya melampaui jumlah yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
Bunga yang dibayarkan sehubungan dengan bunga hutang pribadi tidak boleh mengurangi penghasilan, sebab
bunga semacam ini merupakan penggunaan dari penghasilan.
Pembayaran bunga yang dilakukan untuk menyelundupkan pajak yang dapat terjadi dalam hal ada hubungan
istimewa juga tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak.
Huruf b
Istilah penyusutan untuk harta berwujud dan amortisasi untuk harta tak berwujud atau hak sudah lazim
dipergunakan dalam bidang akuntansi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penggunaan penghasilan tidak dapat dipakai sebagai faktor pengurang dalam menghitung penghasilan kena
pajak. Pembelian barang untuk dipakai sendiri dan bukan untuk dipergunakan dalam kegiatan usaha atau bukan
untuk dipakai guna mendapatkan penghasilan tidak diperkenankan untuk disusutkan. Apabila barang yang
dipakai sendiri itu dijual dengan rugi, maka kerugian itu juga tidak dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Perlu ditegaskan bahwa barang yang kerugian penjualannya dapat mengurangi penghasilan kena pajak adalah
barang yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan usaha (juga yang dipakai untuk mendapatkan
penghasilannya), maka kerugian penjualan tanah yang termasuk kekayaan perusahaan dapat mengurangi
penghasilan kena pajak.
Hal ini perlu ditegaskan karena berdasarkan Pasal 11 ayat (1),tanah tidak termasuk harta yang dapat disusutkan.
Huruf e
Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan yang semata-mata dari dan untuk anggota, tidak
dikenakan pajak pada tingkat koperasi.
Ayat (2)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri, untuk menghitung penghasilan kena
pajak, masih diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
(lihat penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 7).
Ayat (3)
Jika setelah penghasilan bruto dikurangkan beban-beban yang diperbolehkan berdasarkan ayat (1) menghasilkan
rgs-mitra 27 of 51
kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun dihitung sejak tahun yang
berikut sesudah tahun dideritanya kerugian itu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, bagi jenis-jenis usaha tertentu, yang menurut pertimbangan obyektif
tidak menghasilkan laba dalam lima tahun, kerugian yang dideritanya dapat dikompensasikan dalam jangka
waktu paling lama 8(delapan)tahun.
Pasal 7
Ayat (1)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk sampai kepada penghasilan
kena pajak diberikan pengurangan yang dinamakan penghasilan tidak kena pajak. Untuk Wajib Pajak sendiri
jumlah penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,-(Sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).
Apabila Wajib Pajak kawin, maka jumlah itu ditambah dengan Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu
rupiah). Dalam hal isteri memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal
21, maka penghasilan tidak kena pajak untuk isteri Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)
sedangkan untuk menghitung pajak atas penghasilan suami diberikan pengurangan sebesar Rp. 960.000,-
(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)ditambah Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam
hal demikian, ketika pemberi kerja menghitung penghasilan kena pajak untuk memotong pajak dari penghasilan
isteri, telah dikurangkan sejumlah Rp. 960.000,-(Sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), tetapi tidak lagi
diberikan tambahan pengurangan sebesar Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri
menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha, besarnya penghasilan tidak kena pajak ditambah dengan
Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).
Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 960.000, -(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tersebut
di atas tidak diberikan lagi dalam hal isteri juga menerima atau memperoleh penghasilan, dari pekerjaan yang
telah diberikan potongan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu
rupiah.
Tambahan Pengurangan sebesar Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah) diberikan kepada isteri,
apabila isteri menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan, sedangkan suami tidak
menerima atau memperoleh penghasilan apapun. Dalam hal demikian, tambahan, pengurangan untuk
tanggungan keluarga diberikan kepada isteri tersebut.
Dengan pengurangan yang demikian kepada pemberi kerja diberikan kemudahan dalam melaksanakan
pemotongan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawannya, sebab pemberi kerja tidak dibebani kewajiban
terlalu banyak untuk meneliti lebih jauh tentang isteri bekerja atau tidak, penghasilan isteri telah kena pajak atau
tidak, dan sebagainya.
Untuk setiap orang keluarga sedarah dari semenda dalam garis keturunan lurus, misalnya orang tua, mertua,
anak kandung, anak tiri, cucu, dan sebagainya yang menjadi tanggungan sepenuhnya, Wajib Pajak diberikan
pengurangan sebesar Rp. 480.600,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan paling banyak untuk 3 (tiga)
orang.
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang berada di Indonesia
kurang dari 183(seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12(dua belas)bulan berturut-turut dari suatu tahun pajak,
tidak diberikan potongan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Bagi orang
pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, penghasilan kena pajak, adalah jumlah penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
Ayat (2)
Untuk menghitung jumlah pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak, ditentukan menurut keadaan pada
awal tahun pajak atau pada saat menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Misalnya pada 1 Januari seorang Wajib
Pajak kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Jika pada pertengahan tahun lahir anak-kedua, maka untuk
tahun pajak ketika anak kedua lahir dihitung kawin dengan 1(satu) orang anak.
Ayat (3)
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak,
dengan memperhatikan perubahan-perubahan di bidang perekonomian dan moneter.
Pasal 8
Ayat (1)
Berdasarkan ayat ini, penghasilan begitu pula kerugian seorang wanita, yang telah kawin pada awal tahun pajak,
dianggap penghasilan atau kerugian suaminya.
rgs-mitra 28 of 51
Ketentuan ini lebih menekankan pada segi-segi kemampuan ekonomis, yaitu bahwa suami dan isteri merupakan
suatu kesatuan dan dengan adanya ketentuan tersebut, pengenaan pajak tidak kehilangan unsur progresif dalam
penerapan tarif.
Penggabungan penghasilan tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai
karyawati, atau suami memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawan, dan atas
penghasilan dimaksud telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, kecuali apabila penghasilan isteri tersebut
berasal dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya. Yang
dimaksud dengan anggota keluarga lainnya adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya dari
suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1)huruf d.
Ini berarti, bahwa terhadap mereka (yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan/karyawati)
dalam pengenaan pajak diberikan jumlah pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 untuk dirinya masing-masing sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupah).
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diberikan beberapa contoh sebagai berikut :
a. Saat yang menentukan :
1) Seorang wanita yang kawin sesudah tanggal 1 Januari (dalam hal tahun pajak sama dengan tahun takwim,
maka secara fiskal ia pada tahun tersebut belum dianggap kawin sehingga pengenaan pajaknya masih
dikenakan pada diri masing-masing suami dan isteri. Penghasilan atau kerugian wanita tersebut baru dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dimulai pada tahun pajak berikutnya.
2) Suami-isteri yang telah kawin sejak menetap di Indonesia, maka sejak mereka menetap di Indonesia
penghasilan atau kerugian isteri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.
b. Penghasilan isteri sebagai karyawati:
1) Isteri dan suami kedua-duanya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawati/karyawan dan
masing-masing telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Dalam hal demikian tidak ada penghasilan isteri yang
dianggap sebagai penghasilan suaminya. Pajak mereka sebagai karyawan/karyawati yang telah dipotong pajak
berdasarkan Pasal 21 adalah final. Terhadap mereka tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
2) Isteri memperoleh penghasilan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Selain itu
ia juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawati, misalnya penghasilan dari usahanya
membuka salon kecantikan. Suaminya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawan yang telah
dipotong pajak berdasarkan Pasal 21.
Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari
usahanya membuka salon kecantikan. Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai karyawati yang telah
dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang, yang
perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, hanya didasarkan atas
besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan saja.
Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan
melakukan pengurangan sebesar Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, disamping jumlah sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).
Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.
3) Isteri memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak
berdasarkan Pasal 21.
Suaminya di samping memperoleh penghasilan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal
21, juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawan misalnya penghasilan dari usaha
taksi. Dalam hal ini penghasilan isteri tidak dianggap sebagai penghasilan suaminya dan pajaknya yang telah
dipotong berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang didasarkan
atas jumlah penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan sebagai karyawan dan dari hasil usaha taksi. Dalam
penghitungan pajak atas nama suami tersebut, pengurangan sebagai penghasilan tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 diberikan untuk suami sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)
ditambah Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab dalam status kawin.
Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami sebagai karyawan diperhitungkan sebagai kredit dari pajak
yang terhutang.
rgs-mitra 29 of 51
4) Isteri memperoleh penghasilan selain sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga
memperoleh penghasilan dari usaha salon kecantikan. Demikian pula suami selain memperoleh penghasilan dari
pekerjaan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari
usaha taksi. Dalam hal demikian penghasilan isteri yang dianggap penghasilan suami ialah hanya penghasilan
dari usaha salon kecantikan.
Pajak penghasilan atas penghasilan isteri dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak
berdasarkan Pasal 21 adalah final.
Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang yang harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan adalah sebesar pajak yang terhutang atas jumlah penghasilan suami dari pekerjaan dan dari usaha
taksi, serta penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan.
Dalam penghitungan pajak diluar pajak yang telah dipotong dan dibayar oleh pemberi kerja isteri, pengurangan
penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan sebesar Rp. 960.000,- (sembilan
ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah)sebab berada
dalam status kawin.
Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)tidak lagi
diberikan karena telah diperhitungkan pada waktu pemotongan Pajak Penghasilan sebagai karyawati.
Ayat (2)
Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa juga digabungkan dengan penghasilan orang
tuanya.
Sesuai dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum dewasa, maka pengertian belum dewasa
dalam ketentuan perpajakan, seyogyanya memperhatikan pula ketentuan mengenai hal yang sama dalam
undang-undang lain, termasuk pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang dewasa ialah orang
laki-laki maupun perempuan yang berumur 18(delapan belas)tahun ke atas, dengan catatan bahwa anak laki-laki
maupun anak perempuan yang telah kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun, dianggap
telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumur 18(delapan belas) tahun atau bagi
anak yang telah kawin, di masyarakat dinyatakan sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan hukum
sendiri dan dianggap telah mampu bahkan wajib untuk mencari nafkahnya sendiri. Berdasarkan atas
pertimbangan tersebut maka pengertian dewasa dalam undang-undang ini, ialah laki-laki maupun perempuan
yang berumur 18(delapan belas)tahun ke atas atau telah kawin walaupun umurnya kurang dari 18(delapan belas)
tahun.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya, karena dividen adalah bagian
dari penghasilan badan tersebut yang dimaksudkan untuk dikenakan pajak oleh undang-undang ini, sehingga
apabila dividen diperkenankan untuk dikurangkan, maka akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak dari
badan yang memberikan.
Atas dividen yang dibagikan oleh badan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 23
atau Pasal 26.
Huruf b
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada umumnya dimaksudkan untuk perluasan perusahaan dan
untuk menjamin kelangsungan perusahaan.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan sedemikian, tidak dapat dibebankan sebagai pengurangan dalam
menghitung, penghasilan kena pajak. Dalam hubungan ini perlu diadakan pembedaan antara cadangan dengan
penyisihan.
Penyisihan dimaksudkan untuk beban atau kewajiban yang sudah pasti ada, akan tetapi jumlahnya belum
diketahui secara tepat, misalnya penyisihan untuk Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), tambahan pajak, dan
lain-lain.
Bagi jenis-jenis usaha tertentu, secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban
atau kerugian yang mungkin akan terjadi, misalnya usaha bank dan asuransi. Mengenai hal ini, undang-undang
ini menunjuk Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaannya.
Huruf c
rgs-mitra 30 of 51
Premi asuransi yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan.
Pada saat pemegang polis menerima pembayaran, pembayaran ini bukan merupakan penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat(3)huruf c.
Huruf d
Semua kenikmatan yang diberikan kepada karyawan/ karyawati, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
pemberi kerja, sebab pemberian kenikmatan tersebut bukan sebagai penghasilan bagi penerima(karyawankaryawati),
sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d.
Berkenaan dengan daerah terpencil, maka Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang
pengertian daerah terpencil, yaitu daerah yang tidak terdapat tempat tinggal yang bisa disewa, sehingga oleh
karena itu perusahaan harus menyediakan tempat tinggal untuk pegawai atau karyawan/karyawati. Dengan
demikian hanya pengeluaran untuk itu boleh dikurangkan.
Huruf e
Sebagai contoh misalnya seorang ahli yang kebetulan juga pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa
sebagai seorang ahli untuk badan tersebut.
Untuk jasa tersebut ia memperoleh bayaran Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), padahal untuk hal yang sama
oleh ahli lain hanya harus dibayar Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah)Karena adanya hubungan istimewa tersebut,
maka Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) tidak boleh dikurangkan karena sudah melebihi kewajaran.
Bagi ahli yang juga pemegang saham tersebut pembayaran itu dikenakan pajak sebagai dividen.
Huruf f
Harta yang dihibahkan, warisan, dan pembayaran bantuan tidak boleh dikurangkan karena bagi pihak penerima
bukan merupakan penghasilan bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b.
Huruf g
Pajak penghasilan tidak boleh dikurangkan, karena bukan biaya untuk memperoleh atau menagih penghasilan,
dan jumlah pajak yang terhutang itu dihitung atas penghasilan kena pajak sebagai hasil perhitungan setelah
dilakukan pengurangan yang diperbolehkan.
Huruf h
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya tidak merupakan biaya
perusahaan, melainkan penggunaan dari penghasilan, oleh karena itu pengeluaran demikian tidak boleh
mengurangi penghasilan kena pajak.
Huruf i
Sumbangan dalam bentuk apapun juga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan.
Ayat (2)
Biaya ini misalnya biaya iklan besar-besaran sehubungan dengan diperkenalkannya produk baru dan yang tidak
akan dikeluarkan lagi dalam beberapa tahun mendatang, maka biaya tersebut tidak boleh langsung dikurangkan
dari penghasilan, melainkan harus melalui amortisasi.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal pembelian biasa, maka dasar penilaian adalah harga perolehan.
Dalam hal tukar menukar atau dalam hal dibeli dari Wajib Pajak lain yang mempunyai hubungan istimewa, maka
dipakai nilai perolehan yaitu harga yang harus dibayar berdasarkan harga pasar yang wajar.
Contoh dari pertukaran adalah :
PT A PT B
harta X harta Y
Harga sisa buku Rp. 10.000.000,- Rp. 12.000.000,-
Harga pasar Rp. 20.000.000,- Rp. 20.000.000,-
Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta.
Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga
pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar
Rp. 20.000.000,-(dua puluh juta rupiah)ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan. Nilai
rgs-mitra 31 of 51
perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan Pasal 11 ayat (7) huruf b.
Sedangkan selisih antara harga pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan
yang dikenakan pajak.
Bagi PT A terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp. 10.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
sedangkan bagi PT B terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp. 12.000.000,- = Rp.
8.000.000,-
Pengecualian dari ketentuan tentang penerapan harga perolehan atau nilai perolehan tersebut adalah dalam halhal
:
Huruf a
Terdapat pertukaran saham dari suatu badan dengan harta orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf e, maka dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya adalah sama dengan nilai harta yang
dialihkan (perubahan bentuk dari perseorangan menjadi badan tidak mengakibatkan terhutangnya pajak, dan
apabila saham-saham tersebut dialihkan dengan memperoleh laba, maka laba ini baru dikenakan pajak;
Huruf b
Bagi badan atau perseroan yang menerima harta sebagai pertukaran atas saham-sahamnya, dasar penilaian
harta adalah nilai harta atau harga sisa buku harta yang dipertukarkan;
Huruf c
Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya adalah harga perolehan bagi pewaris
dalam hal harta tersebut tidak boleh disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam
hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu
apabila harta warisan tersebut dijual, keuntungan penjualan itu dikenakan pajak.
Contoh yang sama berlaku juga untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak.
Ayat (2)
Dalam hal ada tambahan, perbaikan, dan pengeluaran lain yang secara wajar telah dikeluarkan untuk
meningkatkan kapasitas dari harta yang bersangkutan, maka harga perolehan harus disesuaikan dengan
pengeluaran tersebut.
Tambahan dapat berarti pengeluaran untuk memperoleh suatu aktiva tambahan, dan dapat pula seperti
dimaksudkan dalam ayat ini, yaitu pengeluaran untuk menambah kapasitas dari suatu aktiva tertentu.
Yang dimaksudkan dengan penyesuaian atas harga perolehan suatu harta adalah :
- pengurangan nilai karena penyusutan;
- penambahan nilai karena adanya tambahan pengeluaran untuk tambahan, perbaikan atau perubahan untuk
meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan.
Misalnya suatu harta mempunyai jumlah awal
Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah). Dalam tahun berjalan telah dilakukan tambahan atau perbaikan sebesar
Rp. 25.000.000,-(.dua puluh lima juta rupiah), maka jumlah awal tahun berikutnya adalah Rp. 100.000.000,-
ditambah Rp. 25.000.000,- dikurangi penyusutan.
Pembebanan pengeluaran sehubungan dengan perkiraan harta pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) kelompok,
yaitu :
a. pengeluaran yang dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya pemeliharaan dan reparasi yang
biasanya dilakukan secara berkala, yang dilakukan untuk memelihara manfaat teknis dari harta yang
bersangkutan;
b. pengeluaran yang dilakukan, yang tidak dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya rehabilitasi,
biaya reparasi besar, yang biasanya dilakukan untuk meningkatkan kembali kapasitas atau menambah kapasitas
harta yang bersangkutan.
Pengeluaran yang termasuk kelompok b, yang masa manfaatnya tidak hanya dinikmati pada tahun pengeluaran
itu saja, melainkan untuk beberapa jangka waktu tertentu, maka wajar apabila pengeluaran tersebut dibebankan
kepada perkiraan harta (dikapitalisasi) dan selanjutnya dilakukan penyusutan sesuai masa manfaat dari harta
yang bersangkutan.
Ayat (3)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang yaitu
rgs-mitra 32 of 51
a. barang jadi;
b. barang dalam proses produksi;
c. bahan baku dan bahan pelengkap.
[Catatan Penyunting: Di bawah ini terdapat format gambar.]
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.
Pasal 11
Pembebanan biaya untuk menghasilkan(mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan)yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun, berdasarkan undang-undang ini dilakukan melalui penyusutan(apabila
mengenai harta berwujud) dan amortisasi (jika berkenaan dengan harta tak berwujud atau biaya lain), yang untuk
keduanya berlaku prinsip-prinsip yang sama.
Dalam sistem penyusutan menurut ketentuan ini, semua aktiva dikelompokkan menjadi empat golongan harta,
sesuai dengan masa manfaatnya. Untuk masing-masing golongan harta ditentukan persentase penyusutannya
dan persentase tersebut diterapkan atas suatu jumlah yang menjadi dasar penyusutan.
Apabila dalam suatu tahun pajak tidak ada tambahan aktiva dan tidak ada aktiva yang ditarik dari pemakaian,
maka jumlah harga sisa buku tahun yang lalu, yang menjadi jumlah awal tahun ini langsung dapat dikalikan
dengan persentase tarif penyusutan.
Ayat (1)
Yang dapat disusutkan adalah semua harta yang berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan.
Tanah tidak dapat disusutkan kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk
memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng.
Dengan demikian, yang boleh disusutkan bukan hanya harta perusahaan, tetapi juga harta yang dipakai untuk
memperoleh penghasilan, misalnya biaya untuk membangun rumah, yang dipakai untuk memperoleh sewa.
Ayat (2)
Setiap macam harta digolongkan ke dalam golongan harta menurut umur ekonomisnya. Untuk setiap golongan
harta ditentukan berapa tarif atau persentase penyusutannya.
Penggolongan harta diatur dalam ayat(3), misalnya untuk mesin yang termasuk dalam Golongan 2, tarif atau
persentase penyusutannya adalah 25% (dua puluh lima persen), yang diterapkan atas jumlah awal tahun dari
golongan harta itu ditambah pembelian atau tambahan, dikurangi penerimaan netto harta yang dijual.
Ayat (3)
Ayat ini membagi harta menjadi 4(empat)golongan. Masing-masing golongan harta dapat terdiri dari bermacam
jenis harta dengan masa manfaat yang hampir sama.
Agar Wajib Pajak mudah mengikuti perkembangan harta, baik berupa pengurangan ataupun penambahan, maka
harus dibuat catatan atau daftar harta untuk setiap golongan harta, yang berisi antara lain tahun
perolehan/pembelian, harga perolehan, golongan harta, dan tarif penyusutan sehingga sewaktu-waktu dapat
diketahui jumlah penyusutan yang telah dilakukan terhadap masing-masing harta tersebut. Hal ini penting bagi
Wajib Pajak, terutama bila terjadi penarikan karena sebab yang luar biasa, lihat penjelasan ayat (7).
Bagi Golongan Bangunan dan harta tak gerak lainnya harus dibuat perkiraan sendiri secara terpisah untuk
masing-masing bangunan dan harta tak gerak lainnya.
Ayat (4)
Penghitungan dasar penyusutan adalah jumlah awal dari tahun pajak, ditambah dengan tambahan-tambahan,
baik tambahan berupa harta baru maupun tambahan atas harta yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
harta yang bersangkutan, perbaikan-perbaikan atau perubahan-perubahan dan dikurangi dengan penguranganpengurangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Ayat (5)
Untuk golongan bukan bangunan, yaitu Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 jumlah awal dari golongan itu
rgs-mitra 33 of 51
adalah harga sisa buku tahun sebelumnya yang tetap terbuka untuk penambahan harta baru dan pengurangan
dengan penerimaan netto harta yang dijual, lalu diterapkan tarif penyusutan. Bila dalam tahun berjalan terjadi
tambahan pengeluaran untuk memperoleh harta perusahaan yang menurut undang-undang ini dapat disusutkan,
maka jumlah awal ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh harta baru tersebut.
Bila salah satu jenis harta tidak dipakai lagi dan dijual(karena sebab biasa), maka penerimaan netto dari
penjualan tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan. Ayat (6) Untuk Golongan
Bangunan, penyusutan dihitung dari harta perolehan.
Ayat (7)
Huruf a
Beberapa macam harta ada kemungkinan tidak dapat dipakai lagi, misalnya karena terkena bencana. Dapat juga
karena perusahaan menghentikan sebagian besar produksinya, karena sebab-sebab di luar kekuasaan
perusahaan.
Penarikan harta tersebut disebut penarikan dari pemakaian karena sebab luar biasa. Jumlah sebesar harga sisa
buku harta tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan, dan jumlah tersebut
dibebankan pada perkiraan rugi laba dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila harta tersebut dijual atau mendapat penggantian asuransi, maka harga penjualan atau penggantian
asuransi tersebut merupakan penghasilan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
CONTOH PENYUSUTAN GOLONGAN 1
1984: Jumlah awal per 1-1-1984...........= Rp. 0,00
Tambahan: mobil "A" = Rp. 1.500,00
mobil "B" = Rp. 2.500,00
mobil "C" = Rp. 1.200,00 = Rp. 5.200,00
Pengurangan........................= Rp. 0,00
Penghitungan penyusutan
Jumlah awal(1-1-1984)..............= Rp. 0,00
Tambahan("A","B","C")..............= Rp. 5.200,00
Pengurangan........................= (Rp. 0,00)
Dasar penyusutan...................= Rp. 5.200,00
Penyusutan (50%)...................= (Rp. 2.600,00)
Jumlah awal per 1-1-1985...........= Rp. 2.600,00
1985: Tambahan: mobil"D".................= Rp. 3.000,00
Pengurangan: mobil "C" terbakar
(karena sebab luar biasa)
harga perolehan (1984) = Rp. 1.200,00
telah disusut (1984) = Rp. 600,00
harga sisa buku (1985) = Rp. 600,00
penggantian asuransi = Rp. 800,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal(1-1-1985) .............= Rp. 2.600,00
Tambahan("D")......................= Rp. 3.000,00
(Rugi) Pengurangan(harga sisa buku"C") = (Rp. 600,00)
Dasar penyusutan...................= Rp. 5.000,00
Penyusutan(50%)....................= (Rp. 2.500,00)
Jumlah awal per 1-1-1986...........= Rp. 2.500,00
(Laba) Penghasilan penggantian asuransi
mobil "(C).........................= Rp. 800,00
Huruf b
Penarikan yang lain dari yang disebut di atas, disebut penarikan dari pemakaian karena sebab biasa, misalnya
karena harta tersebut dijual. Penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan
dengan biaya yang seharusnya dan benar-benar dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dikurangkan
dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.
Contoh (lanjutan penghitungan pada Huruf a)
rgs-mitra 34 of 51
Jumlah awal per 1-1-1986............... Rp. 2.500,00
1986: Tambahan = Rp. 0,00
Pengurangan: mobil "B" dijual
(karena sebab biasa)
harga perolehan (1984) = Rp. 2.500,00
telah disusut (1984 & 1985) ......= Rp. 1.875,00
harga sisa buku (1986) = Rp. 625,00
harga penjualan = Rp. 1.000,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal(1-1-1986)...................= Rp. 2.500,00
Tambahan................................= Rp. 0,00
Pengurangan(harga jual "B").............= (Rp. 1.000,00)
Dasar penyusutan........................= Rp. 1.500,00
Penyusutan(50 %)........................= (Rp. 750,00)
Jumlah awal per 1 1-1987................= Rp. 750,00
Catatan: harga sisa buku sebesar Rp.625,00
tidak dihiraukan.
Ayat (8)
Dasar penyusutan tidak boleh negatif; bila negatif, maka jumlah yang menyebabkan negatif ditambahkan sebagai
penghasilan, Apabila jumlah yang menjadi dasar penyusutan itu negatif, maka berarti, bahwa penerimaan netto
dari harta yang tidak dipakai lagi dalam kegiatan usaha lebih besar dari (melebihi) jumlah awal tahun yang
menjadi dasar penyusutan. Dengan perkataan lain, hasil penjualan lebih besar dari harga sisa buku golongan
harta yang bersangkutan, oleh karena itu selisih tersebut merupakan laba penjualan aktiva yang berdasarkan
undang-undang ini dikenakan pajak pada saat keuntungan tersebut diterima atau diperoleh.
Contoh:
Harga sisa buku harta Golongan I
per 1-1-1984 Rp. 1.000.000,-
Penarikan dari pemakaian dalam
tahun 1984
Harga penjualan Rp. 1.500.000,-
Biaya penjualan Rp. 200.000,-
Penerimaan netto
penjualan harta Rp. 1.300.000,-
Selisih negatif Rp. 300.000,-
Maka dasar penyusutan untuk tahun 1984 Rp. nihil Selisih sebesar Rp. 300.000,- merupakan penghasilan tahun
pajak 1984.
Ayat (9)
Tarif penyusutan ditentukan oleh masa manfaat dari harta yang dapat disusutkan.
Ayat (10)
Dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa biaya untuk memperoleh penghasilan kena pajak yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dikurangkan sekaligus dari penghasilan. Harga perolehan dari
harta tak berwujud dan biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi
dengan tarif yang berlaku bagi Golongan 1 atau Golongan 2 atau Golongan 3, atau diamortisasi dengan
mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) dan ayat (13).
Ayat (11)
Biaya pendirian dan perluasan modal dapat diamortisasi sebagai Golongan 1 atau dibebankan sebagai biaya
menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Wajib Pajak dapat memilih untuk mengamortisasi atau membebankan sebagai biaya. Apabila Wajib Pajak
memilih pembebanan sekaligus, hal itu harus sesuai dengan pembukuannya, artinya akan dibebankan dalam
tahun buku yang dipilihnya.
rgs-mitra 35 of 51
Ayat (12)
Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan hutan dapat
dikurangkan sebagai amortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
Artinya adalah bahwa persentase amortisasi dari biaya tersebut setiap tahun pajak harus sama dengan
persentase penambangan atau penebangan setiap tahunnya dari taksiran jumlah seluruh produksinya.
Sebagai contoh dalam hal konsesi pertambangan yang ditaksir mempunyai deposit 100.000 ton, dan dalam satu
tahun diproduksi sebanyak 10.000 ton.
Dengan demikian hak penambangan tersebut dalam tahun pajak itu diamortisasi 10% (sepuluh persen). Namun
demikian, tidak boleh dilakukan amortisasi lebih dari 20% (dua puluh persen) dalam satu tahun pajak.
Ayat (13)
Khusus mengenai bidang penambangan minyak dan gas bumi, biaya memperoleh hak dan/atau biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi dengan metode satuan produksi tanpa pembatasan
persentase tertentu.
Ayat (14)
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang penggolongan harta yang dapat disusutkan.
Dalam keputusan tersebut, penggolongan jenis harta ke dalam golongan harta didasarkan pada masa manfaat
dari jenis harta tersebut serta jenis usaha yang bersangkutan.
Pasal 12
Ayat (1)
Pada dasarnya tahun pajak adalah tahun takwim (tahun kalender). Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak
yang tidak sama dengan tahun takwim, yaitu tahun buku yang meliputi periode selama 12 (dua belas) bulan.
Apabila pembukuan Wajib Pajak meliputi periode yang kurang atau lebih dari 12 (dua belas) bulan, maka
penghitungan pajak didasarkan atas tahun takwim yang bersangkutan, dengan memperhatikan bulan-bulan
takwim dari tahun tersebut.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus diberitahukan pada waktu menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak Penyebutan tahun pajak:
Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim, penyebutan tahun pajak tersebut adalah tahun takwim itu.
Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan
mempergunakan tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam bulan dari tahun
pajak itu.
Contoh :
a. Tahun pajak sama dengan tahun takwim:
Pembukuan 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1985.
Tahun pajak ialah tahun 1985.
b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim:
1) Pembukuan 1 Juli 1985 sampai dengan 30 Juni 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985
mempunyai enam bulan pertama dari tahun pajak.
2) Pembukuan 1 April 1985 sampai dengan 31 Maret 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985
mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
3) Pembukuan 1 Oktober 1985 sampai dengan 30 September 1986.
Tahun pajak ialah tahun 1986, karena tahun 1986 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
Ayat (2)
Pemakaian tahun pajak, baik berdasarkan tahun takwim atau tahun buku harus taat asas (konsisten). Hal ini
terutama untuk mencegah kemungkinan adanya penggeseran laba atau rugi, apabila Wajib Pajak diberi
kebebasan untuk setiap saat berganti tahun pajaknya.
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak ingin mengadakan perubahan tahun pajak, maka kepadanya diwajibkan
untuk terlebih dahulu meminta persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas wajib
menyelenggarakan Pembukuan di Indonesia. Pembukuan tersebut harus terdapat dan diselenggarakan di
rgs-mitra 36 of 51
Indonesia, sebab pembukuan itu adalah dasar untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yang
dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga harus dapat diperiksa di Indonesia, untuk
mengetahui bahwa pembukuan itu telah dilakukan dengan benar, sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Dari pembukuan harus dapat diketahui laba netto dari usaha atau penghasilan netto.
Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib
Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung
penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan
Indonesia.
Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode
penghitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu
periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu
periode tertentu. Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya,
yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.
Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
Contoh.
a. Penghasilan :
1) Penjualan
Jumlah penyerahan = Rp. 10.500,00
Terdiri dari :
- penyerahan yang telah diterima pembayarannya = Rp. 10.000,00
- penyerahan yang belum diterima pembayarannya Rp. 500,00.
Stelsel Akrual:
penghasilan (penjualan) Rp.10.500,00
Stelsel Kas penghasilan (penjualan) Rp.10.000,00
Yang Rp.500,00 ditetapkan sebagai penghasilan pada periode berikutnya apabila telah diterima tunai.
2) Penghasilan berupa bunga
Pinjaman selama 6 bulan (1 September 1984 s/d 28 Pebruari 1985).
Jumlah pinjaman Rp.10.000,00 dengan bunga sebesar 12% per tahun dan dibayar pada akhir masa pinjaman.
Penghitungan bunga :
1-9-1984 s/d 31-12-1984 = 4 bulan = Rp.400,00
1-1-1985 s/d 2-2-1985 = 2 bulan = Rp.200,00
Stelsel Akrual :
Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 400,00
1985 = Rp. 200,00
Stelsel Kas
Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 0,00
(belum diterima tunai) 1985 = Rp. 600,00
(saat diterima tunai)
b. Biaya (dalam hal ini diberi contoh sewa) Sewa mobil selama 4 bulan (1 Oktober 1984 s/d 31 Januari 1985).
Harga sewa sebesar Rp.4.000,00 dibayar pada awal masa sewa.
Penghitungan sewa:
1-10-1984 s/d 31-12-1984 = 3 bulan = Rp. 3.000,00
1-1-1985 s/d 31-1-1985 = 1 bulan = Rp. 1.000,00
Stelsel akrual: biaya sewa tahun 1984 = Rp. 3.000,00
1985 = Rp. 1.000,00
Stelsel kas : biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00
(saat dibayar tunai) 1985 = Rp. 0,00
Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan Perorangan yang kecil atau perusahaan jasa misalnya
transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya
rgs-mitra 37 of 51
tidak berlangsung lama.
Dalam stelsel kas murni, penghasilau dari penyerahan barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya
pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi
lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap
penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan
kas dan pengeluaran kas.
Oleh karena itu untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, dalam memakai stelsel kas harus diperhatikan
hal-hal antara lain sebagai berikut :
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun
bukan.
Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan pula seluruh pembelian dan persediaannya.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang
dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan sistem dan prinsip pembukuan yang
harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Pasal 14
Ayat (1) dan ayat (2)
Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas
dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan, Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib
Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu
menyelenggarakan pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan,
lengkap meliputi Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp.
60.000.000,- setahun.
Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya
mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan.
Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran
bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto.
Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan
netto dalam hal :
- tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan,
- pembukuan Wajib Pajak ternyata diselenggarakan tidak benar.
Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun
sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yaug cermat sehingga
- sederhana,
- terperinci menurut kelompok jenis usaha,
- dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat,
- dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp.
60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp. 60.000.000,-,
- tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib
Pajak menyelenggarakan pembukuan.
Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa,
karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggungjawabkan kesederhanaan,
keterbukaan, dan kewajarannya.
Norma Penghitungan sangat membantu wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk
menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa
penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat
Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan
data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan.
rgs-mitra 38 of 51
Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban
bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan
dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar.
Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan itu harus memuat:
a. kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya :
- peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah
kamar bagi usaha hotel dan lain-lain);
- penghasilan bruto jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain);
- penghasilan netto jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);
b. pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan;
c. cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk memilih menghitung,
penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan.
Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung
dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7).
Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan
lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan
atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil
memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma
Penghitungan dapat merugikannya.
Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat
memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya
didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan,
dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari
pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)yang dapat dibuktikan
dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya.
Ayat (6)
Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :
a. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang;
b. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya,
akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;
c. tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.
Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang
peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan
Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (7)
Pajak penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma
Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun. 1983 tentang Ketentuan umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Pasal 15
Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang Norma penghitungan Khusus untuk golongan-golongan Wajib Pajak
tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
rgs-mitra 39 of 51
Dalam praktek sering dijumpai kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan dan penghasilan kena pajak
bagi golongan Wajib Pajak tertentu, sehingga berdasarkan pertimbangan praktis, oleh undang-undang ini,
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk mengeluarkan Keputusan untuk menentukan Norma Penghitungan
Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto, yang dengan sendirinya akan menjadi dasar
penghitungan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut.
Pasal 16
Penghasilan kena pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang
terhutang.
Seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat(2) dikenal 2 (dua) golongan Wajib Pajak, yaitu:
Wajib Pajak dalam negeri dan
Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat 2 (dua) cara untuk menentukan besarnya penghasilan
kena pajak:
- cara penghitungan biasa,
- cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.
Ayat (1)
Cara penghitungan biasa
Contoh :
- Penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun pajak menurut Pasal 4 Rp. 50.000.000,- ayat (1)
- Biaya-biaya menurut Pasal 6 ayat (1):
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp. 30.000.000,-
penyusutan dan amortisasi Rp. 6.000.000,-
iuran kepada dana pensiun Rp. 1.000.000,-.
Rp. 37.000.000,-
- Penghasilan netto..............Rp. 13.000.000,-
- Kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu Rp. 2.000.000,-
- Penghasilan kena pajak (bagi badan,
selain badan koperasi)........Rp. 11.000.000,-
- Bagi badan koperasi diperbolehkan untuk mengurangkan pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dari
kegiatan dari dan untuk anggota
- Pengurangan untuk Wajib Pajak pribadi Pasal 7 ayat (1), misalnya Wajib
Pajak kawin dengan tanggungan 2
(dua) orang anak........................Rp. 2.400.000,- - Penghasilan kena pajak..................Rp. 8.600.000,-
Ayat (2)
Penggunaan Norma Penghitungan dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu, yaitu Wajib Pajak yang jumlah
peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp.60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah).
Bagi Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam
setahun kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), menurut ketentuan undang-undang ini tidak
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Terhadap mereka penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan
dengan mempergunakan Norma Penghitungan.
Akan tetapi, bila diinginkan oleh Wajib Pajak, penghitungan penghasilan kena pajak dapat dilakukan dengan cara
penghitungan biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat mereka menyelenggarakan
pembukuan seperti diatur dalam undang-undang ini.
(Lihat penjelasan mengenai Pasal 14).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
rgs-mitra 40 of 51
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri tarif Pajak Penghasilan diterapkan terhadap seluruh penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, dengan sistem yang sangat sederhana.
Contoh :
Jumlah penghasilan kena pajak Rp. 80.000.000,-
Pajak penghasilan yang terhutang :
15% X Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
25% X Rp. 40.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
35% X Rp. 30.000.000,- = Rp. 10.500.000,-
Jumlah penghasilan kena
pajak Rp. 80.000.000,- Pajak = Rp. 22.000.000,-
Ayat (2) .
Batas lapisan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan
faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi.
Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian
tersebut.
Ayat (3)
Misalnya Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 1.050.650,- (satu juta lima puluh ribu enam ratus lima puluh
rupiah), maka untuk penerapan tarif, penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp.1.050.000,- (satu juta lima
puluh ribu rupiah).
Ayat (4)
Misalnya seorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri
adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp.1.000.000,- (satu
juta rupiah) maka penghitungan
Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 1.000.000,-
Penghasilan setahun sebesar :
360 X Rp. 1.000.000,- Rp. 4,000.000,-
3 x 30
Penghasilan tidak kena pajak Rp. 960.000,-
Penghasilan kena pajak Rp. 3.040.000,-
Pajak Penghasilan yang
terhutang (setahun)
15% X Rp. 3.040.000,- Rp. 456.000,-
Jadi Pajak Penghasilan yang terhutang selama
bagian dari tahun Pajak, yaitu selama 3 (tiga)
bulan adalah 3 X 30
360 X Rp. 456.000,= Rp. 114.000,-
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengeluarkan Keputusan tentang
besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan
penghitungan pajak.
rgs-mitra 41 of 51
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara
hutang dan modal (debt equity ratio). Apabila perbandingan antara hutang dan modal sangat besar (di atas
batas-batas kewajaran) maka sebenarnya perusahan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian
undang-undang menentukan adanya modal terselubung.
Ayat 2
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penyelundupan pajak, yang dapat terjadi
karena adanya hubungan istimewa. Dalam hal terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi
penghasilan dilaporkan di bawah semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi yang seharusnya, bila terjadi
transaksi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula kemungkinan dapat terjadi adanya penyertaan
modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang.
Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau
biaya yang seharusnya akan terjadi apabila di antara pihak-pihak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Begitu juga, apabila berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata terdapat penyertaan atau modal terselubung
seolah-olah merupakan hutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan hutang tersebut
sebagai modal perusahaan.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang yang sebenarnya merupakan penyertaan
modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan kepada pemegang saham yang menerima atau
memperolehnya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, bunga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan, tetapi
sebaliknya dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham tidak boleh dikurangkan.
Ayat (3)
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada bila dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pemilikan atau penguasaan
yang sama.
Yang dimaksud dengan pemilikan atau penguasaan ini adalah bila yang memiliki perusahaan-perusahaan
tersebut memegang saham mayoritas yang dapat mempengaruhi jalannya perusahaan. Hubungan istimewa juga
dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Badan AA mempunyai penyertaan pada perusahaan BB sebesar 25% (dua puluh lima persen), maka AA dan
BB mempunyai hubungan istimewa.
- Seseorang YY mempunyai 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada perusahaan AA dan juga 25% (dua
puluh lima persen) penyertaan pada perusahaaa BB, maka antara YY, AA, dan BB mempunyai hubungan
istimewa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu,
dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah
saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri,
sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (4)
Dalam hal terdapat beberapa pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh
persen) atau lebih, maka tarif terendah 15% (lima belas persen) hanya dapat diberlakukan satu kali saja.
Dalam hal salah satu pihak menderita kerugian, kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan terhadap
penghasilan pihak lainnya, akan tetapi berlaku kompensasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3).
Pasal 19
Dalam hal terjadi ketidakserasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan oleh karena
perkembangan harga yang menyolok, maka Pemerintah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian misalnya
dengan menerapkan indeksasi.
Pasal 20
rgs-mitra 42 of 51
Ayat (1)
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, agar pada akhir tahun mendekati jumlah pajak yang terhutang, dilakukan
melalui :
a. pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari
pekerjaan (pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak
atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. di samping pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, Wajib Pajak sendiri
juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Ayat (2)
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan cicilan atau angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat
diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang mengenai seluruh tahun
pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang wajib memotong Pajak Penghasilan atau disebut pemotong pajak menurut ketentuan ini ialah :
a. perusahaan orang pribadi atau badan yang merupakan induk atau cabang perusahaan yang membayar gaji,
upah, honorarium, dan imbalan lainnya kepada karyawan atau orang lain, dengan syarat,bahwa pekerjaan itu
dilakukan di Indonesia.
Dalam pengertian pemberi kerja tidak harus Subyek Pajak menurut undang-undang ini, tetapi dapat juga setiap
orang atau badan yang dalam hubungan kerja membayarkan gaji upah, dan sebagainya;
b. misalnya gaji yang dibayarkan kepada pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, karena
dibebankan kepada Keuangan Negara, maka harus dipotong Pajak Penghasilan. Dalam pengertian Keuangan
Negara termasuk Keuangan Pemerintah Daerah;
c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, baik uang pensiun yang dibayarkan kepada pensiunan
pegawai atau karyawan maupun kepada ahli warisnya. Dalam pengertian pensiun, termasuk tunjangan-tunjangan
baik yang dibayar secara berkala maupun tidak;
d. perusahaan atau badan-badan, dalam hal terdapat pembayaran kepada tenaga ahli atau persekutuan tenaga
ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri atas jasa yang dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian perusahaan,
termasuk Perusahaan Jawatan, dan dalam pengertian badan termasuk badan perwakilan negara asing dan
badan internasional.
Ayat (2)
Yang dipotong pajak adalah bagian penghasilan setiap bulan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan
tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Misalnya seorang karyawan kawin dengan tanggungan
3 (tiga), orang penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp.2.880.000,-(dua juta delapan ratus delapan puluh
ribu rupiah) atau setiap bulan Rp. 240.000,-(dua ratus empat puluh ribu rupiah). Apabila penghasilan karyawan itu
sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tiap bulan, maka penghasilan yang dipotong pajak
adalah sebesar Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Ayat (3)
Sesuai dengan sifat Pajak Penghasilan sebagai pajak perorangan dan bukan pajak kebendaan, artinya keluarga
Wajib Pajak yang menjadi tanggungan penuh turut menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang,
maka kebenaran Surat Pernyataan Wajib Pajak mengenai susunan keluarganya mutlak perlu.
Sebagai alat pembanding dapat juga dipergunakan Kartu Keluarga Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
rgs-mitra 43 of 51
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam Buku Petunjuk Direktur Jenderal Pajak dimuat tabel yang dapat dipakai pemberi kerja untuk memotong
besarnya Pajak Penghasilan yang harus disetorkannya ke Kas Negara.
Ayat (7)
Jika pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan dengan benar, maka pada
akhir tahun pajak terhadap karyawan atau orang-orang yang Pajak Penghasilannya telah dipotong tersebut, tidak
lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan benar dinyatakan final berdasarkan
ketentuan undang- undang ini.
Ayat (8)
Bagi karyawan yang mempunyai penghasilan lain di samping upah/gajinya, maka mereka diwajibkan mengisi dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan juga diberlakukan terhadap mereka yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.
Ayat (9)
Untuk mempermudah pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan badan tertentu, baik swasta maupun
pemerintah sebagai pemungut Pajak Penghasilan, yang telah sangat dibatasi untuk mengurangi pungutanpungutan
pendahuluan yang berlebihan. Pajak Penghasilan, dipungut atas Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
usaha dengan atau melalui pemungut pajak tersebut.
Undang-undang ini dengan tegas menentukan, bahwa hanya dari kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan
usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut pajak yang
ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.
Dengan pembayaran barang dan jasa dari belanja negara dimaksudkan ialah, pembayaran pembelian barang
dan pembayaran penggantian jasa dengan menggunakan Keuangan Negara baik Pusat maupun Daerah.
Ayat (2)
Besarnya Pajak Penghasilan yang dipungut tersebut dengan sendirinya harus ditentukan sedemikian rupa,
sehingga mendekati jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas Wajib Pajak bersangkutan.
Untuk itu Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan dasar dan besarnya pungutan, yang disesuaikan
dengan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang dihitung berdasarkan
undang-undang ini.
Pasal 23
Ayat (1)
Pembayaran dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen yang merupakan
penghasilan, harus dilunasi Pajak Penghasilannya selama tahun berjalan melalui pemotongan oleh Wajib Pajak
badan dalam negeri di Indonesia atau badan pemerintah yang melakukan pembayaran itu.
Pembayaran bunga dan imbalan lain sehubungan dengan peminjaman uang dari bank atau lembaga keuangan
lainnya, tidak dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan.
Tarif yang diterapkan di sini adalah tarif terendah, yaitu 15%(lima belas persen), karena Wajib Pajak yang Pajak
Penghasilannya dipotong, masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melakukan
penghitungan pajak yang terhutang untuk seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak.
Ayat (2)
Di samping badan, baik swasta maupun pemerintah, orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat juga
rgs-mitra 44 of 51
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan dari pembayaran-pembayaran tersebut
di atas.
Wewenang menunjuk orang pribadi untuk menjadi pemotong pajak atas penghasilan dari modal ini ada pada
Direktur Jenderal Pajak.
Orang pribadi berkewajiban memotong pajak sejak ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan bunga dan dividen tertentu dalam ayat ini adalah :
a. bunga yang dibayarkan oleh bank atau Kantor Pos atas tabungan dari penabung kecil,
b. dividen yang diterima atau diperoleh pemegang sertifikat saham PT Danareksa, yang jumlahnya tidak melebihi
satu jumlah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham PT Danareksa yang
pada umum penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam setahun tidak melampaui jumlah penghasilan
tidak kena pajak, tidak dilakukan pemotongan pajak oleh pihak yang membayarkan.
Apabila terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham tersebut dilakukan pemotongan pajak, maka
hal tersebut menjadi beban bagi mereka untuk mengurus pengembaliannya.
Pembebasan pemotongan pajak atas bunga dan dividen tersebut tidak berarti bahwa bunga dan dividen itu
dikecualikan sebagai Obyek Pajak, tetapi dikenakan pajak apabila bunga atau dividen jumlahnya melampaui
penghasilan tidak kena pajak.
Pasal 24
Ayat (1)
Pajak Penghasilan luar negeri adalah pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di sana, yang merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di
Indonesia.
Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan luar negeri dari Wajib Pajak dalam negeri.
Dengan demikian, maka Pajak Penghasilan luar negeri yang dikenakan atas badan luar negeri yang
membayarkan dividen tidak dapat dikreditkan atas pajak dari Wajib Pajak Indonesia yang menerima dividen itu.
Dengan perkataan lain Pajak Penghasilan yang dikreditkan dari pajak yang terhutang di Indonesia hanya Pajak
Penghasilan yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam
negeri yang bersangkutan.
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas semua penghasilan dari manapun diperoleh, termasuk
penghasilan yang diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri.
Atas penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut, dengan sendirinya telah dikenakan pajak oleh negara
asal penghasilan tersebut. Pajak Penghasilan yang telah dibayar di negara asing tersebut dapat dikreditkan
terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang, sepanjang mengenai tahun pajak yang sama.
Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di sana dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan yang terhutang, untuk tahun pajak yang sama.
Contoh :
a. Seorang konsultan Indonesia A bekerja selama setahun di Philipina dan memperoleh imbalan (fee)dari jasa
yang dilakukan di sana sebesar X.
Pajak yang dikenakan di Philipina atas fee tersebut misalnya 50% x X.
Maka jumlah sebesar 50% x X tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang
atas A.
b. Seorang pribadi B mendepositokan uangnya di salah satu bank di Inggris.
Bunga deposito yang diterima sebesar Y.
Tarif pajak atas bunga deposito di sana, misalnya sebesar 30%.
Maka jumlah sebesar 30% x Y tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang
atas B.
c. PT AB di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z, Incorporated di Amerika.
Misalnya Z, Incorporated memperoleh keuntungan sebesar
............................... US $. 100.000,-
Pajak Penghasilan atas Z, Incorporated
(Corporate income tax) : 48% (US $. 48.000,-)
US $. 52.000,-
rgs-mitra 45 of 51
Pajak atas dividen misalnya 38% (US $. 19.760,-)
Dividen yang dikirimkan ke Indonesia US $.32.240,-
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB
adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam
contoh di atas yaitu jumlah sebesar US $.19.760,-
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z, Incorporated sebesar US $.48.000,- tidak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB, karena pajak sebesar US $. 48.000,- tersebut tidak
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT AB dari luar negeri, melainkan pajak yang
dikenakan atas keuntungan Z, Incorporated di Amerika.
Ayat (2)
Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang sebenarnya terhutang (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Akrual) dan
telah dibayar (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Kas) di luar negeri, akan tetapi paling banyak sebesar
hasil penerapan tarif pajak Indonesia, terhadap penghasilan luar negeri tersebut yang dihitung menurut undangundang
ini.
Ayat (3)
Ini merupakan penegasan bahwa penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia (ketentuan tentang sumber penghasilan).
Ketentuan tentang sumber penghasilan ini berlaku juga bagi beberapa jenis penghasilan lainnya yang ada
kaitannya dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,misalnya dalam hal penghasilan yang
berkenaan dengan harta (berupa sewa), menurut ketentuan tentang sumber yang dianut oleh Pasal 26,
penghasilan diperoleh di negara tempat harta itu dipergunakan. Jenis penghasilan lainnya berkenaan dengan
harta tersebut misalnya dalam hal harta tersebut dijual, keuntungan dari penjualan harta tersebut merupakan
penghasilan yang diperoleh di negara tempat harta itu berada atau dipergunakan, sebab di negara tersebut sewa
itu dikenakan Pajak Penghasilan, jadi sumbernya berada di negara tempat menghasilkan sewa yang
bersangkutan.
Ayat (4)
Misalnya apabila ternyata dalam tahun 1985 terdapat pengurangan atau pengembalian Pajak Penghasilan luar
negeri mengenai Pajak Penghasilan luar negeri tahun 1984 sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), maka
pengurangan atau pengembalian pajak sebesar Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah) tersebut ditambahkan pada
Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1985.
Pasal 25
Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun
berjalan, yang mengandung pengertian-pengertian
a. berapa besarnya angsuran;
b. dasar penghitungan besarnya angsuran.
Ayat (1)
Untuk mempermudah pengertian, diberikan contoh penghitungan angsuran pembayaran pajak untuk tahun 1985
sebagai berikut Pajak Penghasilan yang terhutang tahun
pajak 1984.............. Rp. 10.000.000,-
Dikurangi:
a. Pajak Penghasilan
yang dipotong oleh
pemberi kerja Rp. 3.000.000,-
b. Pajak Penghasilan
yang dipungut oleh
pihak lain dari
kegiatan usaha Rp. 2.000.000,-
c. Pajak Penghasilan
yang dipotong oleh
pihak lain atas
penghasilan dari
modal (sewa,
rgs-mitra 46 of 51
bunga, dsb.) Rp. 500.000,-
d. Kredit Pajak
Penghasilan luar
negeri Rp. 1.500.000,-
Rp. 7.000.000,-
Selisih Rp. 3.000.000,-
Selisih sebesar Rp. 3.000.000,- ini dibagi dengan banyaknya masa pajak dalam tahun 1985. Apabila masa pajak
yang dipakai untuk melunasi pajak dalam tahun berjalan adalah satu bulan, maka dalam satu tahun pajak ada
dua belas masa pajak, maka jumlah angsuran setiap masa pajak Rp. 3.000.000,- = Rp. 250.000,-
Ayat (2)
Dengan dilakukannya pembaharuan undang-undang perpajakan ini, maka apabila Surat Pemberitahuan Tahunan
Wajib Pajak telah diisi sebagaimana mestinya, dan penghitungan pajak yang terhutang telah dilakukan dengan
benar serta jumlah pajak yang terhutang itu telah dibayar lunas, maka tidak akan ada lagi ketetapan pajak yang
akan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka itu berarti,bahwa pajak yang
terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata
kurang daripada yang seharusnya menurut undang-undang.
Oleh karena itu,apabila ada ketetapan pajak, maka pengertian, Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya
adalah berdasarkan ketetapan pajak itu. Kecuali apabila dalam tahun berikutnya penghasilan Wajib Pajak
bertambah besar dan penghitungan pajak dilakukan dengan benar, maka Pajak Penghasilan yang terhutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun yang berikutnya akan lebih besar.
Jumlah angsuran pajak dalam tahun berjalan sesudah itu yang dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri adalah pajak
menurut Surat Pemberitahuan. Tahunan tahun berikutnya itu dibagi dua belas. Pada prinsipnya, dengan
demikian, Pajak Penghasilan yang terhutang adalah jumlah Pajak Penghasilan yang diketahui dari tahun pajak
yang terakhir.
Jika Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan lebih kecil
daripada pajak yang telah disetor selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu Wajib Pajak
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan
dengan hutang pajak lain, sebelum diputus oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai pengembalian atau
perhitungan kelebihan tersebut, besarnya angsuran bulanan sama besar dengan bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan itu disampaikan. Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran
dari bulan yang berikutnya, setelah tanggal keputusan itu, didasarkan atas jumlah pajak yang terhutang menurut
keputusan tersebut. Apabila pajak yang terhutang menurut ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan
terakhir mengandung kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya, maka pajak yang menjadi dasar untuk
menentukan besarnya angsuran dalam tahun berjalan, dihitung kembali berdasarkan pajak yang terhutang
sebelum dilakukan kompensasi kerugian. Dalam hal ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan tidak ada,
karena Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak baru, maka pengaturan tentang besarnya angsuran sebagai
perkiraan jumlah pajak yang akan terhutang, diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal
27.
Ayat (3)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa
pajak sedapat mungkin diusahakan sesuai dengan besarnya pajak yang terhutang untuk masa pajak yang
bersangkutan. Untuk Wajib Pajak lembaga keuangan misalnya, besarnya angsuran ini adalah lebih sesuai jika
didasarkan pada Laporan Keuangan terakhir, sedang Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
di dasarkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perusahaan tahun pajak yang bersangkutan.
Jenis usaha apa saja yang dapat menghitung besarnya angsuran pajak untuk setiap masa pajak dengan
menggunakan dasar lain daripada Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Ketetapan Pajak terakhir akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak bagi Wajib Pajak luar negeri, yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. dasar pemotongan pajak,adalah jumlah bruto dari pembayaran-pembayaran tersebut kepada Wajib Pajak luar
negeri;
b. tarif pajak,adalah 20% (dua puluh persen);
c. sifat pemotongan, yaitu bahwa Pajak Penghasilan yang dipotong tersebut bersifat final.
Yang diwajibkan oleh undang-undang ini untuk memotong pajak adalah juga Wajib Pajak orang pribadi yang
membayar atau terhutang bunga, dividen, dan sebagainya.
rgs-mitra 47 of 51
Final berarti Wajib Pajak tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan hal mana berbeda
dengan istilah rampung dalam sistem baru, yang berarti bahwa Wajib Pajak masih wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Pasal 27
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25, termasuk penerapan tarif rata-rata atas penghasilan berupa uang pesangon
dan uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus.
Pasal 28
Pajak Penghasilan yang telah dilunaskan dalam tahun berjalan baik yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri
maupun yang dipungut atau dipotong oleh pihak lain, jumlah keseluruhannya dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terhutang.
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terhutang Rp. 10.000.000,-
Kredit-kredit pajak :
- pemotongan pajak
dari pekerjaan berdasarkan
Pasal 21 Rp. 1.000.000,-
- pungutan pajak oleh
pihak lain atas
penghasilan dari
asaha berdasarkan
Pasal 22 Rp. 2.000.000,-
- pemotongan pajak
oleh pihak lain atas
penghasilan dari
modal berdasarkan
Pasal 23 Rp. 1.000.000,-
- Kredit pajak penghasilan
luar negeri berdasarkan
Pasal 24 Rp. 3.000.000,-
- Pembayaran sendiri
oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan
berdasarkan Pasal 25 Rp. 2.000.000,-
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan Rp. 9.000.000,-
Pajak Penghasilan yang masih harus
dibayar Rp. 1.000.000,-
Pasal 29
Dalam contoh seperti dikemukakan pada Penjelasan Pasal 28, maka kekurangan Pajak Penghasilan yang
terhutang sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) harus dilunasi terlebih dahulu sebelum disampaikannya Surat
Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 30
Ayat (1)
Setiap Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran atau penerimaan bruto Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)atau lebih,
harus dilampiri dengan Laporan Keuangan.
Ayat (2)
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, merupakan kewajiban untuk mewujudkan ketentuanketentuan
tentang materi pengenaan pajak menjadi pembayaran uang pajak ke Kas Negara. Oleh sebab itu
rgs-mitra 48 of 51
undang-undang ini menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan harus memuat data-data yang dapat
dipakai sebagai dasar untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, serta kekurangan atau
kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (3)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Kewajiban ini
tidak berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi :
a. yang tidak mempunyai penghasilan lain dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, kecuali Wajib
Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.
b. yang menerima atau memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak,
misalnya:seorang, Wajib Pajak kawin dengan tanggungan keluarga 3(tiga)orang sedang isterinya tidak
memperoleh penghasilan dari pekerjaan atau dari usaha, maka penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp.
2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Apabila penghasilan netto sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) atau
kurang, maka ia tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (4)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak
yang terhutang secara benar berdasarkan ketentuan undang-undang ini, serta melaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan, kepadanya tidak perlu lagi diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun surat keputusan
dari administrasi perpajakan.
Ayat (5)
Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan yang diperoleh lain
daripada pemeriksaan, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Direktur
Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut undang-undang.
Pasal 31
Ayat (1)
Kelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.
Contoh :
Pajak penghasilan yang terhutang Rp. 10.000.000,-
Kredit-kredit pajak :
- Pemotongan pajak
dari pekerjaan berdasarkan
Pasal 21 Rp. 1.000.000,-
- Pemungutan pajak
oleh pihak lain atas
penghasilan dari
usaha berdasarkan
Pasal 22 Rp. 4.000.000,-
- Pemotongan pajak
oleh pihak lain
atas penghasilan dari
modal berdasarkan
Pasal 23 Rp. 1.000.000,-
- Pembayaran sendiri
oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan
berdasarkan
Pasal 25 Rp. 6.000.000,-
Jumlah Pajak
Penghasilan yang dapat
dikreditkan Rp. 12.000.000,
Kelebihan pembayaran
rgs-mitra 49 of 51
pajak Rp. 2.000.000,-
Kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp. 2.000.000,- ini dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang
pajak lainnya.
Ayat (2)
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan
Keuangan dan sebagainya dari Wajib Pajak, sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak
adalah :
a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk kepentingan penelitian dan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang
ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku-buku dan catatan
lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang,
kebenaran jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak
yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini adalah untuk memastikan, bahwa uang yang akan dibayarkan
kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan pemeriksaan lain-lain termasuk pemeriksaan setempat, melakukan pencocokan terhadap
pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak, dan sebagainya.
Pasal 32
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian Umum dari penjelasan ini, ketentuan-ketentuan yang berkenaan
dengan tata cara pengenaan pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang tata cara pemungutan, sanksi-sanksi berkenaan dengan
kesalahan, ketidakpatuhan, pelanggaran, dan kejahatan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
Pasal 33
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari
tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan
dari tahun pajak itu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau
mempergunakan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, ataupun memilih
penerapan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang- undang ini. Kesempatan memilih semacam itu
berlaku pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun
takwim 1984.
Ayat (2)
Huruf a
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 masih tetap
dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan tersebut.
Huruf b
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal
berlakunya undang-undang ini, misalnya:
- fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba
usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
- fasilitas perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual saham-sahamnya
melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarif Pajak Perseroan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret 1979.
rgs-mitra 50 of 51
Ayat (3)
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta
semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh
dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan
dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak
Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini.
Ketentuan undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam
bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak
Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undangundang
itu.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengenai :
a. Penerapan faktor penyesuaian untuk menghitung penghasilan yang berawal dari keuntungan karena penjualan
harta sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan penerapan tarif efektif rata-rata atas
keuntungan tersebut;
b. Pedoman penyusutan dan amortisasi;
c. Semua peraturan yang diperlukan, agar undang-undang ini dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, termasuk pula
peraturan peralihan.
Pasal 36
Ayat (1)
Ayat ini menegaskan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1984.
Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya sama dengan tahun takwim, maka undang-undang ini berlaku bagi
mereka itu sejak tahun pajak 1984. Untuk Wajib Pajak yang mempergunakan tahun buku yang berlainan dengan
tahun takwim,maka undang-undang ini akan berlaku untuk tahun buku yang dimulai sesudah 1 Januari 1984.
Ayat (2)
Cukup jelas.


31 DESEMBER 1983 (JAKARTA)
Sumber: LN 1983/50; TLN NO. 3263
mohon maaf kami sedang melakukan perbaikan, silahkan hubungi kami jika anda membutuhkan informasi lebih lanjut